Selasa, 02 Juni 2015

Berjuang?

Selamat pagi Haris. Walaupun ini hari Senin, aku harap kamu tetap semangat bangun pagi ya. Selamat atas kemenangan tim kamu di pertandingan semalam! :)
Pesan singkat itu membangunkan Haris yang sedang terlelap. “Ah sial, masih jam 5 pagi. Cewek itu benar-benar pengganggu” katanya sambil bersungut seraya berjalan mengambil handuk.

Selamat malam Haris, how’s your day? Aku lihat kamu tadi dihukum Pak Roy ya? Makanya, jangan malas kerjain tugas :p
Dia lagi, dia lagi. Haris mulai merasa kesal. Sejak tiga bulan terakhir, cewek yang bernama Windy terus-menerus mengiriminya pesan singkat. Pagi, siang, malam, cewek itu tidak pernah absen mendatangi dirinya lewat SMS. Ada hari di mana cewek itu tidak mengiriminya pesan sama sekali. Ah, mungkin pulsanya habis.

Selama tiga bulan itu pula, Windy tidak mendapat satu pun balasan. Ada kalanya ia merasa jenuh, apa yang dilakukannya percuma. Ia bisa menangis seharian penuh, menunggu, apakah Haris akan mencarinya. Kenyataannya? Tidak. Haris tidak pernah mencarinya. Kemungkinan yang lebih buruk? Mungkin Haris tidak pernah tahu, mana cewek yang bernama Windy.

Selamat pagi, hari ini kamu udah sayang sama aku belum?
Haris mengerutkan keningnya beberapa saat. Wah, akhirnya ada kata “sayang” di pesannya. Sejenak ia berpikir, kemudian mengetik.
Belum.
Windy sedang mengemaskan tempat tidurnya ketika handphone-nya berdering. Itu nada khusus untuk Haris! Apa dia membalas pesanku?! Dengan cepat ia mengambil hp dan membuka pesan. Ah, lengkung indah nampak jelas di bibir mungilnya. Ia mulai mengetik.
Yaudah, besok aku tanya lagi.
HAH? Haris tertawa kecil. Bisa juga ini anak, katanya dalam hati.
Oke. Awas ya nggak ditanya.
Aku gak pernah bosan kok nanya hal itu ke kamu.
Kalau aku gak akan pernah sayang gimana?
Windy mengehela nafas dengan panjang. Bagaimana jika Haris memang tidak akan pernah sayang sama aku ya?
Terserah sih. Aku yakin, suatu saat kamu bakal ngerasain gimana rasanya disaat kamu sayang sama seseorang, tapi orang itu gak sayang sama kamu.
Haris tertegun. Bagaimaiana jika itu terjadi? Ah, sudahlah. Ia tak lagi berminat untuk membalas pesan Windy.


Tiga hari semenjak hari itu. Windy tidak pernah mengiriminya pesan lagi. Apakah Haris sadar? Oh, tidak. Dia bahkan sama sekali tidak ingat, siapa yang membiasakannya untuk bangun setiap jam 5 pagi.

Dua minggu semenjak hari itu. Windy belum juga mengiriminya pesan. Haris mulai bertanya-tanya dalam hati, eh dia ke mana ya?

Minggu pagi, satu bulan semenjak hari itu. Haris bangun dengan perasaan hampa. Hampir setengah jam ia memandangi hp-nya, menunggu sebuah pesan yang biasa ia terima. Layar itu tetap gelap, tanda tidak adanya notifikasi apapun yang masuk. Aargh! Aku kenapa sih!

Dua bulan semenjak hari itu. Haris sedang berjalan sendirian mengelilingi taman kota, tempat ia biasa melepaskan penatnya. Ia berjalan tanpa arah, pandangannya kosong, pikirannya penuh sesak. Ia terus berjalan dengan kepala melihat ujung kakinya. Ketika tersadar, ia sudah menabrak seseorang. Kertas berhamburan di udara. Terdengar suara wanita sedang meringis. Astaga! Apa yang aku lakukan! Haris dengan sigap mengumpulkan kertas yang sedang berlari tiada arah. Ketika ia selesai, didapatinya wajah yang selama ini mengusik ketentraman batinnya.


“Kamu sekarang jauh ya,” Haris membuka percakapan mereka sore itu.
“Bukannya kamu yang berusaha menjauh?” Windy tampak tenang, sambil sesekali menyibak rambutnya, menunggu Haris kembali bersuara.
“Hmm, oh ya?” Haris tampak kikuk. Ya, ia sama sekali tidak bisa menebak, seperti apa sikap Windy sekarang.
“Terlalu senang dikejar ya, sampai lupa kalau aku udah berhenti sejak jauh hari?”
“Tapi, kamu kan yang mulai duluan”
“Aku selalu berusaha, tapi kamu gak pernah menghargai usaha aku. Sekarang, perasaan aku udah pergi Ris”
“Gak mau kembali ke belakang? Aku masih di sana Win”
Jeda panjang. Windy dan Haris sibuk bergumam dengan pikirannya masing-masing. Waktu seakan berhenti berputar. Matahari mulai terbenam ketika akhirnya Windy membuka suara.
“Kenapa? Nyesal?”
“Penyesalan datangnya selalu belakangan, Win” Haris menunduk. Sepertinya ia mulai menyadari, seperti apa Windy sekarang. Ia menoleh ke arah Windy. Wanita cantik itu sedang menunduk, sibuk memelintir ujung roknya yang selutut. Matahari benar-benar akan terbenam, burung-burung mulai ramai di angkasa, sibuk berlomba untuk sampai ke rumahnya. Saat itu juga Haris melihat segurat warna jingga di wajah Windy. Jingga yang menggambarkan terbenamnya sang surya, tepat seperti hati Windy yang tak lagi mau menampakkan sinarnya. Sesaat kemudian gelap, bulan menggantikan matahari yang telah terbenam sempurna.
If you were not there, my life would not be like this. Makasih udah buat aku ngerasa dicintai dengan tulus, Win” Windy menoleh, suaranya serak, menahan isak tangis yang siap meluncur dari kedua bola matanya yang indah.
“Makasih juga Ris. Karena kamu, aku tau, ternyata berjuang tidak sebercanda itu”. Windy mengemasi barangnya, kemudian pergi meninggalkan Haris tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Haris mendongakkan kepalanya ke langit. Bulan menyambutnya bersama jutaan bintang langit yang berpijar. Win, seperti mentari yang akan datang lagi esok hari. Aku harap, kamu sudi kembali memancarkan kasih sayangmu lagi. Jika bukan besok, mungkin beberapa tahun lagi.



-Fitri Fazrika Sari-
sedikit banyak dikutip dari percakapan grup kelasku, tweesco. thank you all!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar