Aku udah nyampe. Kamu di mana?
Pesan singkat yang baru saja aku terima membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Dengan pelan aku poleskan lagi lipstik yang sudah berulang kali kuhapus. Aku berputar-putar di depan cermin, meneliti dengan cermat apa ada hal yang tidak beres dengan pakaianku hari ini. Aku menarik nafas panjang, yah, inilah saatnya.
Aku melihat wajahnya dari kejauhan. Ah, dia memang tampan.
"Kei? Ah, maaf, kamu sampai duluan ya? Udah lama?"
"Ah ngga kok, baru aja masuk hehe". Aku berusaha memberikan senyum terbaikku. Tapi, kenapa dia tidak tersipu? Apa lipstik yang aku pakai terlalu menor? Atau parfumku yang kurang enak? Beribu pertanyaan muncul dalam sekejap di kepalaku.
"Kei? Pintunya udah dibuka tuh"
"Ah? Iya, iya". Rasa panas mengalir di sekujur mukaku. Memalukan.
Untuk pertama kalinya aku duduk bersebelahan dengannya, dia yang sejak dua bulan ini mencuri hatiku. Sorot matanya yang teduh, badannya yang tinggi, juga kacamata yang membuatnya nampak lebih dewasa memang menyita perhatianku. Lebih dari itu, ia adalah seorang pemimpin kelas yang disegani. Di luar sekolah, ia adalah pemain bola yang cukup tangguh. Aku suka melihat ekspresinya ketika berhasil menembakkan gola ke gawang lawan. Aku suka luapan bahagianya ketika ia berhasil membawa kemenangan bagi timnya. Juga, saat kakinya cedera atau timnya kalah, rasanya aku ingin berlari ke tengah lapangan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Setengah jam berlalu, aku mulai fokus pada film yang sedang ditonton. Seru juga menonton film petualangan seperti ini. Sesekali aku teriak, merengut, juga menutup mataku ketika tokoh utama bertemu dengan lawannya. Aku lupa, kalau aku tidak menonton sendirian.
"Kei?" bisik Andra.
"Hm?" kataku tanpa menoleh ke arahnya. Ya, aku sedang sibuk menutup mata dengan tanganku. Tokoh utama sedang berjuang melawan musuh.
"Coba liat sini". Aku melihat ke arahnya dengan masih menutup mata.
Ia meraih tanganku.
"Senyum deh". Aku tersenyum malu sambil menatapnya.
"Nah, kan cantik". Katanya pelan sambil tersenyum.
Belum sempat aku menjawab apa-apa, ia sudah kembali memutar badannya ke arah layar. Aku juga kembali menatap layar, tapi pikiranku sudah terbang ke langit. Aku menggigit bibirku sambil tersenyum. Ah senangnya!
Hiruk pikuk stadion tidak menyurutkan mataku untuk mencarinya. Ya, hari ini adalah pertandingan final sepak bola antara sekolahku dan SMA Nusa. Aku tau, ia masih menjadi kapten di pertandingan kali ini. Dengan semangat aku ikut meneriakkan yel-yel sekolah kami. Meski dalam hati, aku ingin sekali meneriakkan namanya seperti teman-teman yang lain.
Peluit tanda dimulainya pertandingan telah berbunyi panjang. Ah, itu dia! Memakai pita di lengan, menandakan seorang kapten bagi sebuah timnya. Mataku tidak berhenti terfokus ke arahnya. Selang beberapa menit, matanya bertemu dengan mataku. Segera aku melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. Kemudian? Dia membalas senyumanku! Aku tidak peduli ada ratusan siswa lainnya yang meneriakkan kata semangat untuk tim kami. Aku yakin, ia tersenyum tepat saat matanya tertuju ke arahku. Kembali aku menggigit bibir sambil tersipu malu. Aku benar-benar menyukainya!
Pertandingan usai. Andra berhasil membawa timnya menuju kemenangan. Aku ikut melompat kegirangan bersama ratusan suporter dari sekolahku. Andra, you did it!
Andra mengajakku ke sudut stadion yang tidak terlalu ramai.
"Andra, selamat ya! Aku udah bilang kan dari awal, kita pasti menang!" kataku antusias sambil tersenyum lebar.
"Hehe thank you Kei, ini semua karna kerjasama tim yang baik kok." Andra tersenyum.
Aku baru saja membuka mulutku, tiba-tiba Andra bersiap untuk pergi.
"Loh? Mau pergi?" kataku sambil mengeluarkan wajah cemberut. Biasanya, Andra akan luluh jika aku memasang ekspresi seperti ini.
"Ada yang mau ngomong sama kamu Kei."
"Loh? Siapa?"
Andra menunjuk ke belakang kepalaku. Aku berbalik badan, ada Rio yang sedang tersenyum.
"Hmm, okedeh. Nanti malam kita jadi kan makan kebab?" kataku riang.
"Liat nanti deh".
Aku heran, kenapa Andra jadi jutek gitu sih? Ah, mungkin dia lelah.
"Hi Rio! Congrats buat kemenangan kalian ya!" kataku sambil menjabat tangannya.
Tunggu, kok tanganku ga dilepas sih? Aku menunggu. Satu menit, dua menit, tidak ada tanda-tanda Rio akan melepaskan genggaman tangannya. Aku mulai risih.
"Yo?" kataku pelan.
"Kei, maaf kalau tiba-tiba. Tapi, aku ...". Rio menarik nafas panjang. Kalimatnya digantung. Situasi ini membuat aku semakin risih. Segera aku menarik tanganku dari genggamannya.
Rio menarik lagi tanganku, kemudian ia berlutut.
"Kei, udah sebulanan ini aku selalu memperhatikan kamu. Suara kamu, mata kamu, kepintaran kamu, semuanya buat aku jatuh cinta sama kamu. Would you like to be my queen, my dearest Keisha?".
Aku tersentak.
"Aku tau ini terlalu cepat. Tapi, kenapa gak dicoba aja dulu? Aku yakin, aku bisa jadi yang terbaik buat kamu Kei".
Aku membuang muka. Rasanya terlalu aneh. Dinyatakan cinta oleh seseorang yang sama sekali tidak "terlihat" di mataku. Aku, aku bingung mesti menjawab apa.
Sepertinya Rio mengerti maksudku. Ia melepas genggaman tangannya dan kembali berdiri. Dengan lembut ia mengusap kepalaku.
"Gak papa Kei, aku tau kamu pasti terkejut. I just want to let you know that I love you. Hmm, sampai ketemu besok ya. Boleh aku jemput?" Rio berkata dengan sangat lembut. Wajahnya penuh pengharapan. Karena tidak tau harus menjawab apa, aku hanya mengangguk. Rio tersenyum lebar kemudian membalikkan badannya, pergi meninggalkan aku yang masih terdiam.
Aku duduk berhadapan dengan Andra di tempat biasa kami makan kebab. Tidak seperti biasanya, malam itu ia lebih banyak diam.
"Andra, ngomong dong. Ya kali aku terus yang cerita. Kamu capek? Apa sebaiknya kita pulang aja?"
"Loh, jadi mau pulang? Aku baru 15 menit yang lalu nyampe Kei. Yaudah kalo kamu maunya gitu.", jawab Andra ketus.
"Ih itu kan baru saran. Kamu aneh deh malam ini." sahutku kesal. Andra kembali diam. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku semakin merasa bersalah.
"Kei, tadi siang gimana?" suaranya sangat pelan, hampir saja aku berkata "hah". Untung gak jadi, kalo iya, bisa makin ngambek deh si Andra.
"Hmm, apanya yang gimana?" tanyaku heran.
"Rio", katanya datar sambil menatap tepat di mataku. Tiba-tiba dadaku serasa dihunus oleh pedang yang sangat tajam. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam pikiranku.
"Yaa, gak kenapa-kenapa sih", jawabku berusaha santai. "Emang kenapa?"
Andra terdiam, wajahnya menunduk sibuk merapikan kemejanya yang tidak perlu dirapikan. Aku menunggu, jawaban apa yang kira-kira akan diucapkannya. Ah, situiasi seperti ini benar-benar membuatku muak.
"Kei, mulai malam ini dan seterusnya, aku gak bisa dekat lagi sama kamu. Aku, aku akan berhenti mengirimimu pesan secara intens." katanya pelan.
Aku tersentak. "Kenapa? Aku rasa, selama ini tidak ada masalah apapun".
"Kita harus menjauh Kei"
"Ya kenapa kita harus menjauh? Bukannya selama ini kita berteman dengan baik? Kenapa tiba-tiba ...", belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Andra memotong dengan suaranya yang keras.
"Karna Rio suka sama kamu!". Suara gelegar Andra tidak hanya membuatku terdiam, tapi juga membuat hening para pengunjung lainnya. Tak lama, mereka kembali bersuara. Mungkin ingin memberi kami waktu untuk menyelesaikan masalah ini berdua. Masalah? Apakah ini sebuah masalah? Ada hubungan apa aku dengan Andra, hingga semua ini disebut "masalah". Kami hanya teman yang beberapa bulan ini menjadi dekat. Kami hanyalah teman yang rutin bertukar kabar setiap hari, telponan di malam hari, juga jalan di hari libur, baik sekadar makan atau mengerjakan tugas. Tunggu, apakah kami sudah sedekat itu? Lalu, hubungan apa ini namanya? Aku terhenyak.
Aku tidak tau berapa lama kami saling berdiam diri. Yang aku tau, pengunjung mulai meninggalkan tempat ini satu persatu. Angin malam mulai terasa, tanda hari sudah semakin larut. Batinku benar-benar tersiksa.
"Keisha, maaf." kata pertama yang terucap yang dari mulut Andra setelah sekian lama menunggu.
"Aku, aku gak tau kenapa Rio yang menyukai aku menjadi alasan kita tidak boleh menjadi dekat lagi.", kataku hati-hati.
"Karena aku sayang sama kamu.". Kalimat itu, kalimat yang selalu aku tunggu sejak dua bulan yang lalu. Kalimat yang selalu aku tau jawabannya dengan pasti. Ya, aku juga sayang kamu Andra.
Belum sempat aku menjawab, Andra bersiap melanjutkan kalimatnya. Aku mulai menggigit bibirku sambil tersenyum malu.
"Karena aku sayang sama kamu, aku gak mau kita dekat lagi Kei. Semenjak aku tau Rio suka sama kamu, aku mulai berpikir untuk menjauhi kamu. Ketika Rio sudah mengatakan kalau dia suka sama kamu, aku benar-benar akan menjauhi kamu, Kei."
Lima menit semenjak Andra mengucapkan kalimatnya, aku masih diam. Aku berusaha menahan tajamnya hunusan pedang yang menusuk jantungku. Aku berusaha mengendalikan derasnya ombak yang akan jatuh dari pelupuk mataku. Aku berusaha menahan jutaan halilintar yang akan keluar dari mulutku. Aku masih berusaha mengendalikan diri, agar Andra tidak membuatku hancur.
Sepuluh menit kemudian, hunusan pedang, ombak, dan halilintar yang bergemuruh tidak lagi aku rasakan. Aku tidak lagi merasa sakit, tidak lagi ingin menangis, juga tidak lagi ingin berteriak. Seluruh asaku kini telah mati. Rasanya, sekarang aku lebih dari sekadar kata hancur.
Lima belas menit kemudian, aku mulai bersuara.
"Aku, sangat sayang sama kamu. Udah dua bulan aku tersadar kalo aku benar-benar suka sama kamu. Entah udah berapa bulan aku mulai tertarik sama kamu. Jika kita saling mencintai, kenapa tidak bersatu?", suaraku bergegar. Ternyata bicara tidak semudah itu. Rasa yang tadi telah mati kembali hidup. Tepat di detik kesepuluh setelah kata terakhir yang aku ucap, aku menangis. Tangisan yang aku tidak tau artinya apa. Aku hanya tau bahwa perasaanku kini telah berserakan.
