Minggu, 20 November 2016

Dilan

Semenjak Pidi Baiq memunculkan novelnya, banyak wanita yang jatuh cinta pada Dilan, sesosok lelaki humoris nan romantis kepada Milea.
Lelaki yang menimbun rindunya hanya untuk Milea.
Lelaki yang selalu menjaga Milea, bahkan ketika ia tak lagi menjadi pacarnya.


Asal kau tahu, aku mengenal Dilan yang hidup nyata di bumi ini. Dilan yang sama seperti Dilan yang mencintai Milea apa adanya.

Dilanku ini,
senang bepergian jauh untuk mencari ketenangan bersama debur pantai
senang mendaki gunung untuk melihat mentari pertama di suatu hari

Dilanku ini,
selalu memakai jaket jeans usang yang sudah pudar warnanya
mengelilingi kota dengan motor tua dan helm kerupuknya
tidak lupa; sambil menyapa setiap orang yang dilewatinya

Dilanku ini,
pandai merangkai kata menjadi lebih indah dan menyejukkan
tiap-tiap yang ia tuliskan
berlafal senja, hati. rindu, bumi, matahari, dunia dan seisinya

Aku suka.
Aku bahagia tiap kali membaca tulisannya.
Begitu tenang, sunyi, namun berambisi.


Cita-citanya adalah satu: pulang-pergi ke Bandung naik kereta api!
Katanya, tak ada rel kereta di kampung halaman.

Aku juga ingin bepergian dengannya naik kereta menuju Bandung,
pasti asyik.
Dari jauh saja, aku senang mendengarnya bercerita.
Dari jauh saja, aku bangga melihatnya mendapat banyak pujian.
Dari jauh saja, aku bahagia karenanya.

Lidah ini terlalu kelu untuk mengajak Dilan berbicara.
Membalas senyumnya saja sudah cukup membuatku salah tingkah.


Benar kata Dilan kepada Milea;
Asal kamunya tetep ada di bumi, udah cukup. Udah bikin aku seneng :)




-Fitri Fazrika Sari-

Rabu, 17 Agustus 2016

Untuk Indonesia, dari Generasi 1997

1997.
Baru saja aku dilahirkan, Indonesia sedang mengalami reformasi besar-besaran yang pada akhirnya berdampak pada krisis moneter hingga tahun 1998.

Ya, kejadian itu baru aku pahami ketika guru di sekolah menerangkan hal tersebut. Ah, pantas saja, ibuku pernah bercerita bahwa nenekku datang jauh-jauh dari Kalimantan untuk membawa susu serta baju yang cukup banyak untuk diriku. Katanya, beliau tidak mampu untuk membeli susu yang kala itu harganya melonjak tinggi di tanah Jawa.
Mungkin, sebagian besar dari kalian juga punya cerita lama yang tidak jauh berbeda dariku, sebagai anak yang lahir pada tahun 1997.


Hampir lebih dari sepuluh tahun yang lalu, aku sedang asyik-asyiknya menikmati peran sebagai seorang bocah SD. Pergi ke sekolah dengan beberapa buku di dalam tas serta botol minum yang menggantung di leher. Pada saat jam istirahat, kami akan berlari-larian di tangga sekolah, bermain kartu, petak umpet, lompat tali, kejar benteng, serta permainan menarik lainnya hingga bel tanda masuk kelas telah berbunyi. Ah iya, tidak lupa juga kenangan ketika kami menangis keras karena terjatuh di lapangan, tertabrak pintu, atau jatuh ke dalam selokan. Selain itu, hal pasti yang membekas adalah waktu imunisasi di sekolah! Setiap ada orang besar memakai baju putih dan membawa beberapa tas kecil, beberapa temanku akan sembunyi di kursi belakang atau langsung menangis :))
Ketika SD, aku juga menghabiskan waktu untuk menonton kartun di setiap pagi, SILET yang masih seputar mengejar orang kesurupan di siang hari, serta fear factors bersama ayahku di malam hari.
Mungkin, sebagian besar dari kalian juga punya cerita lama yang tidak jauh berbeda dariku, sebagai anak yang lahir pada tahun 1997.


Menginjak kelas SMP hingga SMA, aku mulai membulatkan sebuah cita-cita besar, seorang dokter anak. Selain itu, aku dan teman-teman juga mulai membayangkan masa depan seperti apa yang akan kita jalani nanti. Ada yang ingin cepat menikah, kuliah di luar negeri, menjadi model, atau ingin segera meneruskan usaha keluarga.
Mungkin, sebagian besar dari kalian juga punya cerita lama yang tidak jauh berbeda dariku, sebagai anak yang lahir pada tahun 1997.


Saat ini, mungkin sebagian besar dari kami sedang menyandang status sebagai seorang mahasiswa. Katanya sih, tingkat paling tinggi dari seluruh siswa. Agent of change, mereka yang membawa perubahan katanya.
Hari ini, Indonesia telah merdeka selama 71 tahun lamanya. Namun, banyak yang pesimis. Katanya anak muda jaman sekarang semakin menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Katanya anak muda jaman sekarang tidak lagi bangga terhadap budaya serta aset yang dimiliki Indonesia. Katanya anak muda jaman sekarang sudah tidak peduli dengan masalah-masalah yang ada di sekitarnya, terlebih masalah-masalah besar yang terjadi di negaranya sendiri.


Itu kan cuma katanya.


Sekarang, aku dan teman-teman generasi 97 lainnya sedang berada di tahun kedua atau ketiga di kampus.
Ya, memang benar, saat ini aku belum bisa duduk di kursi tinggi yang dapat dilihat oleh ribuan rakyat Indonesia lainnya. Memang benar, sampai detik ini saja aku belum terlepas dari tanggungan orangtua. Memang benar, aku adalah satu dari ribuan anak muda lainnya yang sedang asyik bermain instagram dan snapchat hampir di setiap jamnya.

Tapi,

Aku sedang menuntut ilmu di bidang yang kusukai di jurusan ini.
Aku sedang berusaha mencoba beberapa cara untuk mendapatkan uang saku tambahan agar tidak membebani orangtua.
Aku memberanikan diri aktif dalam organisasi kampus.
Aku mendatangi tempat-tempat yang sedang melakukan kegiatan sosial.
Aku mulai mengkritisi masalah-masalah yang kulihat di koran maupun televisi.
Aku mulai merasa risih terhadap orang-orang yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan.
Aku ikut merasa kesal ketika kekayaan alam dan budaya kita diambil oleh orang luar.
Aku terharu ketika mendengar lagu-lagu kebangsaan dinyanyikan.
Aku merasa segitu bangganya ketika siapapun dari Indonesia, memenangkan kejuaraan di tingkat dunia.
Juga, untuk pertama kalinya, aku merasa perlu untuk menunjukkan kasih cinta dan baktiku untuk Indonesia di hari kemerdekaannya.


Indonesia,
sepuluh tahun dari sekarang,
sepertinya aku akan melakukan hal yang lebih besar lagi,
untuk membangun Indonesia yang ramah pada semua rakyatnya


Mungkin, sebagian besar dari kalian mempunyai rasa tanggung jawab yang lain terhadap Indonesia, sebagai anak yang lahir pada tahun 1997.




-Fitri Fazrika Sari-

Rabu, 20 Juli 2016

Kirana

Kirana,
kamu adalah sosok paling sempurna yang pernah Tuhan ciptakan,
setidaknya bagi saya.

Parasmu indah,
namun hatimu jauh lebih indah.
Saya dapat melihat sinar ketulusan dari setiap tatapan matamu.
Saya dapat merasakan kebahagiaan yang dilontarkan oleh senyummu,
Saya dapat mendengar kelembutan dari setiap perkataanmu.



Kirana,
saya tau,
kamu adalah pejuang yang sangat tangguh,
terlebih bagi dirimu sendiri.

Saya selalu kagum dengan caramu menggapai semua asa.
Harapan baru yang selalu tumbuh,
serta impian yang akhirnya kamu raih satu demi satu.



Kirana,
saya takut.
Saya belum bisa menjadi sosok yang bisa kamu banggakan.
Saya masih terseok-seok untuk menaiki tangga-tangga harapan yang baru saya buat ketika saya bertemu kamu.
Saya merasa bahwa saya berada jauh dibawah kesempurnaanmu.

Kirana,
saya tidak dapat berjanji bahwa saya dapat menyusulmu disana.

Namun,
saya akan selalu mengiringi setiap langkahmu,
saya akan mendoakan yang terbaik untukmu
saya juga tidak berani berharap agar kamu mengagumi saya, seperti halnya saya yang jatuh terlalu dalam oleh kesempurnaanmu.



-Fitri Fazrika Sari-

Jumat, 01 Juli 2016

Tidak apa-apa

Tidak apa-apa.

Kamu bebas untuk memintaku melakukan hal-hal yang kamu mau.
Memintaku menunggu di ujung jalan agar kamu tidak lama menunggu.
Memintaku menghabiskan makan dengan cepat agar kamu tidak terlambat pergi ke kantor.
Memintaku untuk tidak manja, katanya biar aku menjadi wanita yang kuat serta mandiri.
Juga memintaku untuk tidak merengek akan masalah-masalah kecil yang kualami di kantor.


Tidak apa-apa.

Aku akan biasa saja jika kamu tidak menggenggam tanganku di depan mereka.
Duduk berjauhan ketika sedang bersama di keramaian.
Memaksakan diri untuk menahan tawa akan lelucon yang kusampaikan ketika bercengkrama dengan teman kita.
Juga menolak ketika aku ingin mengabadikan momen kita dalam sebuah format .jpg.


Tidak apa-apa.
Rasanya aku terlalu sibuk meyakinkan diri bahwa aku memang tidak apa-apa.
Setiap saat, apapun yang kamu minta, selalu kuanggap bahwa itu memanglah tidak apa-apa.
Ya, aku yakin.
Aku merasa tidak apa-apa.

“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” batinku sambil tersenyum manis ketika kamu mulai mengayunkan tangan menuju bahuku. Agar aku semakin kuat, katanya.



-Fitri Fazrika Sari-

Minggu, 05 Juni 2016

It Means a Lot

It means a lot.
To say ‘honey’ each and every day.

It means a lot.
To make a call even we already met just an hour ago.

It means a lot.
To hold my hands when we are walking down the street.

It means a lot.
That you asked me what I did on today.

It means a lot.
That you come over here just to see my face in a while.

It means a lot.
That you answer all of my silly thought or those retorical words.

It really means a lot when you said that you love me and show me your love.
I know, I really know that we care for each other. That we really love for each other. That we have a dream that we’re gonna looking for.
I know.
I understand.

But,
Somehow,
I need you the most in the smallest thing that I did everyday.


For example? Breathing.


-Fitri Fazrika Sari-

Selasa, 29 Maret 2016

Kepada Calon Ibu Mertua

Perkenalkan, ini saya.
Wanita yang saat ini sedang berusaha untuk memantaskan diri bagi anak anda.
Wanita yang ingin mengambil alih tugas anda sebagai pusat dunianya.

Perkenalkan, ini saya.
Saya yang beberapa waktu ini telah menemani di kala susah maupun senangnya.
Saya yang berada di sisinya ketika ia jauh dari anda.
Saya yang selalu ingin membuatnya tertawa dalam segala cara.

Maaf, untuk kali ini dan seterusnya, saya ingin mengambil peran anda.
Saya yang akan menyiapkannya sarapan sembari mempersiapkan tas kantornya.
Saya yang akan menunggunya di depan rumah ketika ia pulang larut.
Saya yang akan terjaga semalaman demi memastikan panas tubuhnya kembali normal.

Untuk kali ini dan seterusnya,
Biarkanlah ia menjadi imam di setiap waktu saya berjumpa dengan-Nya.
Biarkanlah saya yang akan menjadi teman ia membuka hingga menutup mata.
Biarkanlah saya membagi luka dan tawa ini untuknya.
Beri saya kesempatan untuk menjadi sosok ibu yang selama ini ia idamkan.

Ya, ibu itu adalah anda.
Tak pernah sekalipun ia melewatkan cerita tentang anda.
Entah itu sekadar canda tawa atau kekonyolannya yang membuat anda menangis.
Anda selalu menjadi sosok terhebat di matanya.
Hanya anda yang bisa memahami ia dan juga keluarga anda.
Hanya anda yang menjadi penengah dalam segala konflik yang terjadi dalam keluarga anda.
Hanya anda yang selalu menjadi orang pertama yang dicari oleh keluarga anda.

Maka, izinkanlah saya untuk berbagi peran itu bersama anda.
Izinkanlah saya untuk mengambil sebagian dari diri anak anda yang telah membuat saya menjadi seperti ini.
Hanya dialah yang membuat saya kuat menjalani hidup keras yang baru saja akan kami lewati.
Hanya dia, lelaki yang saya inginkan untuk meminang diri saya.
Hanya dia, imam yang saya butuhkan untuk membangun sendiri keluarga impian saya.

Saya berjanji,
Saya berjanji tidak akan mengambil ia sepenuhnya dari diri anda.
Saya akan selalu menyisihkan sebagian waktunya untuk anda.
Saya tidak akan mengambil alih sepenuhnya tentang ia—meski itu adalah hal yang paling saya inginkan di dunia.


Inilah saya, wanita yang ingin menjadi bagian utuh dari anak seorang ibu terhebat seperti anda.


-Fitri Fazrika Sari-

Sabtu, 05 Maret 2016

Minorities as a Form of Diversity

Pepatah lama mengatakan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.
Awalnya aku masih belum paham, kenapa sih harus Cina? Kenapa bukan Arab? India? Amerika? Kenapa harus Cina? Apa spesialnya Cina, sampai kita harus jauh-jauh pergi ke sana untuk sekadar belajar?


Akhirnya, aku ketemu jawabannya. Bulan Januari hingga Februari kemarin, aku mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu perwakilan AIESEC UNS sebagai peserta exchange di program winter tahun ini :)

Cina adalah tujuan pertamaku ketika mencari project. Pertanyannya, kenapa harus Cina? Apa aku mau mengamalkan pepatah lama yang ada di kalimat pertama? Hehe bukan kok. Alasannya simpel, aku mau megang salju. Iya, dengan impian sesimpel itu, aku bener-bener berdoa biar bisa keterima di Cina. Alasan lainnya? Yaa, karena aku tau bahwa program ini tidak seluruhnya gratis, maka aku hanya memilih negara yang masih dalam kawasan Asia. Biar apa? Ya biar gak terlalu mahal atuh...
Oh ya, setelah sampai di Cina, beberapa teman bahkan orang yang gak aku kenal mulai ngechat aku. Gimana sih caranya ke sana? Kemarin seleksinya susah gak? Itu bayarnya berapa? Fit kamu liburan ke Cina? AIESEC itu apa sih? Fit xxxxxxxxxxx? Fit yyyyyyyy? Yha, begitulah. Setelah ini, aku posting pengalaman seleksiku bersama AIESEC yaa, hope it helps!


Hidup di Cina, tepatnya di kota Wuhan selama enam minggu meninggalkan banyak banget pengalaman buat diriku sendiri. Rasanya tinggal jauh dari keluarga dan teman-teman itu....kangennya kerasa banget. Tapi, hal itu bisa diatasi karena aku punya banyak kenalan baru dari negara yang berbeda-beda! :D Senang banget bisa belajar banyak kebiasaan dari teman-teman lain, belajar memperbaiki dan memperbarui kosakata, serta jalan-jalan di negeri orang, hehe.

Di sana, untuk pertama kalinya aku mengerti bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas. Kamu mau tau rasanya dipandang aneh ketika jalan di tempat umum? Rasanya jadi orang bego karena gak ngerti apa yang diomongin penjual ketika kita mau pesan makan? Rasa susahnya nyari tempat makan yang benar-benar halal? Rasanya jalan sumpek-sumpekan sama penduduk Cina yang buanyak banget itu?
Loh? Kalau kayak gitu, aku gak bahagia dong di sana?
TIDAK SAMA SEKALI!
Malah, aku bener-bener ngerasa senang ketika menjadi kaum minoritas. Aku mendapat banyak banget pandangan baru tentang bagaimana orang melihat kita, bagaimana cara orang lain berpikir, serta bagaimana cara mereka menjalani hidupnya sehari-hari.
Hidup sebagai kaum minoritas membuat aku ngerasa semakin "dekat" dengan Ia. Hidup sebagai kaum minoritas membuat aku belajar lebih banyak tentang kesabaran juga keikhlasan. Hidup sebagai kaum minoritas membuat aku jadi lebih ngehargai perbedaan. Sungguh :)


