Senin, 25 Mei 2015

Setahun yang Lalu

Kepalaku masih terasa berat ketika Okta dan Ika mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, mereka tidak akan pernah tahan menunggu lebih dari 10 menit sebelum akhirnya berteriak memanggil namaku di depan pagar. Ah, seperti anak kecil saja.
Dengan lemah aku membuka pintu pagar. Okta dan Ika langsung berhamburan masuk ke rumah. Aku tau, mereka akan mengambil posisi terenak di tempat tidurku, tanpa perlu aku persilahkan. Aku tersenyum kecil sambil menutup pagar. Mereka benar-benar sahabat sejati!

Cih, belum turun panas badanku, sekarang aku dihadapkan pada situasi yang membuat otakku lumayan bekerja keras. Baru enam jam aku tidak masuk sekolah, keadaan sudah panas? Ah untunglah besok masih ada hari Minggu. Bisa pecah kepalaku nanti.
Okta, dengan bahasa tubuhnya yang lebay, masih terus bercerita tentang hot issue di sekolah. Wah, ternyata aku lumayan dikenal juga ya di sekolah? Tuh, banyak yang kepo hihi. Probably it would be one of the most dangerous disaster if I was at school today. Tapi Tuhan berkata lain. Ia punya rencana agar aku bisa lebih dulu memastikan dengan mata kepalaku sendiri. Yeah, it sounds good.


Malam minggu.
Aku merasa lebih baik dari tadi siang. Mungkin karena dijenguk oleh dua sahabatku yang baik? Entahlah. Malam itu aku memutuskan untuk membeli makan di luar. Sendiri? Ya iyalah, kan jomblo, hehe.
Aku sedang menunggu pesanan ketika seseorang yang aku kenal cukup baik sedang antre membeli pesanan. Lah? Itu kan …
“Ngapain di sini?”
“Ya cari makan lah”
Obrolan singkat itu membuat kami bisa duduk lebih lama. Pembicaraan terasa lebih lama ketika aku berkata,
“Si Clara kenapa sih?”
Jeng jeng, berasa ada backsound ala-ala cowok yang lagi kegep selingkuh sama pacarnya. Ah, berlebihan ya? Eh tapi jangan salah, kisah anak SMA itu drama abiez. Nggak ngerasa? Yah :p
Malam minggu itu aku habiskan dengan perasaan yang menyayat hati. Bukan, bukan karena aku makannya sama mantan. Tapi karena aku membaca tulisan yang tidak sepantasnya anak perempuan—bahkan manusia—katakan. Aku tidak tau, kemarahan bisa menjadi sangat fatal. Aku baru tau, kemarahan bisa disponsori oleh para binatang dan alat kemaluan manusia. Dua kata untuk tulisan yang aku baca waktu itu, tidak etis.


Hari Minggu.
Aku sedang bersantai membaca-baca celotehan lucu dari teman sekelasku. Sedang asyiknya ketawa, ada satu hal yang mengganggu. Iya, celotehan binatang dari salah satu orang yang aku follow. Wah, ternyata banyak. Wah, sepertinya ada gas yang meledak di Minggu pagi yang cerah ini. Ah sudahlah. Aku tidak ingin mengikuti permainan seperti itu. Wanita tidak sepantasnya bertingkah seperti binatang. Tidak hanya wanita sih, kita sebagai manusia ya seharusnya bisa bersikap jauh lebih baik daripada binatang.
Aku menutup twitter pagi itu dengan wajah cemberut.


Senin pagi, di kelas tercinta.
“Kei! Kemarin kamu dicariin tuh sama Clara”
Yes I know, emang kenapa sih” sahutku ketus. Well, we all know that Monday is suck, kenapa harus ditambah dengan dia sih.
“Hmm gak takut?”
Kalimat itu sejenak membuatku terdiam. Takut? Sejak lusa kemarin, tidak sedikitpun kata takut terlintas di benakku. Apa yang harus ditakutkan dari seorang wanita yang tidak dapat menjaga sikapnya? Ah, mungkin aku harus takut kalau-kalau kuku panjangnya menggores wajahku yang lembut. Hmm.
“Sama-sama makan nasi juga” jawabku tanpa memandang wajah sang penanya. Aku mengeluarkan buku catatan dan menenggelamkan pikiranku sepenuhnya pada tulisan yang aku baca.


Senin siang, masih di kelasku tercinta.
“Eh cepat kau ke sini!” sebuah tangan mungil menarik tanganku yang hendak memasukkan buku ke dalam tas. Masih bingung, aku mengikuti dengan polos ke mana ia membawaku pergi. Apa di ujung kantin? Di tepi jalan? Ah, ternyata hanya beberapa langkah dari depan kelasku.

Aku ingat betul wajah putihnya yang memerah. Bibirnya bergetar karena terlalu banyak hal yang ingin ia teriakkan. Sepertinya ia tidak rajin berolahraga, tuh nafasnya berhembus tidak karuan. Ah apa karena ia marah? Apa kemarahan bisa membuat orang lupa diri? Aku berkaca, apa aku juga pernah seperti ia? Kalaupun iya, semoga tidak akan pernah lagi. Sungguh, kemarahan adalah salah satu hal terburuk yang pernah aku hadapi.

Pikiranku tidak terfokus melihat Clara yang sedang naik pitam. Aku melihat sekeliling, ah itu dia! Salah satu sahabat terbaikku! Loh? Kenapa ia duduk bersama orang-orang yang dulu selalu ia jelekkan? Kenapa ia—orang yang ramah—menatapku dengan penuh kebencian? Sejak kapan aku melihat pandangan itu? Pandangan seseorang yang jijik melihat keberadaanku saat ini. Apakah ia orang yang dulu aku kenal dengan baik? Ke mana perginya?

Kepalaku berhenti berputar ketika aku melihat ia—lelaki yang sampai detik itu masih memujaku—berada di deretan orang yang memberi “kompor” kepada mereka yang sedang berseteru. Apa yang terjadi? Kenapa ia di sana? Kenapa ia seolah tidak mengenalku? Baru beberapa malam yang lalu ia berniat menjengukku di rumah. Sekarang?

Aku mengalihkan pandanganku ke sisi sebelah kiri. Dia menatapku dengan tatapan datar. Lengannya dipeluk erat oleh wanita yang baru beberapa minggu ini menghiasi statusnya di BBM. Aku kira, ia akan memberi dua jempol sambil tersenyum lebar—seperti yang biasa ia lakukan ketika aku butuh semangat. Jarinya kini sudah digenggam erat oleh yang lain. Aku rasa, aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.

Tepat di sampingku berdiri seorang lelaki yang baru beberapa hari ini tidak menjadi pacarku lagi. Aku heran, kenapa masalah yang cukuplah kami berdua selesaikan, harus diselesaikan bersama orang lain. Bukan, ini bukan lagi orang lain. Satu angkatan turut andil membicarakan masalah kami. Weird, isn’t it?

Aku masih ingin melihat sekeliling ketika aku tersadar bahwa Clara belum mendapatkan sepatah kata-pun dariku. Belum sempat lima kalimat aku lontarkan, ia kembali menyerocos. Ah sudahlah, mungkin nanti ia capek sendiri.

Kembali aku meneliti satu per satu wajah yang berkumpul mengelilingi kami. Hm, ternyata Clara cukup bermodal juga. Teman-teman seperjuangannya berteriak menyemangati ia. Aku? Aku merasa cukup tangguh untuk mendengar celotehan Clara sendirian. Sendirian? Ya, aku bukan orang yang takut kehilangan teman. Aku tau, akan ada minimal satu siswa yang memihakku. Bukan karena ia temanku, tapi karena ia tau, bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap. Aku mengambil nafas panjang, oh Clara, belum habis juga suaramu?


