Jumat, 12 Juni 2015

Terlalu Biasa atau Terbiasa?

Aku merindu, pada seseorang di kota lain yang sedang berjuang menyelesaikan studinya. Aku lihat, ia berusaha keras mendapatkan nilai yang baik di kampusnya. Ah, sungguh berbeda dengan ia yang aku kenal tiga tahun yang lalu. Ia yang aku kenal adalah ia yang lebih mementingkan kegiatan lain, apapun itu selain pelajaran sekolah. Ia yang saat ini aku lihat adalah ia yang telah beranjak dewasa. Jodoh dan karir sudah merasuki pikirannya. Sekarang ia juga lebih giat mencari uang tambahan—hal yang membuatku kagum.


Aku mengenalnya tiga tahun lalu. Saat itu, aku menganggapnya tidak lain sebagai teman sekolah biasa. Aku tidak menyangka, perkenalan itu berhasil membuatku begitu mengingatnya hingga saat ini. Aku tidak menyangka, ia adalah orang yang mengisi hampir sebagian masa akhir sekolahku. Aku tidak percaya akan suatu "kebetulan". Aku percaya, ia memang ditakdirkan untuk bertemu denganku, untuk membantuku menghadapi masa-masa di mana aku menjadi seseorang yang lemah, bodoh, juga tidak berguna. Sayang, begitu banyak hal baik yang ia lakukan sehingga aku lupa. Aku lupa untuk berterima kasih. Aku lupa untuk memberinya warna-warni kehidupan seperti yang selalu ia lakukan untukku. Aku hanya memberinya warna abu-abu—samar, tidak jelas, antara ada dan tiada.


Ia mengajarkanku untuk berbahagia, tapi ia lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Ia mengajarkanku untuk melepas seseorang yang tidak pantas aku tangisi, tapi ia tidak melepasku—orang yang seharusnya dari dulu ia tinggalkan.
Aku sibuk mencarinya ketika sedih, tapi aku tidak pernah bertanya—apakah ia bahagia?
Aku menyalahkannya ketika ia menghajar orang yang aku kasihi—tanpa bertanya, apa yang ia perbuat kepadamu? Kenapa kamu marah?
Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
Aku bahkan tidak pernah memikirkan perasaanmu sedikitpun.
Begitu bodohnya sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kamu begitu menyayangiku kala itu.


Mudah saja untukmu mencampakkkan diriku kala itu. Aku yang tidak pernah menghargai segala tentangmu. Aku yang tidak pernah menaruh perasaanku sedikitpun untukmu—hal yang dapat membuatmu bahagia kala itu.
Maaf, aku bukan seseorang yang pantas untuk diperjuangkan.
Maaf, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Maaf, aku terlambat menyadari bahwa aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan waktumu lebih dari sekadar saat-saat sedih. Aku membutuhkan pelukanmu lebih dari sekadar saat ku menangis. Aku, aku tidak tahu mengapa aku membutuhkanmu. Apa karena kamu adalah orang pertama yang selalu ada di saat aku terpuruk? Apa karena kamu adalah orang yang begitu mengerti segala hal yang membuatku senang dan sedih? Apa karena aku tidak bisa menemukan orang lain yang bisa memahami semua keluh kesahku selain kamu?


Jadi, mengapa sekarang aku merindu?
Apakah karena aku membutuhkanmu?
Mengapa aku membutuhkanmu—sementara aku tidak pernah memikirkanmu?
Apa aku jahat? Apa aku hanya memanfaatkanmu saja? Apa kamu hanyalah tempatku membuang semua keluhku?


Setahun tidak berjumpa, sekarang aku tahu alasannya.
Aku terbiasa denganmu.
Aku terbiasa mencari namamu di kontakku untuk sekadar bercerita hal-hal kecil yang membuatku tertawa atau kesal.
Aku terbiasa oleh belaian tanganmu ketika aku menangis.
Aku terbiasa mendengar candamu hampir setiap hari.
Aku terlalu terbiasa sehingga aku lupa—bahwa aku nyaman.
Aku terlalu nyaman sehingga aku lupa—apakah ini yang dinamakan cinta.
Aku terlalu cinta sehingga ...
Sehingga aku tidak pernah memikirkan hal lain selain kamu selalu berada di dekatku.
Aku tidak pernah berpikir akan kehilangan. Aku tidak pernah merasa cemburu. Aku tidak pernah ingin menjadi pacarmu.
Kenapa?
Karena kita sudah terbiasa bersama untuk waktu yang cukup lama—tanpa membuat komitmen apa pun—tanpa harus menjadi sepasang kekasih—seperti yang orang lain lakukan.



-Fitri Fazrika Sari-

Rabu, 10 Juni 2015

Truth or Dare?

Seperti biasa, Minggu sore adalah jadwal kami berkumpul. Sore ini kami menghabiskan waktu di belakang rumahku. Marco membawa beberapa kaleng kue, oleh-oleh dari mamanya. Yummy!
"Jadi, mau ngapain nih hari ini? Please jangan ada yang kerjain tugas, gue lagi mumet!" Anya berteriak sambil menggulingkan badannya di rumput—kebiasaan yang selalu membuat kami gemas.
"Tenang aja, gue juga kok. Gimana kalo kita main aja?"
"Emang lo mau main apa Co, udah mau sore gini."
"Truth or dare! Gimana, asyik gak?" Deg. Dadaku berdegup sangat kencang. Duh, pertanda apa ya? Kenapa aku merasa ada pertanda buruk yang akan terjadi?
"Ta! Lo kenapa diem? Main yuk!" Suara Anya mengagetkanku.
"Ah! I...iya" Jawabku sambil tersenyum.

***

Sore ini Marco mengajak kami bermain. Aku melihatnya melamun. Hm, ada apa ya? Segera kutepis pandanganku ke arahnya. Gawat kalau ketahuan!
"Okay, karena gue yang ngusulin, jadi gue yang nanya duluan ya." Marco berkata dengan tatapan usilnya. Hih, aku tau, ia pasti akan mengerjaiku.
"Yak, Alif, truth or dare?!" Nah, benar kan.
"Hmm aku pilih tantangan deh, namanya juga cowok sejati ..." HUUU, teriakan dari anak perempuan tepat membahana di kupingku. Duh, aku sayang mereka!
"Tantangannya...lo nyebur sana berenang sama ikan!" SIAL, jeritku.
Tawa meledak ketika aku mulai “nyebur”
di kolam ikan Lita yang cukup besar itu. Kalau bukan karena gengsi, gak akan aku mau! Tapi, melihat gelak tawa teman-temanku, aku cukup merasa senang. Ah, apalagi melihat dia tertawa. Aku makin semangat memutari kolam, demi membuatnya tertawa.

“Duh, kamu jadi basah gini. Mau sekalian mandi? Aku pinjemin handuk ya.” Katanya pelan sambil membantuku naik. Wajah cemasnya membuatku ingin mengusap pipinya seraya berkata aku tidak apa-apa.
“Gak papa, udah biasa. Nanti juga kering sendiri.”
“Biarin aja Ta, dia udah biasa nyebur di sungai.” Marco, seperti biasa membuatku menahan gengsi.
“SHIT, liat pembalasanku.” Marco hanya tertawa. Dia memang yang paling usil di antara kami. Namun, berhubung hanya aku dan Marco yang “sejenis” di kelompok ini, aku merasa sangat dekat dengannya. Bro-mance di antara kami sangat kuat. Hih, kenapa aku jadi geli memikirkannya.
Kami melanjutkan permainan—dengan handuk melingkar di badanku. Eit, jangan salah. Aku tadi udah bilas kok. Tenang, aku bukan cowok sejorok itu.