Mungkin, banyak dari mereka yang berpikiran bahwa aku selalu ngejalanin hal-hal yang menyenangkan dalam hidup, salah satunya dengan pergi ke Cina. Bukan, jangan pandang bahwa aku "hanya" sedang liburan. Selagi masih menjabat status sebagai seorang mahasiswa, aku hanya ingin mencoba berbagai pengalaman baru yang akan menambah pengalaman hidup. Aku ingin keluar dari zona nyaman, aku ingin menantang diriku sendiri untuk berani mengambil tantangan, aku ingin melihat dunia sebanyak dan seluas mungkin, aku ingin mengapresiasikan waktuku dengan segala kegiatan positif. Aku ingin, nantinya, aku bisa menjadi secuil penggerak semangat bagi mereka, mahasiswa Indonesia yang kreatif dan inspiratif.
Aamiin ya rabbal alamin..



-Fitri Fazrika Sari-

Minggu, 10 Januari 2016

Jarak

Jarak memiliki dua sisi seperti koin. Di satu sisi, aku tidak pernah ragu akan sebuah jarak. Namun, di sisi lain, ada jarak yang sangat aku takuti. Jarak yang benar-benar akan memisahkan dua insan yang sedang bersatu. Jarak yang akan membuat dua hati itu menjadi rapuh.

Aku tidak pernah takut dengan luasnya daratan serta lautan yang kini memisahkan kita. Entah itu hanya puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer pun aku tak takut.
Apakah kini kita sedang berada di pulau yang berbeda? Tak mengapa. Kalaupun mau, aku atau kamu bisa saling pergi menuju sisi masing-masing. Cukup menunggu dalam hitungan jam, kita akan bertemu juga.
Apakah kita akan berada di negara yang berbeda? Tak mengapa. Kalaupun tak bisa, kita masih bisa bertemu lewat suara. Cukup menunggu dalam hitungan menit, kita akan bertemu juga.
Apakah aku akan resah? Tentu saja tidak. Jarak bukanlah pemisah bagi hubungan kita. Jarak bukanlah penghalang bagi dua insan yang sedang dimabuk cinta. Jarak hanyalah setitik alasan agar kita tidak bertemu saat itu juga. Jika biasanya kita dapat berjumpa dengan mudah, kini jarak menjadikannya sedikit lebih susah. Tapi tak mengapa, toh kita juga masih akan berjumpa kan?


Hanya saja, aku takut akan suatu jarak. Jarak itu bukan soal perbedaan tempat ataupun waktu. Jarak itu...adalah kita yang sudah berbeda.

Kamu yang tak lagi sama. Itu yang sangat aku takutkan. Anggap saja aku pecundang, yang akan langsung jatuh terhempas ketika kamu tinggalkan. Aku terlalu takut jika tak lagi bertemu dengan kamu yang sama. Kamu yang selalu marah ketika aku terlalu sibuk. Kamu yang selalu senang ketika aku mulai tersenyum. Kamu yang selalu sedih ketika aku terluka.
Yang aku tau, kamu itu selalu menjadi sosok yang selalu aku andalkan. Kamu menjadi sosok yang tidak akan pernah bisa aku lepaskan. Apa jadinya kalau kamu tak lagi menjadi orang yang sama? Aku...aku bahkan tidak ingin membayangkannya. Hanya dengan mengetik saja, aku tau. Aku tau kalau aku tidak akan sanggup untuk bertemu dengan kamu yang berbeda. Jika boleh menjadi egois, aku ingin kamu akan selalu menjadi sosok yang sama. Sosok yang membuatku terlalu jatuh dalam hangat kasih sayangmu.

Aku memang takut ketika kamu akan berubah menjadi orang yang berbeda. Namun, aku lebih takut jika itu adalah aku yang berbeda. Bagaimana jika aku tak lagi menjadikanmu prioritas dalam hidupku? Bagaimana jika akulah penyebab terjadinya jarak itu? Bagaimana jika aku yang secara tidak langsung, memintamu untuk menciptakan jarak?

Ah. Jangan.

Aku tidak mau semuanya berakhir karena jarak itu. Biarlah laut biru ini yang memisahkan kita. Biarlah seribu kilometer ini membuat kita tak lagi bertemu. Hanya satu pintaku. Cukup daratan, lautan, dan luasnya bumi ini yang membuat jarak di antara kita. Apa yang selama ini kita jaga di dalam hati, jangan kamu jauhkan juga. Bolehkah?



-Fitri Fazrika Sari-