Layaknya suporter suatu pertandingan, mereka bubar ketika pertandingan dihentikan oleh seorang guru di sekolah kami. Clara, masih dengan wajahnya yang merah padam, mendapat siraman nasihat dari Bu Tina. Kami bersalaman layaknya kedua tim seusai pertandingan. Iring-iringan menuju ke parkiran sekolah, sudah seharusnya waktu untuk pulang.

Aku hendak melangkahkan kaki ke dalam kelas ketika keenam siswi mencegatku masuk. Bukan, pertandingan tidak berlanjut, mereka adalah teman-teman yang aku anggap sebagai sahabat. Sisi baiknya? Mereka juga menganggapku seorang sahabat. Tadi, aku memang tidak melihat mereka. Ternyata? Mereka di belakang, sibuk bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ya, aku memang tidak berbagi hal ini kepada mereka. Toh, aku tidak menganggap ini suatu masalah. Hanya beberapa pihak yang sengaja berusaha menyudutkanku. Mereka bertanya, apa aku tidak apa-apa, kenapa aku tidak cerita, dan sebagainya. Mereka meminta agar kami berkumpul di rumahku, agar aku menceritakan apa yang terjadi. Satu hal yang membuat emosiku memuncak, kami berpelukan. Pelukan memberiku suatu kehangatan tersendiri.

Ketika di parkiran, aku melihat ia—sahabatku tersayang—sedang berbincang dengan sekumpulan teman barunya. Ia tidak menoleh ke arahku, aku juga tidak mengharapkan ia menoleh. Cukuplah sekali aku melihatnya memandangku dengan tatapan jijik.
Kami sedang berusaha mengeluarkan motor di parkiran yang padat ketika aku memperhatikan ia—sahabat lama yang sedang membonceng kekasih hatinya. Ingin rasanya aku menegurnya, bercerita hal-hal kecil yang sering ia tertawakan, tapi, ada mata lain yang menunjukkan ekspresi tidak suka. Ya, kekasihnya. Aku tidak ingin merusak hatinya yang sedang berbunga. Ah sudahlah.
Aku sudah naik ke atas motor ketika mataku bertemu dengan matanya—ia yang mengaku masih menyimpan perasaan kepadaku. Entahlah, kenapa aku tidak bisa menemukan ketulusan dari pandangannya?


Tepat setahun setelah kejadian di hari itu. Keenam perempuan itu masih menjadi kontak favorit di handphone-ku. Grup yang kami buat semasa sekolah masih diramaikan oleh foto-foto kegiatan kami masing-masing—lengkap dengan gosip terhangat seputar lingkungan kami yang baru. Kami masih mengunjungi satu sama lain ketika pulang ke kota di mana kami bertemu. Beberapa orang yang sekarang masih tinggal di kota yang sama masih menyempatkan diri untuk sekadar menginap di hari libur. Tidak setiap hari kami berkomunikasi. Ada beberapa hari di setiap satu bulan, kami saling bertukar cerita. Semuanya masih sama, baik itu tiga tahun yang lalu maupun detik ini.

Bagaimana dengan orang-orang yang tahun lalu menganggapku seperti angin? Masih sama, kami memang tidak ada keperluan untuk saling berhubungan. Jadi, tidak masalah.

Tapi, ada satu orang yang kembali menghubungiku, tepat setahun setelah hari itu. Ia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah ia lupa, pandangan apa yang ia tunjukkan di hari itu. Apa yang ia perbuat ketika aku sangat butuh bantuan moral darinya? Apa yang ia katakan untuk meyakinkan orang bahwa tidak seharusnya mereka ikut campur dengan urusan pribadiku? Jika aku dapat menentukan suatu sikap, apa yang akan aku lakukan sekarang?
Aku membalas pesannya,

Tahun lalu kamu ke mana?


-Fitri Fazrika Sari-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar