Iki angel yo bu
Mataku memerah. Pandanganku
menerawang pada kedua sosok yang berada tak jauh dari tempatku saat ini.
Gumpalan titik-titik air yang hampir pecah itu aku tahan sekuatnya. Tidak
menyangka, malam ini, di tempatku biasa membeli makan, aku disadarkan oleh
kejadian kecil yang sangat mempengaruhi pola pikirku.
Perkataan di awal tulisan ini
diucapkan oleh seorang anak bertubuh gempal, kulitnya sawo matang khas orang
Jogja asli. Ia duduk dengan tekun di atas lantai, dengan kursi di depannya yang
ia pakai untuk meletakkan buku matematikanya. Keningnya beberapa kali mengerut,
menghitung penjumlahan matematika yang tak seberapa. Ia menuliskan hasil
hitungan tersebut di selembar kertas, ya, bukan buku. Hanya selembar kertas.
Pensilnya, hm, aku rasa terlalu pendek untuk dipakai menulis. Jika itu adalah
pensilku sendiri, aku yakin, aku sudah membuangnya.
Ia tidak duduk sendiri. Ada seorang
ibu paruh baya yang menemaninya mengerjakan tugas. Tidak, bukan sekadar
menemani, ibu itu membantunya menghitung. Dengan telaten, ibu tersebut
membenarkan hitungan anaknya. Jika penjumlahan lebih dari sepuluh, ibu itu
dengan sigap mengangkat jari-jarinya, agar sang anak lebih mudah menghitung.
Aku rasa, anak itu agak lamban dalam berpikir. Aku yang melihatnya dari kejauhan
saja sudah mulai memanas. Tapi, ibu itu, dengan senyumnya yang menenangkan,
selalu mengulang kembali soal-soal yang tidak bisa ia jawab. Ketika sang anak
bisa mengerjakannya, tangannya akan mengusap lembut kepala atau punggung anak
tersebut. Ini tidak terjadi sekali saja. Setiap pertanyaan yang bisa dijawab
oleh anak itu, sang ibu akan tersenyum kecil seraya mengusap manja anaknya.
Hm, bagaimana? Apa ada sesuatu yang
mendesir di hati kalian ketika membaca cerita di atas? Kejadian itu murni terjadi pada malam kemarin ketika aku sedang membeli makan. Tidak kurang dan
tidak lebih, seperti itulah yang aku lihat. Sungguh, lama-kelamaan pandanganku
kabur, terharu melihat apa yang terjadi tepat di depanku. Bukan sekali dua kali
anak itu mengerjakan PR ketika aku sedang membeli makan di sana. Hanya saja,
baru kali ini aku memperhatikan mereka dengan seksama.
Bagaimana dengan ibu kalian?
Ingatkah ketika kalian dibantu oleh orang tua untuk mengerjakan PR? Hal yang
sangat simpel, tapi sangat berarti untuk kita yang sedang beranjak dewasa.
Untuk kita yang sedang dalam masa-masa di mana orang tua adalah salah satu
musuh terbesar kita. Untuk kita yang mulai ditinggalkan oleh mereka yang sudah
pergi menghadap Sang Illahi. Untuk kita yang sedang merantau. Untuk kita yang
kini terpisah rumah. Untuk kita yang
sekarang tak lagi gencar menghubungi mereka …
Kasih ibu sepanjang masa.
Hal itu terdengar klise di
telingaku sampai pada akhirnya aku beranjak dewasa. Sampai akhirnya aku
mengerti betapa susahnya mencari uang. Sampai akhirnya aku belajar
bagaimana proses reproduksi itu. Betapa beratnya tugas yang diemban oleh sang
ibu, membawa-bawa kita yang semakin berat di setiap langkahnya. Ketika kita
lahir? Ibu dan Ayah masih saja menggendong kita. Tak hanya itu. Kita disuapi,
dimandikan, juga diajari banyak hal. Ketika kita sudah bisa berjalan sendiri?
Mereka tetap memberi kita makan, membelikan baju, dan memenuhi segala kebutuhan
juga keinginan kita. Ayah juga masih menggendong kita yang terlelap di depan
TV, sehingga paginya saat bangun tidur, kita sudah berada di atas kasur yang
empuk, lengkap dengan selimut dan bantal kesayangan.
Sekarang, kita bisa apa? Kita sudah
bisa berjalan, cari makan sendiri, juga pergi ke kasur sendiri ketika sudah
waktunya untuk tidur. Beberapa dari kita sudah bisa mencari uang sendiri,
bahkan sebagian kecil juga sudah menikah muda. Lalu, apa peran orang tua?
Ketika kita masih dalam masa
transisi menjadi anak rantau, kepada siapa kita mengadu? Kepada siapa kita
meminta fasilitas yang lebih baik? Kepada siapa kita mengeluh tugas kampus yang
seabrek? Orang tua.
Ketika kita dilanda krisis
keuangan, siapa yang pertama kali terlintas di pikiran? Orang tua.
Ketika kita punya masalah dengan
suami atau istri, ke rumah siapa kita akan berpulang? Orang tua.
Ketika sibuk bekerja, dengan siapa
anak kita dititipkan? Orang tua.
Siapa yang paling bersedih ketika
kita mengalami hal-hal di atas? Orang tua!
Sebagai anak rantau, aku sangat
sedih melihat beberapa dari kita yang menyalahgunakan kepercayaan orang tua. Aku sedih, mereka yang menghabiskan uang bulanan sebelum waktunya. Aku
sedih, mereka yang tidak bersungguh-sungguh kuliah. Aku sedih, hidup sebagai
anak rantau dijadikan alasan dapat bertindak sesuka hati—tanpa perlu dimarahi
orang tua.
Ingat-ingat kembali ketika kamu
belum menjadi apa-apa. Buka pandangan kalian, lihat sekeliling kalian. Betapa
banyaknya anak-anak yang tidak seberuntung kalian. Buka mata hati kalian,
betapa banyaknya anak yang tidak memiliki memori masa kecil yang menyenangkan. Mana
hati nurani kalian? Orang tua, selalu menunggu kabar dari kalian. Apakah kalian
sehat? Bagaimana makanmu di sana? Bagaimana kuliahmu? Apakah tidurmu nyenyak?
Jika tidak ada ibu, siapa yang membangunkanmu di pagi hari? Jika tidak ada
ayah, siapa yang akan memperbaiki TV-mu yang rusak?
Aku harap, tulisan ini menyadarkan
kita.
Aku harap, tulisan ini membuatmu
secepatnya ingin bertukar kabar dengan orang tuamu.
Aku harap, tulisan ini membuatku
tidak lupa, betapa berharganya orang tuaku saat ini. Betapa aku harus bisa
membuat mereka bangga ketika mereka masih ada. Betapa aku harus menjadi anak
yang solehah ketika mereka sudah tidak ada lagi, agar terus mengalirlah pahala
bagi mereka.
Aamiin ya rabbal alamin
-Fitri Fazrika Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar