Minggu, 25 Oktober 2015

Selaksa

Selaksa. Suatu ungkapan yang berarti sepuluh ribu atau suatu banyak yang tidak terhingga. Sekarang aku mengerti, selaksa adalah kamu.

Selaksa senyum ketika aku bertemu denganmu.
Bagaimana bisa, seorang biasa seperti kamu mampu membuatku lebih kuat di malam itu? Satu kalimat dari kamu ternyata lebih mampu memberiku kehangatan dibanding lapisan-lapisan baju yang tengah kupakai. Bercengkrama dengan jarak beberapa meter ternyata menghasilkan rasa panas di wajahku. Luar biasa. Kehadiranmu selama tujuh menit membuatku merasa lebih baik.

Dasar penjilat.
Hari ini kamu mulai menjadi sesuatu yang selalu aku bayangkan. Rasanya lucu, ketika suatu lagu mengingatkanku pada kejadian yang kita alami kemarin. Selaksa cerita. Sepertinya dua minggu pertemuan kita telah menghasilkan puluhan ribu memori di benakku. Sekali lagi, kuucapkan luar biasa. Betapa kamu merubah aku yang sebenarnya sudah muak dengan kata cinta.

Cinta?
Mengapa aku bisa mengatakan “cinta” dengan mudahnya? Padahal, sudah susah payah kutahan kata itu agar tidak terucap ke sembarang orang. Atau mungkin, kamu memang bukan orang sembarangan? Apa kini kamu telah berhasil mengorek tempat itu? Hebat, sungguh luar biasa. Kamu itu siapa, kok berani-beraninya mau masuk ke tempat istimewa yang telah lama aku kunci.

Selaksa makna.
Bukankah rasa nyaman itu selalu memiliki banyak kemungkinan? Bisa saja aku hanya menemukan teman lama yang dulu pernah hilang. Mungkin kamu adalah tipe teman yang aku cari selama ini, makanya aku selalu ngerasa nyaman di dekat kamu.
Tapi, jika itu memang seorang teman, kenapa aku harus tersipu ketika kamu memujiku? Bukankah harusnya aku menanggapinya dengan biasa saja? Juga, harusnya aku tidak perlu kesal ketika mereka berebut mencari perhatian kamu. Toh aku tidak punya alasan untuk itu. Tapi, kenapa aku merasa tersaingi ya. Ah, kamu memang luar biasa.


Aku sedang berdebat tentang selaksa rasa. Maukah kamu melihat akhirnya?