***

Hampir setengah jam, permainan kami masih belum selesai juga. Marco memang punya bakat melawak yang terpendam. Kami tidak habis-habisnya tertawa oleh leluconnya yang tiada henti.
Aku melihatnya tertawa. Seketika ada sesuatu yang berdesir. Ya, aku memang menyukai Alif, hanya beberapa bulan semenjak terbentuk “kelompok” kami yang sekarang ini. Ia termasuk cukup populer di sekolah. Maklum saja, ia ketua osis juga pemain inti tim futsal sekolah. Selama ini aku hanya bisa memendam perasaan tanpa memberitahu ke siapapun. Kami memang membuat kesepakatan dari awal berteman, tidak akan membahas tentang perasaan kami masing-masing. Kesepakatan itu membuatku tertekan sekaligus senang. Kenapa? Karena aku bisa dengan mudahnya bertemu ia setiap hari, bertukar kabar tanpa henti—meski hanya di grup, juga mendapat kesempatan dirangkul olehnya. Ya, sebagai teman.
“Eh, gue punya ide!” Marco membuatku tersentak dari lamunan.
“Apa? Jangan aneh-aneh lagi deh. Gue capek ketawa huhu.” Anya berkata sambil memonyongkan bibirnya. Ah, Anya selalu berhasil membuat kami gemas!
“Kita kan udah mau setahun berteman, gimana kalo kita mulai buka perasaan masing-masing?”
“Maksudnya gimana deh?” tanyaku.
“Jadi, kita saling jujur, ada orang yang kita taksir atau nggga!” Seketika aku langsung menoleh ke arah Alif, menerka-nerka seperti apa ekspresinya. Ia terlihat salah tingkah. Ah, apa ada orang yang dia taksir?
“Hmm boleh! Gue mulai duluan ya!” kata Anya semangat. Sejenak ia menundukkan kepala sambil menutup mukanya. Kami mulai penasaran, apa Anya bisa naksir sama orang?
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Anya belum juga bersuara.
“Cepetan dong Nya!” teriak Marco tidak sabar. Ya, aku yakin, semua yang sedang duduk di sini juga penasaran.
“Orang yang aku suka … GAK ADA! Week”
Anya berteriak kegirangan sambil mencium pipi kami satu per satu. Ya, Anya berhasil membuat kami seperti orang bodoh untuk beberapa detik.
“Dasar lo! Jangan pernah percaya sama Anya!” Alif berteriak sambil tertawa.
“Hahahaha oke guys, Anya sukses mengutarakan perasaannya. Sekarang giliran yang ketawanya paling keras, Alif!” teriak Marco semangat.

***

Alif!
Kata-kata Marco sejenak membuat hatiku berdegup kencang. Duh, bingung. Apa sebaiknya aku utarakan perasaanku ya? Yah, minimal aku bukanlah seorang lelaki pengecut yang tidak berani mengungkapkan perasaannya. Aku menarik nafas,
“Oke, baiklah. Ada seseorang yang aku suka, orang itu ada di sini.”
Wajah teman-temanku berubah dalam sekejap. Aku memerhatikan ekspresi wajahnya. Hm, ekspresi yang tidak bisa ditebak.
“Wow, gue gak tau lo bisa naksir sama cewek…” kata Anya.
“Jangan-jangan orangnya lo lagi Nya!” sahut Marco usil.
“Hm, aku sih gak ada tujuan apa-apa, cuma mau bilang kalo aku sayang sama dia semenjak beberapa waktu ini. Kalo dia juga sayang, baru deh ditembak. Hahaha.”
“Dasar lo, gak mau rugi!” Marco memukul lenganku. Aku tertawa kecil. Duh, ternyata mau bilang sayang sama cewek itu susah!
“Cepetan dong, gue penasaran …” kata Anya.
“Oke, hmm jadi …”

***

“Oke, hmm jadi …”
Alif mulai mendekati tempatku duduk. Ya, kami semua memang duduk di atas rumput. Kembang api mulai meledak di dalam hatiku. Astaga, inikah yang namanya dreams come true?!
“Ta, jujur, aku sayang sama kamu…”
Seketika ombak bergemuruh menerjang hatiku yang tadi sedang dimabuk asmara. Aku mendengar Alif mengutarakan perasaannya, aku juga melihat Alif memandang Lita yang duduk di sampingku. Kata “Ta” yang ia ucap bukan untukku, Nata, melainkan untuk Lita.
Cewek itu terlihat malu-malu, mukanya memerah seperti kepiting rebus. Aku merasakan hunusan pedang tepat menusuk jantungku. Alif memandang penuh harap ke arah Lita, sahabatku yang cantik dan anggun.
“Lita, terus gimana perasaan lo?” aku melihat Anya bertanya dengan senyuman nakalnya. Ah, rasanya aku tidak mampu mendengar apa yang akan Lita ucapkan.
Hening sejenak.
“E…maaf tapi Lita lagi gak suka sama siapa-siapa, termasuk kamu Lif. Lita sayang kalian semua. Kalian teman terbaik yang pernah Lita punya.”
Aku mendengar ucapan Lita dengan mata terpejam. Hah, Lita gak suka sama Alif! Yay! Aku tersenyum sambil memeluk Lita. Tak kusangka, Anya juga ikut. Kami berpelukan cukup lama.
Marco tersenyum, “Udah deh, cewek emang suka lebay.” Kami memandangnya, kemudian memeluk Marco, lelaki yang selalu membuat tawa di antara kami.
“Jadi, gimana perasaan lo Lif?” Tanya Anya.
“Gak papa, aku lega karena Lita udah tau, hehe.” Alif tersenyum kecil. Aku tau, jauh di lubuk hatinya, ia patah hati.
“Oke lanjut ya! Nah, Nata, lo ada naksir seseorang gak?” pertanyaan Marco membuatku terdiam sejenak. Apa yang harus aku lakukan?!

***

“Aku…aku suka sama Alif.” Nata berkata sambil menutup wajahnya.
Aku terkejut. Nata suka sama aku?!

***

Aku melihat Nata masih menutup wajahnya, mungkin ia masih terlalu malu. Aku berbalik mengarahkan pandangan ke Alif, cowok yang barusan menyatakan perasaanya padaku. Mukanya memerah, aku tidak bisa menebak ekspresi apa yang terlukis di wajahnya.
Dalam hening, Alif menatapku. Dengan cepat aku membuang muka. Ketika aku melihatnya lagi, ia sedang menunduk.
“Maaf, kalau itu membuatmu gak nyaman. Sudah ya, aku mau pulang dulu.” Nata berkata pelan lalu meninggalkan kami tanpa basa-basi. Aku hendak mengejarnya ketika Anya menarik tanganku. “Biarin aja dulu Ta.”
“Hm, tiba-tiba perut gue laper. Gue balik dulu ya, mau cari makan.” Kata Marco.
“Co, aku ikut.” Alif dengan cepat mendorong tubuh besar Marco dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Marco berbalik memandangku sambil memberi isyarat maaf dengan kedua tangannya. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Lita, menurutmu, apa kita semua masih akan berteman seperti biasa?” Tanya Anya. Suaranya serak, tanda air matanya akan tumpah sebentar lagi.
“Lita juga gak tau Nya…” kataku sambil memeluk Anya. Kami berpelukan dalam diam. Isak tangis terdengar, baik dariku atau Anya.


-Fitri Fazrika Sari-


Minggu, 07 Juni 2015

Dia

Aku sedang memandang hamparan langit Bandung di kala malam ketika sesuatu menyeruak di kepalaku.
Entah kenapa, langit mengingatkanku pada warna rambutmu. Rambut yang selalu aku acak ketika kamu selesai bermain basket, olahraga favoritmu. Rambut itu terasa sedikit basah, campuran minyak dan guyuran air di kepalanya—kebiasaan yang tidak pernah absen ketika ia sedang berolahraga.

Aku tersenyum, masih mengulang memoriku tentang rambutnya.
Ketika rambutnya mulai berantakan, kami akan selalu bertengkar. Ia menyukai rambut gondrongnya, sementara aku sebaliknya. Berhari-hari kami akan selalu membicarakan hal tersebut, sampai akhirnya ia mau potong rambut—dengan syarat aku harus menemaninya. Kami akan pergi ke tukang cukur langganannya di ujung jalan yang sempit itu. Aku akan duduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Kemudian ia akan menyambut pandanganku dengan tatapan mengejek, begitu seterusnya sampai ia selesai dicukur. Aku akan menertawakan potongan rambutnya di sepanjang jalan pulang. Entah sudah berapa kali aku menemaninya potong rambut, tapi tetap saja, melihat wajahnya yang kesal karena tidak jadi gondrong selalu membuatku tertawa.

Ah, wajah. Wajah itu juga menyimpan banyak memori yang tak pernah luput dari ingatanku.
Aku suka alisnya yang tebal, membuat matanya yang sipit terlihat lebih hidup. Aku memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa warna matanya. Ah, coklat! Tidak terlalu coklat, tapi cukup membuat matanya sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Hidungnya mancung. Ia punya kumis tipis, hal yang membuatku geli ketika ia mencium pipiku. Dan bibirnya, ah. Aku kembali memejamkan mata, mengerutkan kedua alis, kemudian mengehembuskan nafas lewat mulut. Ia adalah bibir yang membuatku tenggelam jauh dalam fantasi. Bibirnya tipis, sedikit merona karena ia bukan perokok. Aku sangat menyukai setiap saat bibir itu mendarat di wajahku. Bibir itu mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih aku percayai: ia mencintaiku, selalu dan selamanya.

Aku masih memandang langit, membayangkan ia seutuhnya.
Kepalaku selalu berada tepat di dadanya ketika aku berdiri. Kepalaku selalu tepat bersender di bahunya ketika kami sedang duduk. Hal itu membuatku nyaman. Aku selalu merasa ia memelukku pada posisi yang pas. Posisi yang membuatku merasa aman dan terlindungi.

Aku masih ingat caranya tertawa, menampakkan sedikit deretan giginya dengan garis mata yang seakan hilang dalam sekejap.
Aku masih ingat caranya makan. Ia selalu cermat mengecek piringnya sebelum makan. Ya, ia termasuk cukup pemilih. Aku akan menunggunya menyisihkan daun bawang ke pinggir piringnya. Setelah selesai, ia akan mulai memakannya. Ia akan kembali meletakkan sendoknya ketika daun bawang masih terselip di antara bulir-bulir nasinya. Kadang aku menyelipkan beberapa daun bawang ketika aku menyuapinya. Ia tidak pernah protes—sampai ia melihat sendiri ada daun bawang yang aku campur di dalam nasinya. Ia akan mengomel seperti anak kecil, hal yang selalu membuatku gemas.

Sesuatu kembali menyeruak di pikiranku.
Ah, aku juga masih ingat ketika ia menarikku ke luar gedung olahraga—tempat di mana sekolah kami sedang bertanding futsal kala itu. Tidak ada senyum manis. Bahkan ia melepaskan tanganku ketika kami berada di pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang, ia tampak terburu-buru. Aku baru saja ingin menanyakan sesuatu ketika ia berkata,
"Aku mau kita putus."


-Fitri Fazrika Sari-

Rabu, 03 Juni 2015

Setitik Warna Merah Muda

Sampai detik ini, aku tidak menyangka. Pelajaran kesenian yang sangat aku benci mempertemukanku dengan dia, kisah yang akan aku tulis saat ini.


Seperti biasa, hari itu kelas sangat gaduh. Kami sedang mengundi nama-nama kelompok untuk tugas kesenian dari Bu Ina. Aku duduk dengan tenang sambil meneguk pop ice yang kubeli saat istirahat. Aku benar-benar tidak tertarik untuk ikut membuat kegaduhan di depan kelas. Sejujurnya, aku tidak suka pelajaran kesenian. Ya, aku memang tidak memiliki bakat seni. Ah, sebagai tambahan, hal yang tidak aku sukai adalah pengerjaan tugasnya yang cukup menyita waktu. Huh.

Kelompok telah terbagi. Aku bersama tiga orang lainnya duduk di ujung kelas, membicarakan apa-apa saja yang diperlukan untuk tugas kelompok nanti. Keputusan telah dibuat, malam ini kami akan mengerjakan tugas di rumah Sekar. Uh, semoga tugas ini cepat selesai, jeritku dalam hati.


Malam hari, di rumah Sekar.
Aku melihat ia yang baru sampai. Wajahnya segar, menyiratkan ia baru saja mandi. Ia duduk di sampingku sambil membuka jaketnya. Aroma harum tercium jelas di hidungku, Hm, wanginya enak! Dia menyapaku dan bertanya apa yang harus ia kerjakan. Aku tersenyum kecil sambil membagi tugas kelompok malam itu.

Pengerjaan hari kedua, saat pulang sekolah.
Aku sebal. Aku adalah tipe orang yang tidak bisa bekerja dalam suasana panas. Ini adalah waktu pulang sekolah. Waktu di mana aku berubah menjadi monster kusut yang lumus. Bibirku mengerucut sambil mengelem sekumpulan origami.
Tidak kusangka, ia menyodorkan susu strawberry kesukaanku, lengkap dengan setengah es batu di dalamnya, persis seperti yang selalu aku pesan di kantin. "Nih minum dulu. Kalo marah-marah nanti cepat tua" katanya sambil menyengir. Aku tersenyum kecil, "Makasih"

Pengerjaan hari ketiga, malam hari di rumahnya.
Aku sedikit kikuk. Ternyata, teman sekelompokku yang lain belum ada yang datang. Ia mempersilahkan aku untuk masuk. Sofa di ruang tamunya cukup empuk, tapi tidak cukup nyaman untuk menenangkan diriku yang sedang canggung. Ah, aku kenapa sih!
Aku duduk di sofa ketika ia sibuk menemani adik kecilnya bermain. Hm, sejujurnya, aku sangat suka pada laki-laki yang bisa dekat dengan anak kecil. Sebuah sikap kecil yang menurutku romantis.
Tak lama, ia duduk di sampingku. Awalnya terasa canggung, tapi, lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Kami bercerita hal-hal sepele hingga masa depan. Aku tidak pernah merasa semudah itu terbuka dengan seseorang. Ia hampir meraih tanganku ketika Raka mengetuk pintu rumah. Kami saling membuang muka, berusaha mendatarkan ekspresi, seolah tidak terjadi apa-apa.

Setelah tiga hari berturut-turut mengerjakan tugas, kami memilih melanjutkannya hari Minggu nanti. Tugas itu akan dikumpul hari Selasa depan, kami masih punya banyak waktu.
Kalau begitu, bagaimana kelanjutan kisahku? Hehe, sejujurnya, kami mulai intens bertukar kabar di BBM. Sikapnya begitu manis. Aku, aku tidak tau perasaan apakah ini. Yang jelas, aku menikmati setiap hal yang berkaitan dengannya.

Hari Minggu, kami mengerjakan tugas di rumahku. Finally, we did it! Tugas selesai sebelum waktu dikumpulkan. Aku sangat senang, satu beban tugas telah terlewati. Satu per satu teman sekelompokku mulai pulang, kecuali dia.
"Kinan," katanya pelan.
"Hm?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku masih sibuk membereskan sisa-sisa pekerjaan kami yang masih berantakan.
"You have to know something about us" Aku menoleh dan menghentikan kesibukanku. Duh, kenapa aku jadi berdebar gini sih?
"Then, tell me ..."
"I think I love you, Kinan. Setelah apa yang kita lakukan beberapa waktu ini, aku ngerasa nyaman berada di dekatmu" Wajahnya memerah, tanda ia sedang mengungkapkan sesuatu yang membuatnya merasa malu.
"Then, how about your girlfriend?" Aku melihatnya menunduk. Matanya berusaha mencari-cari jawaban atas pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. Aku membuang pandanganku ke dinding, berusaha mengira-ngira jawaban apa yang akan ia katakan.
"Maaf, tapi aku juga gak bisa ngelepas dia gitu aja Kinan. Tapi, tapi aku juga gak bisa membohongi perasaan aku. Aku, aku sayang sama kamu." Aku menghela nafas panjang. Aku tau, hal ini pasti akan terjadi. Anehnya, aku tidak marah. Maksudku, ya, mungkin kita emang gak ditakdirkan untuk berdua. It's not meant to be aja gitu.

Lalu, apa yang terjadi?
He admits that he loved me, he apologized, then, he finally had to leave me for his past. Perasaanku campur aduk. In one side, I'm happy for him. He deserve someone whose better than me. He doesn't have to broke his relationship which much better than ours. Kami, tidak perlu terlalu jauh menyakiti hati masing-masing dengan melanjutkan kisah ini. Entahlah, mungkin ini kisah PHP yang not really PHP.
Menyesal?
Enggak sih, Aku gak ngerasa nyesal karena  pernah punya cerita yang belum apa-apa udah harus tutup buku. Mungkin, dia datang hanya untuk memberi setetes warna pada langit harapanku. Mungkin, orang lain yang akan menyelesaikan pewarnaan langit itu. Langit yang akan aku pajang kepada anak cucuku kelak, langit kisah cintaku dengan sang jodoh di suatu hari nanti.


-Fitri Fazrika Sari-

Selasa, 02 Juni 2015

Berjuang?

Selamat pagi Haris. Walaupun ini hari Senin, aku harap kamu tetap semangat bangun pagi ya. Selamat atas kemenangan tim kamu di pertandingan semalam! :)
Pesan singkat itu membangunkan Haris yang sedang terlelap. “Ah sial, masih jam 5 pagi. Cewek itu benar-benar pengganggu” katanya sambil bersungut seraya berjalan mengambil handuk.

Selamat malam Haris, how’s your day? Aku lihat kamu tadi dihukum Pak Roy ya? Makanya, jangan malas kerjain tugas :p
Dia lagi, dia lagi. Haris mulai merasa kesal. Sejak tiga bulan terakhir, cewek yang bernama Windy terus-menerus mengiriminya pesan singkat. Pagi, siang, malam, cewek itu tidak pernah absen mendatangi dirinya lewat SMS. Ada hari di mana cewek itu tidak mengiriminya pesan sama sekali. Ah, mungkin pulsanya habis.

Selama tiga bulan itu pula, Windy tidak mendapat satu pun balasan. Ada kalanya ia merasa jenuh, apa yang dilakukannya percuma. Ia bisa menangis seharian penuh, menunggu, apakah Haris akan mencarinya. Kenyataannya? Tidak. Haris tidak pernah mencarinya. Kemungkinan yang lebih buruk? Mungkin Haris tidak pernah tahu, mana cewek yang bernama Windy.

Selamat pagi, hari ini kamu udah sayang sama aku belum?
Haris mengerutkan keningnya beberapa saat. Wah, akhirnya ada kata “sayang” di pesannya. Sejenak ia berpikir, kemudian mengetik.
Belum.
Windy sedang mengemaskan tempat tidurnya ketika handphone-nya berdering. Itu nada khusus untuk Haris! Apa dia membalas pesanku?! Dengan cepat ia mengambil hp dan membuka pesan. Ah, lengkung indah nampak jelas di bibir mungilnya. Ia mulai mengetik.
Yaudah, besok aku tanya lagi.
HAH? Haris tertawa kecil. Bisa juga ini anak, katanya dalam hati.
Oke. Awas ya nggak ditanya.
Aku gak pernah bosan kok nanya hal itu ke kamu.
Kalau aku gak akan pernah sayang gimana?
Windy mengehela nafas dengan panjang. Bagaimana jika Haris memang tidak akan pernah sayang sama aku ya?
Terserah sih. Aku yakin, suatu saat kamu bakal ngerasain gimana rasanya disaat kamu sayang sama seseorang, tapi orang itu gak sayang sama kamu.
Haris tertegun. Bagaimaiana jika itu terjadi? Ah, sudahlah. Ia tak lagi berminat untuk membalas pesan Windy.


Tiga hari semenjak hari itu. Windy tidak pernah mengiriminya pesan lagi. Apakah Haris sadar? Oh, tidak. Dia bahkan sama sekali tidak ingat, siapa yang membiasakannya untuk bangun setiap jam 5 pagi.

Dua minggu semenjak hari itu. Windy belum juga mengiriminya pesan. Haris mulai bertanya-tanya dalam hati, eh dia ke mana ya?

Minggu pagi, satu bulan semenjak hari itu. Haris bangun dengan perasaan hampa. Hampir setengah jam ia memandangi hp-nya, menunggu sebuah pesan yang biasa ia terima. Layar itu tetap gelap, tanda tidak adanya notifikasi apapun yang masuk. Aargh! Aku kenapa sih!

Dua bulan semenjak hari itu. Haris sedang berjalan sendirian mengelilingi taman kota, tempat ia biasa melepaskan penatnya. Ia berjalan tanpa arah, pandangannya kosong, pikirannya penuh sesak. Ia terus berjalan dengan kepala melihat ujung kakinya. Ketika tersadar, ia sudah menabrak seseorang. Kertas berhamburan di udara. Terdengar suara wanita sedang meringis. Astaga! Apa yang aku lakukan! Haris dengan sigap mengumpulkan kertas yang sedang berlari tiada arah. Ketika ia selesai, didapatinya wajah yang selama ini mengusik ketentraman batinnya.


“Kamu sekarang jauh ya,” Haris membuka percakapan mereka sore itu.
“Bukannya kamu yang berusaha menjauh?” Windy tampak tenang, sambil sesekali menyibak rambutnya, menunggu Haris kembali bersuara.
“Hmm, oh ya?” Haris tampak kikuk. Ya, ia sama sekali tidak bisa menebak, seperti apa sikap Windy sekarang.
“Terlalu senang dikejar ya, sampai lupa kalau aku udah berhenti sejak jauh hari?”
“Tapi, kamu kan yang mulai duluan”
“Aku selalu berusaha, tapi kamu gak pernah menghargai usaha aku. Sekarang, perasaan aku udah pergi Ris”
“Gak mau kembali ke belakang? Aku masih di sana Win”
Jeda panjang. Windy dan Haris sibuk bergumam dengan pikirannya masing-masing. Waktu seakan berhenti berputar. Matahari mulai terbenam ketika akhirnya Windy membuka suara.
“Kenapa? Nyesal?”
“Penyesalan datangnya selalu belakangan, Win” Haris menunduk. Sepertinya ia mulai menyadari, seperti apa Windy sekarang. Ia menoleh ke arah Windy. Wanita cantik itu sedang menunduk, sibuk memelintir ujung roknya yang selutut. Matahari benar-benar akan terbenam, burung-burung mulai ramai di angkasa, sibuk berlomba untuk sampai ke rumahnya. Saat itu juga Haris melihat segurat warna jingga di wajah Windy. Jingga yang menggambarkan terbenamnya sang surya, tepat seperti hati Windy yang tak lagi mau menampakkan sinarnya. Sesaat kemudian gelap, bulan menggantikan matahari yang telah terbenam sempurna.
If you were not there, my life would not be like this. Makasih udah buat aku ngerasa dicintai dengan tulus, Win” Windy menoleh, suaranya serak, menahan isak tangis yang siap meluncur dari kedua bola matanya yang indah.
“Makasih juga Ris. Karena kamu, aku tau, ternyata berjuang tidak sebercanda itu”. Windy mengemasi barangnya, kemudian pergi meninggalkan Haris tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Haris mendongakkan kepalanya ke langit. Bulan menyambutnya bersama jutaan bintang langit yang berpijar. Win, seperti mentari yang akan datang lagi esok hari. Aku harap, kamu sudi kembali memancarkan kasih sayangmu lagi. Jika bukan besok, mungkin beberapa tahun lagi.



-Fitri Fazrika Sari-
sedikit banyak dikutip dari percakapan grup kelasku, tweesco. thank you all!