Kepalaku masih terasa berat ketika
Okta dan Ika mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, mereka tidak akan pernah
tahan menunggu lebih dari 10 menit sebelum akhirnya berteriak memanggil namaku
di depan pagar. Ah, seperti anak kecil saja.
Dengan lemah aku membuka pintu
pagar. Okta dan Ika langsung berhamburan masuk ke rumah. Aku tau, mereka akan
mengambil posisi terenak di tempat tidurku, tanpa perlu aku persilahkan. Aku tersenyum
kecil sambil menutup pagar. Mereka benar-benar sahabat sejati!
Cih, belum turun panas badanku,
sekarang aku dihadapkan pada situasi yang membuat otakku lumayan bekerja keras.
Baru enam jam aku tidak masuk sekolah, keadaan sudah panas? Ah untunglah besok
masih ada hari Minggu. Bisa pecah kepalaku nanti.
Okta, dengan bahasa tubuhnya yang
lebay, masih terus bercerita tentang hot
issue di sekolah. Wah, ternyata aku lumayan dikenal juga ya di sekolah? Tuh,
banyak yang kepo hihi. Probably it would
be one of the most dangerous disaster if I was at school today. Tapi Tuhan
berkata lain. Ia punya rencana agar aku bisa lebih dulu memastikan dengan mata
kepalaku sendiri. Yeah, it sounds good.
Malam minggu.
Aku merasa lebih baik dari tadi
siang. Mungkin karena dijenguk oleh dua sahabatku yang baik? Entahlah. Malam
itu aku memutuskan untuk membeli makan di luar. Sendiri? Ya iyalah, kan jomblo,
hehe.
Aku sedang menunggu pesanan ketika
seseorang yang aku kenal cukup baik sedang antre membeli pesanan. Lah? Itu kan …
“Ngapain di sini?”
“Ya cari makan lah”
Obrolan singkat itu membuat kami
bisa duduk lebih lama. Pembicaraan terasa lebih lama ketika aku berkata,
“Si Clara kenapa sih?”
Jeng jeng, berasa ada backsound ala-ala cowok yang lagi kegep
selingkuh sama pacarnya. Ah, berlebihan ya? Eh tapi jangan salah, kisah anak
SMA itu drama abiez. Nggak ngerasa? Yah :p
Malam minggu itu aku habiskan
dengan perasaan yang menyayat hati. Bukan, bukan karena aku makannya sama
mantan. Tapi karena aku membaca tulisan yang tidak sepantasnya anak perempuan—bahkan
manusia—katakan. Aku tidak tau, kemarahan bisa menjadi sangat fatal. Aku baru
tau, kemarahan bisa disponsori oleh para binatang dan alat kemaluan manusia. Dua
kata untuk tulisan yang aku baca waktu itu, tidak etis.
Hari Minggu.
Aku sedang bersantai membaca-baca
celotehan lucu dari teman sekelasku. Sedang asyiknya ketawa, ada satu hal yang
mengganggu. Iya, celotehan binatang dari salah satu orang yang aku follow. Wah,
ternyata banyak. Wah, sepertinya ada gas yang meledak di Minggu pagi yang cerah
ini. Ah sudahlah. Aku tidak ingin mengikuti permainan seperti itu. Wanita tidak
sepantasnya bertingkah seperti binatang. Tidak hanya wanita sih, kita sebagai
manusia ya seharusnya bisa bersikap jauh lebih baik daripada binatang.
Aku menutup twitter pagi itu dengan
wajah cemberut.
Senin pagi, di kelas tercinta.
“Kei! Kemarin kamu dicariin tuh
sama Clara”
“Yes I know, emang kenapa sih” sahutku ketus. Well, we all know that Monday is suck, kenapa harus ditambah dengan
dia sih.
“Hmm gak takut?”
Kalimat itu sejenak membuatku
terdiam. Takut? Sejak lusa kemarin, tidak sedikitpun kata takut terlintas di
benakku. Apa yang harus ditakutkan dari seorang wanita yang tidak dapat menjaga
sikapnya? Ah, mungkin aku harus takut kalau-kalau kuku panjangnya menggores
wajahku yang lembut. Hmm.
“Sama-sama makan nasi juga” jawabku
tanpa memandang wajah sang penanya. Aku mengeluarkan buku catatan dan
menenggelamkan pikiranku sepenuhnya pada tulisan yang aku baca.
Senin siang, masih di kelasku
tercinta.
“Eh cepat kau ke sini!” sebuah
tangan mungil menarik tanganku yang hendak memasukkan buku ke dalam tas. Masih bingung,
aku mengikuti dengan polos ke mana ia membawaku pergi. Apa di ujung kantin? Di tepi
jalan? Ah, ternyata hanya beberapa langkah dari depan kelasku.
Aku ingat betul wajah putihnya yang
memerah. Bibirnya bergetar karena terlalu banyak hal yang ingin ia teriakkan. Sepertinya
ia tidak rajin berolahraga, tuh nafasnya berhembus tidak karuan. Ah apa karena
ia marah? Apa kemarahan bisa membuat orang lupa diri? Aku berkaca, apa aku juga
pernah seperti ia? Kalaupun iya, semoga tidak akan pernah lagi. Sungguh,
kemarahan adalah salah satu hal terburuk yang pernah aku hadapi.
Pikiranku tidak terfokus melihat
Clara yang sedang naik pitam. Aku melihat sekeliling, ah itu dia! Salah satu
sahabat terbaikku! Loh? Kenapa ia duduk bersama orang-orang yang dulu selalu ia
jelekkan? Kenapa ia—orang yang ramah—menatapku dengan penuh kebencian? Sejak kapan
aku melihat pandangan itu? Pandangan seseorang yang jijik melihat keberadaanku
saat ini. Apakah ia orang yang dulu aku kenal dengan baik? Ke mana perginya?
Kepalaku berhenti berputar ketika
aku melihat ia—lelaki yang sampai detik itu masih memujaku—berada di deretan
orang yang memberi “kompor” kepada mereka yang sedang berseteru. Apa yang
terjadi? Kenapa ia di sana? Kenapa ia seolah tidak mengenalku? Baru beberapa
malam yang lalu ia berniat menjengukku di rumah. Sekarang?
Aku mengalihkan pandanganku ke sisi
sebelah kiri. Dia menatapku dengan tatapan datar. Lengannya dipeluk erat oleh
wanita yang baru beberapa minggu ini menghiasi statusnya di BBM. Aku kira, ia
akan memberi dua jempol sambil tersenyum lebar—seperti yang biasa ia lakukan
ketika aku butuh semangat. Jarinya kini sudah digenggam erat oleh yang lain. Aku
rasa, aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.
Tepat di sampingku berdiri seorang
lelaki yang baru beberapa hari ini tidak menjadi pacarku lagi. Aku heran,
kenapa masalah yang cukuplah kami berdua selesaikan, harus diselesaikan bersama
orang lain. Bukan, ini bukan lagi orang lain. Satu angkatan turut andil
membicarakan masalah kami. Weird, isn’t
it?
Aku masih ingin melihat sekeliling
ketika aku tersadar bahwa Clara belum mendapatkan sepatah kata-pun dariku. Belum
sempat lima kalimat aku lontarkan, ia kembali menyerocos. Ah sudahlah, mungkin
nanti ia capek sendiri.
Kembali aku meneliti satu per satu
wajah yang berkumpul mengelilingi kami. Hm, ternyata Clara cukup bermodal juga.
Teman-teman seperjuangannya berteriak menyemangati ia. Aku? Aku merasa cukup
tangguh untuk mendengar celotehan Clara sendirian. Sendirian? Ya, aku bukan
orang yang takut kehilangan teman. Aku tau, akan ada minimal satu siswa yang
memihakku. Bukan karena ia temanku, tapi karena ia tau, bagaimana seharusnya
seorang wanita bersikap. Aku mengambil nafas panjang, oh Clara, belum habis
juga suaramu?
Layaknya suporter suatu
pertandingan, mereka bubar ketika pertandingan dihentikan oleh seorang guru di
sekolah kami. Clara, masih dengan wajahnya yang merah padam, mendapat siraman
nasihat dari Bu Tina. Kami bersalaman layaknya kedua tim seusai pertandingan. Iring-iringan
menuju ke parkiran sekolah, sudah seharusnya waktu untuk pulang.
Aku hendak melangkahkan kaki ke
dalam kelas ketika keenam siswi mencegatku masuk. Bukan, pertandingan tidak
berlanjut, mereka adalah teman-teman yang aku anggap sebagai sahabat. Sisi
baiknya? Mereka juga menganggapku seorang sahabat. Tadi, aku memang tidak
melihat mereka. Ternyata? Mereka di belakang, sibuk bertanya-tanya apa yang
sedang terjadi. Ya, aku memang tidak berbagi hal ini kepada mereka. Toh, aku
tidak menganggap ini suatu masalah. Hanya beberapa pihak yang sengaja berusaha
menyudutkanku. Mereka bertanya, apa aku tidak apa-apa, kenapa aku tidak cerita,
dan sebagainya. Mereka meminta agar kami berkumpul di rumahku, agar aku
menceritakan apa yang terjadi. Satu hal yang membuat emosiku memuncak, kami
berpelukan. Pelukan memberiku suatu kehangatan tersendiri.
Ketika di parkiran, aku melihat ia—sahabatku
tersayang—sedang berbincang dengan sekumpulan teman barunya. Ia tidak menoleh
ke arahku, aku juga tidak mengharapkan ia menoleh. Cukuplah sekali aku
melihatnya memandangku dengan tatapan jijik.
Kami sedang berusaha mengeluarkan
motor di parkiran yang padat ketika aku memperhatikan ia—sahabat lama yang
sedang membonceng kekasih hatinya. Ingin rasanya aku menegurnya, bercerita
hal-hal kecil yang sering ia tertawakan, tapi, ada mata lain yang menunjukkan
ekspresi tidak suka. Ya, kekasihnya. Aku tidak ingin merusak hatinya yang
sedang berbunga. Ah sudahlah.
Aku sudah naik ke atas motor ketika
mataku bertemu dengan matanya—ia yang mengaku masih menyimpan perasaan
kepadaku. Entahlah, kenapa aku tidak bisa menemukan ketulusan dari
pandangannya?
Tepat setahun setelah kejadian di hari
itu. Keenam perempuan itu masih menjadi kontak favorit di handphone-ku. Grup yang kami buat semasa sekolah masih diramaikan
oleh foto-foto kegiatan kami masing-masing—lengkap dengan gosip terhangat
seputar lingkungan kami yang baru. Kami masih mengunjungi satu sama lain ketika
pulang ke kota di mana kami bertemu. Beberapa orang yang sekarang masih tinggal
di kota yang sama masih menyempatkan diri untuk sekadar menginap di hari libur.
Tidak setiap hari kami berkomunikasi. Ada beberapa hari di setiap satu bulan,
kami saling bertukar cerita. Semuanya masih sama, baik itu tiga tahun yang lalu
maupun detik ini.
Bagaimana dengan orang-orang yang
tahun lalu menganggapku seperti angin? Masih sama, kami memang tidak ada
keperluan untuk saling berhubungan. Jadi, tidak masalah.
Tapi, ada satu orang yang kembali
menghubungiku, tepat setahun setelah hari itu. Ia bersikap seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Seolah-olah ia lupa, pandangan apa yang ia tunjukkan di hari
itu. Apa yang ia perbuat ketika aku sangat butuh bantuan moral darinya? Apa yang
ia katakan untuk meyakinkan orang bahwa tidak seharusnya mereka ikut campur
dengan urusan pribadiku? Jika aku dapat menentukan suatu sikap, apa yang akan
aku lakukan sekarang?
Aku membalas pesannya,
Tahun lalu kamu ke mana?
-Fitri Fazrika Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar