Senin, 21 Desember 2015

Sekadar Mimpi

Mimpi. Setiap orang pasti punya mimpinya masing-masing. Paling tidak, mereka “pernah” merasa punya mimpi.

Pernah?
Kenapa seseorang pernah bermimpi? Apa itu artinya, saat ini mereka tidak mempunyai mimpi? Hm, bisa jadi.
Mimpi itu khayalan.
Mimpi itu imajinasi.
Mimpi itu sesuatu yang masih jadi “idaman” buat kita.
Lantas, jika mimpi itu masih sebatas fana, mungkin aja dong, kita tidak meraih mimpi tersebut?

Mimpi yang tidak dapat terwujud itu rasa sakitnya gak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Okelah, mungin saja orang akan berkata,”Di balik semua itu pasti ada hikmahnya kok...”. Lah iya, bisa aja Tuhan menganggap mimpi kita itu bukan yang terbaik. Ia yang lebih mengetahui segala sesuatu, tentu saja akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Tapi, kali ini saja. Boleh kan, kita berbicara tentang sisi kelam dari kejadian itu? ...

Keparat.
Aku sudah berusaha keras untuk mewujudkan mimpi tersebut. Aku sudah sejak lama memupuk keinginan untuk mendapatkan hal tersebut. Aku sudah cukup yakin kepada Tuhan, bahwa Ia akan mengabulkan permintaan tersebut.
TAPI APA? I got nothing.
Mimpi itu hilang. Musnah. Hancur. Berderai. Gak kecapai. Bikin muak. Bikin sedih. Kecewa. Kesal. Marah.

Marah? Tentu saja iya.
Aku merasa marah karena telah menggantungkan harapan setinggi langit, bahwa aku akan meraih mimpi tersebut. Aku berpikir, jika aku bekerja keras maka aku akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang aku minta. Tapi, kenapa aku gagal? Kenapa, saat ini aku masih merasa sedih karena tidak bisa menggapai mimpi tersebut. Kenapa, saat ini aku tidak mempunyai mimpi baru saja, agar aku bisa melupakan mimpiku yang tidak tercapai itu.

Omong kosong.

Mengikhlaskan diri dengan impian yang tumbuh sejak kecil ternyata tidak semudah itu. Lantas, ikhlas seperti apakah yang harus aku punya?



-Fitri Fazrika Sari-

Senin, 07 Desember 2015

Jarak Satu Tembok

Aku sedang tenggelam bersama kumpulan buku-buku usang ketika aroma vanila tercium samar dalam sepersekian detik. Aku mengangkat wajah, berusaha mencari siapa pemilik aroma tersebut. Ah, ternyata dia. Dia dengan rambut panjangnya yang sedikit basah dan buku tebal milik Dale Carnegie di tangan kirinya. Tatapannya lurus, namun aku melihat sedikit senyum dari sudut pipinya.

Mungkin saja dia bosan atau lelah berdiri selama hampir setengah jam. Aku melirik ujung kakinya yang perlahan meninggalkan tempat. Sambil terus menunduk, aku mengikuti arah ke mana ia akan membawa kakinya pergi. Tek. Kaki itu berhenti tepat di sampingku. Tidak, tidak, bukan tepat di sampingku. Lebih tepatnya, tepat di sisi lain dari rak buku yang sedang aku jadikan tempat bersender. Rak buku yang tidak terlalu penuh membuatku dapat melihat kakinya dengan jelas, namun tak cukup membuatku melihat wajahnya dengan jelas pula.

Takut. Anggap saja aku pengecut. Bahkan aku hanya perlu sedikit mendongakkan kepalaku untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dengan jarak sedekat ini, tentu saja aku akan bisa melihat apa warna matanya, bagaimana bentuk bibirnya, dan judul buku apa yang kini dibacanya. Sayang, rasa takutku terlalu besar. Untuk melihat ujung sepatunya saja, aku sangat berhati-hati menurunkan sedikit buku yang sedang ku pegang. Apalagi untuk melihat wajahnya?

Kami terpisah oleh ribuan inspirasi, ratusan buku, dan puluhan pengarang yang hanya berderet di satu rak panjang. Sepatu kami berjarak kurang dari satu meter antara satu dan lainnya. Sangat dekat, memang. Namun, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk memulai percakapan denganmu. Dalam jarak satu tembok, aku sadar sepenuhnya bahwa aku mulai mencintaimu.