"Karena aku tidak akan tega menghancurkan perasaan sahabatku, Kei. Salahku yang dari awal tidak terbuka dengannya, kalo aku suka sama kamu. Sampai pada akhirnya, bulan lalu dia cerita kalau dia naksir sama kamu. Aku, aku bingung Kei"
Aku mendengarkan dengan cermat tiap kata yang terucap dari mulutnya. Ah, Andra memang lelaki yang baik. Aku tidak menyangka, ia akan mengorbankan perasaan demi sahabatnya sendiri, yang berujung juga menyakiti perasaanku sendiri.
"It's okay Ndra. Aku senang ternyata kamu membalas perasaan aku". Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Andra meraih kepalaku dan menyenderkan di bahunya. Tak butuh waktu lama, tangisanku kembali terdengar. Andra hanya diam, tangan kanannya mengusap kepalaku dengan lembut. Tangan kirinya menggenggam kedua tanganku dengan erat. Malam itu kami membisu bersama langit. Tak banyak bintang yang berpijar di atas langit Sungai Kapuas tempat kami berlabuh. Semuanya terasa hening dan gelap, sama seperti perasaan dua insan yang tak bisa bersatu meski ingin menyatu.
Aku duduk berhadapan dengan Andra di tempat biasa kami makan kebab. Tidak seperti biasanya, malam itu ia lebih banyak diam.
"Andra, ngomong dong. Ya kali aku terus yang cerita. Kamu capek? Apa sebaiknya kita pulang aja?"
"Loh, jadi mau pulang? Aku baru 15 menit yang lalu nyampe Kei. Yaudah kalo kamu maunya gitu.", jawab Andra ketus.
"Ih itu kan baru saran. Kamu aneh deh malam ini." sahutku kesal. Andra kembali diam. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku semakin merasa bersalah.
"Kei, tadi siang gimana?" suaranya sangat pelan, hampir saja aku berkata "hah". Untung gak jadi, kalo iya, bisa makin ngambek deh si Andra.
"Hmm, apanya yang gimana?" tanyaku heran.
"Rio", katanya datar sambil menatap tepat di mataku. Tiba-tiba dadaku serasa dihunus oleh pedang yang sangat tajam. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam pikiranku.
"Yaa, gak kenapa-kenapa sih", jawabku berusaha santai. "Emang kenapa?"
Andra terdiam, wajahnya menunduk sibuk merapikan kemejanya yang tidak perlu dirapikan. Aku menunggu, jawaban apa yang kira-kira akan diucapkannya. Ah, situiasi seperti ini benar-benar membuatku muak.
"Kei, mulai malam ini dan seterusnya, aku gak bisa dekat lagi sama kamu. Aku, aku akan berhenti mengirimimu pesan secara intens." katanya pelan.
Aku tersentak. "Kenapa? Aku rasa, selama ini tidak ada masalah apapun".
"Kita harus menjauh Kei"
"Ya kenapa kita harus menjauh? Bukannya selama ini kita berteman dengan baik? Kenapa tiba-tiba ...", belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Andra memotong dengan suaranya yang keras.
"Karna Rio suka sama kamu!". Suara gelegar Andra tidak hanya membuatku terdiam, tapi juga membuat hening para pengunjung lainnya. Tak lama, mereka kembali bersuara. Mungkin ingin memberi kami waktu untuk menyelesaikan masalah ini berdua. Masalah? Apakah ini sebuah masalah? Ada hubungan apa aku dengan Andra, hingga semua ini disebut "masalah". Kami hanya teman yang beberapa bulan ini menjadi dekat. Kami hanyalah teman yang rutin bertukar kabar setiap hari, telponan di malam hari, juga jalan di hari libur, baik sekadar makan atau mengerjakan tugas. Tunggu, apakah kami sudah sedekat itu? Lalu, hubungan apa ini namanya? Aku terhenyak.
Aku tidak tau berapa lama kami saling berdiam diri. Yang aku tau, pengunjung mulai meninggalkan tempat ini satu persatu. Angin malam mulai terasa, tanda hari sudah semakin larut. Batinku benar-benar tersiksa.
"Keisha, maaf." kata pertama yang terucap yang dari mulut Andra setelah sekian lama menunggu.
"Aku, aku gak tau kenapa Rio yang menyukai aku menjadi alasan kita tidak boleh menjadi dekat lagi.", kataku hati-hati.
"Karena aku sayang sama kamu.". Kalimat itu, kalimat yang selalu aku tunggu sejak dua bulan yang lalu. Kalimat yang selalu aku tau jawabannya dengan pasti. Ya, aku juga sayang kamu Andra.
Belum sempat aku menjawab, Andra bersiap melanjutkan kalimatnya. Aku mulai menggigit bibirku sambil tersenyum malu.
"Karena aku sayang sama kamu, aku gak mau kita dekat lagi Kei. Semenjak aku tau Rio suka sama kamu, aku mulai berpikir untuk menjauhi kamu. Ketika Rio sudah mengatakan kalau dia suka sama kamu, aku benar-benar akan menjauhi kamu, Kei."
Lima menit semenjak Andra mengucapkan kalimatnya, aku masih diam. Aku berusaha menahan tajamnya hunusan pedang yang menusuk jantungku. Aku berusaha mengendalikan derasnya ombak yang akan jatuh dari pelupuk mataku. Aku berusaha menahan jutaan halilintar yang akan keluar dari mulutku. Aku masih berusaha mengendalikan diri, agar Andra tidak membuatku hancur.
Sepuluh menit kemudian, hunusan pedang, ombak, dan halilintar yang bergemuruh tidak lagi aku rasakan. Aku tidak lagi merasa sakit, tidak lagi ingin menangis, juga tidak lagi ingin berteriak. Seluruh asaku kini telah mati. Rasanya, sekarang aku lebih dari sekadar kata hancur.
Lima belas menit kemudian, aku mulai bersuara.
"Aku, sangat sayang sama kamu. Udah dua bulan aku tersadar kalo aku benar-benar suka sama kamu. Entah udah berapa bulan aku mulai tertarik sama kamu. Jika kita saling mencintai, kenapa tidak bersatu?", suaraku bergegar. Ternyata bicara tidak semudah itu. Rasa yang tadi telah mati kembali hidup. Tepat di detik kesepuluh setelah kata terakhir yang aku ucap, aku menangis. Tangisan yang aku tidak tau artinya apa. Aku hanya tau bahwa perasaanku kini telah berserakan.
"Karena aku tidak akan tega menghancurkan perasaan sahabatku, Kei. Salahku yang dari awal tidak terbuka dengannya, kalo aku suka sama kamu. Sampai pada akhirnya, bulan lalu dia cerita kalau dia naksir sama kamu. Aku, aku bingung Kei"
Aku mendengarkan dengan cermat tiap kata yang terucap dari mulutnya. Ah, Andra memang lelaki yang baik. Aku tidak menyangka, ia akan mengorbankan perasaan demi sahabatnya sendiri, yang berujung juga menyakiti perasaanku sendiri.
"It's okay Ndra. Aku senang ternyata kamu membalas perasaan aku". Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Andra meraih kepalaku dan menyenderkan di bahunya. Tak butuh waktu lama, tangisanku kembali terdengar. Andra hanya diam, tangan kanannya mengusap kepalaku dengan lembut. Tangan kirinya menggenggam kedua tanganku dengan erat. Malam itu kami membisu bersama langit. Tak banyak bintang yang berpijar di atas langit Sungai Kapuas tempat kami berlabuh. Semuanya terasa hening dan gelap, sama seperti perasaan dua insan yang tak bisa bersatu meski ingin menyatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar