Selasa, 25 Agustus 2015

17



Orang bilang, 17 tahun adalah “batu loncat” kedewasaan seseorang. Seseorang yang menginjak usia 17 tahun dianggap mampu dan bebas buat nentuin pilihan hidupnya sendiri. Katanya sih, 17 itu umur yang istimewa. KATANYA LOH YA...

Eh ternyata benar. Titik balik kehidupanku dimulai dari sini.


Mei 2014.
Siap gak siap, aku diharuskan ngerantau ke Jogja untuk ikut les intensif persiapan SBMPTN kala itu. Belum jalan empat bulan di umurku yang ke-17, aku udah hidup sendiri. Meski gak nyampe dua bulan, rasanya aku tuh “ngesot” gitu ngejalanin hari-hari sebagai anak kos. Sediiih banget. Apa-apa harus dikerjain sendiri. Kemana-mana harus pergi sendiri.
Puncaknya waktu tes SBMPTN dan UM waktu itu. Yang lain pada diantar sama orang tuanya, banyak juga yang ditungguin sampai selesai ujian. Lah aku? Datang ke sana sendiri, makan sendiri, pulang juga sendiri. Aku ingat banget, sepulangnya dari tempat ujian, aku nangis senangis-nangisnya di jalan. Lebay gak? Lebay ya. Ya gitu deh...

Agustus 2014.
Aku balik lagi ke Jogja, tapi bukan untuk kuliah. Ya, aku gagal pada ujian tulis kemarin. Meski berat, aku yakin hal yang besar butuh pengorbanan yang gak kalah besarnya juga.
Waktu itu aku les lagi buat ikut ujian SBMPTN di tahun depan. Aku ketemu sama banyak teman yang senasib—mereka yang rela menunda waktu kuliah buat masuk di universitas atau jurusan yang mereka idamkan. Seketika aku tuh ngerasa kecil, kecil banget. Ternyata saingan untuk dapetin jatah kursi di universitas favorit tuh emang ketat. Lagi-lagi, aku berperang sama batin sendiri di enam bulan pertama umurku yang ke-17.

Desember 2014.
Puncak kejayaan buat dompetku sendiri.
Ya, aku memberanikan diri buat ikut salah satu event besar tahunan di Jogja. Aku joinan stand bareng online shop Jogja lainnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku ngerasain yang namanya kerja. Jagain stand meski pake shift ternyata berat juga. Tanggung jawab ngejaga seluruh barang yang ada selama beberapa jam tuh gak mudah. Belum lagi harus selalu ramah sama pembeli walau sebenarnya badan udah remuk.
Hampir setahun di umurku yang ke-17, aku udah punya omset jutaan rupiah yang terus naik pada bulan-bulan berikutnya.


Aku rasa, tiga momen di atas adalah hal besar yang sangat membekas buat aku.
Kalau aja tahun lalu aku udah kuliah di tempat lain, gak akan ada aku yang bisa disiplin waktu seperti sekarang. Gak akan ada aku yang berjuang mati-matian buat bangkit ngalahin ego diri sendiri. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya kesempatan untuk bisa kuliah.
Kalau aja tahun lalu aku gak dipaksa ngerantau keluar, gak akan ada aku yang lebih mandiri seperti sekarang. Gak akan ada aku yang selalu ngabarin orang tua setiap harinya. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya segala fasilitas yang selama ini aku dapat.
Kalau aja tahun lalu aku gak mulai usaha sendiri, gak akan ada aku yang berpikiran terbuka seperti sekarang. Gak akan ada aku yang berani ngambil setiap kesempatan yang ada. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya apapun pekerjaan orang tersebut.

Ternyata benar, 17 adalah masa dimana aku mencari jati diri. Aku menemukan banyak sisi lain dari pribadiku sendiri, baik yang baik maupun buruk. 17 membuatku mengerti, siapa aku sebenarnya.

Senin, 10 Agustus 2015

Mawar Putih

Jujur, aku belum pernah melihat bunga mawar. Jangankan yang asli—palsunya saja aku tak tau yang mana.
Makanya, maaf membuatmu kecewa karena aku tak sesenang yang kamu harapkan. Aku hanya menerimanya dengan ucapan terima kasih. Tanpa basa-basi, aku suruh kamu pulang lagi.
Waktu itu aku tak tau kenapa kamu terlihat begitu kecewa. Aku pikir, itu hanya perasaanku saja.


Dua hari kemudian, kamu tanya kabar bunga tersebut. Aku bingung, apanya yang harus dijawab?
Dengan kesal kamu bilang, “Itu kan mawar asli!”


Aku menarik pelan laci kecil di dalam lemari bajuku. Mawar itu layu, sepertinya akan mengering besok pagi.
Ah, sepertinya aku benar-benar membuatnya kecewa.



Hari pertama di bulan Juni, kamu datang ke rumahku sambil senyum-senyum sendiri. Kenapa nih?
Oh, lagi-lagi kamu kasi aku mawar putih. Kali ini ada beberapa tangkai. Kamu bilang, delapan tangkai bunga mawar ini sebagai simbol angka delapan yang gak ada ujungnya. Kamu mau, hubungan kita tak akan pernah putus juga.
Aku bisa merasakan hawa panas menjulur di wajah kecilku. Aku tersenyum kecil sambil berkata, “Tenang aja, kali ini mawarnya aku simpan di vas bunga ya. Terima kasih, aku sayang sama kamu.”

Kali ini aku tidak melihat ekspresi kecewa di wajahnya. Hehe.


Sabtu, 08 Agustus 2015

Apa Aku Berhak Marah?

Pernah suatu ketika, aku marah. Karena apa? Aku baru tau dari teman sekolahnya, kalau beberapa akhir ini dia kembali kontakan sama mantannya. Video call dari malam sampai pagi ketika aku udah tidur lelap. Aku berhak marah gak sih?


Dari sisa-sisa chat yang ada (uhuk uhuk…), mereka saling support gitu. Buat aku, itu terlalu berlebihan. Kenapa sih minta temenin mantan yang udah punya pacar buat ngobrol karena gak ada kerjaan di malam hari? Emangnya dia itu orang pertama yang kamu pikirin di malam hari? Terus kenapa lanjut jadi setiap hari? Pake emot romantis lagi. Kesal kan jadinya. Oke, oke aku ngaku. CEMBURU TAU! L
Hal lain yang buat aku tambah kesal, kenapa harus tau dari temannya sih?! (oke, mulai terbawa emosi nih kayaknya…)


Tapi, sebegitu kecewa dan kesalnya aku sama dia, tetap aja, aku ngerasa gak berhak untuk marah. Aku bilang sama dia kayak gini:
Yah, gimanapun juga, aku gak berhak buat marah. Toh aku emang tau, aku cuma orang baru di kehidupan kamu. Masih banyak orang lain yang lebih tau kamu.
Tapi gimana ya, kalau bukan karena teman-teman kamu yang ngacau, sampai sekarang pun aku gak tau apa-apa kan. Rasanya beda kalau tau sesuatu dari orang lain duluan daripada kamunya langsung. Entahlah apa aku yang egois atau gimana, tapi mikirin semuanya nih buat hati aku hancur.
Iya tau, kamu bakal balik lagi ke tempat di mana kamu dibesarkan, di mana banyak teman-teman yang jauh lebih mengenal kamu, juga cewek lain yang lebih ngertiin kamu.
Oke, rasanya sepotong pesan itu cukup untuk menyimpulkan pendapatku. Setelah itu, dia balas, pernah aku ninggalin kamu untuk kontakan sama yang lain disaat kita lagi kontakan?


Sekarang, aku tanya ke kalian, adil gak sih?


Kamis, 06 Agustus 2015

Sekarang Cinta itu Udah Pergi

“Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“Hmm…apa?”
“Kamu udah punya pacar?”
“Belum sih. Kamu?”
“Hehe, sama.”
“Kenapa belum punya pacar lagi?”
“Maunya aku jawab jujur apa bohong?”
“Ih apaan sih. Yang jujur lah” kataku sambil tertawa renyah. Aku mengedarkan pandangan ke wajahnya. Sejenak mulut itu terkunci—seakan sedang menyusun kalimat untuk diungkapkan.
“Soalnya aku masih sayang sama kamu, Fit.”
Aku diam. Mataku beradu dengan matanya selama beberapa detik. Dengan cepat ia menunduk, begitupun aku.
“Ooh gitu…” hanya itu yang terucap dari mulutku.
“Kalau kamu, kenapa belum pacaran lagi?”
“Hmm, belum ketemu yang cocok aja.”
“Ooh, gitu…”

Aku masih ingat dengan jelas percakapan kita malam itu. Kita bertemu lagi sekitar kurang dari setengah tahun kemudian, di warung bakmi, sekitar jam 10 atau 11 malam, tepatnya aku lupa. Aku tidak menyangka, aku bisa jadi alasan seseorang untuk menyayangi sebegitu lamanya. Aku juga tidak menyangka, rasa sayang bisa datang secepat itu—juga hilang secepat itu.


Dimulai dari hari itu.
Aku menerima ajakanmu untuk berpacaran, hanya selang dua minggu setelah hubunganku kandas dengan seseorang. Awalnya aku tidak menyangka kita akan melangkah sejauh ini, sedekat ini, juga sedalam ini. Awalnya aku tidak menyangka, tetap menerimamu sebagai pacar meski di bulan kedua kamu ketahuan menyembunyikan sesuatu yang aku tidak suka. Awalnya aku tidak menyangka, aku bisa jatuh cinta seserius ini sama kamu.

Kita jalan tanpa ada paksaan juga larangan. Kamu bisa menikmati dunia dengan teman-teman baikmu—begitupun aku. Kamu membuat aku berpikir lebih dewasa.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ngabarin tiap jamnya. Kamu buat aku yakin, apapun yang sedang kamu lakukan di sana, kamu akan selalu ingat sama aku.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ketemu tiap harinya. Rasanya lucu, ngerasain LDR padahal ada di kota yang sama. Rasanya lucu, ketika cuma ada skype yang bisa nemuin muka kamu sama aku. Baik hp kamu atau aku, isi galerinya sama: hasil capture-an skype kita atau foto-foto aneh yang kita kirim kalau lagi chatting.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu bukan alasan untuk melampiaskan nafsu. Mau pulang selarut apapun, aku yakin kamu gak perlu ngelakuin “modus basi” buat ngelindungin aku. Aku kagum ketika kamu selalu ingat ibu kamu—seseorang yang buat kamu begitu menjunjung tinggi keberadaan aku.


Ah iya, kamu juga yang buat aku percaya kalau cinta mudah datang dan pergi.

Semuanya berakhir di hari itu.
Aku melihat sisi lain dari kamu yang sayangnya sulit aku terima. Sisi yang aku ketahui dua bulan setelah kita berpacaran. Sisi yang baru aku lihat langsung enam bulan kemudian. Anggap saja aku egois, gak bisa nerima kamu apa adanya.

But, somehow, I need something more than just love. I called it tenet. Didn’t you realize it from the first day we met?

Dia yang Selalu Kembali

Ada nggak sih, satu orang yang bisa dengan mudahnya datang dan pergi seenaknya di kehidupan kita? Orang yang tau, kalau kita masih sayang sama dia. Orang yang tau, kalau kita akan selalu menyambut kedatangannya dengan senyum bahagia.


Dia tau, ketika gak ada lagi siapapun yang ada buat dia, kamu akan jadi “rumah” tempat di mana ia akan pulang. Bangsatnya, dia gak tau diri. Entah apa alasan dia untuk pulang kembali ke rumah setelah dia pergi tanpa pamit. Entah itu karena masih sayang, atau hanya ingin menjalin pertemanan, atau yang paling parah, dia cuma iseng.


Seharusnya, dia gak pernah sayang sama kamu. Tuh, buktinya, dia gak mau biarin kamu bahagia.
Setelah semua usaha  keras yang kamu lakuin buat ngelupain dia, dia datang lagi. Dia raih tangan kamu, dia peluk lagi tubuhmu yang haus akan kehangatannya, kemudian dia elus rambut kamu—seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Kamu menjalani lagi kehidupan dengannya. Ia yang telah kembali pada rumahnya yang lama. Ia yang berulang kali membuat jantungmu berdebar tak karuan.
Kemudian, ketika kamu sudah merasa nyaman, ia pergi. Ia tidak di sampingmu lagi ketika kau bangun di pagi hari. Kamu pikir ia pergi karena ada hal penting yang mendadak.

Sebulan.
Dua bulan.
Tiga bulan.
Kamu masih menunggunya di teras rumah—berharap ia datang untuk memelukmu lagi.

Bulan kelima, kamu mulai putus asa. Kamu buang lagi semua kenangan tentangnya. Dengan susah payah, kamu belajar bangkit lagi.


Tahun baru.
Kamu sedang melihat kembang api yang saling bersahutan ketika seseorang menepuk pundakmu. Ya, siapa lagi kalau bukan dia—orang yang masih diam-diam kamu sembunyikan di salah satu kamarmu yang sempit.

Ia memelukmu, meminta maaf atas kejadian beberapa bulan yang lalu. Ia berkata tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.


Aku tahu, kamu akan menerimanya kembali—karena kamu adalah rumah, tempat di mana ia akan selalu diterima untuk pulang. Tak takutkah kamu, bahwa ia akan pergi lagi?