Jumat, 29 Mei 2015

Sejenak Tentang Mereka

Iki angel yo bu

Mataku memerah. Pandanganku menerawang pada kedua sosok yang berada tak jauh dari tempatku saat ini. Gumpalan titik-titik air yang hampir pecah itu aku tahan sekuatnya. Tidak menyangka, malam ini, di tempatku biasa membeli makan, aku disadarkan oleh kejadian kecil yang sangat mempengaruhi pola pikirku.


Perkataan di awal tulisan ini diucapkan oleh seorang anak bertubuh gempal, kulitnya sawo matang khas orang Jogja asli. Ia duduk dengan tekun di atas lantai, dengan kursi di depannya yang ia pakai untuk meletakkan buku matematikanya. Keningnya beberapa kali mengerut, menghitung penjumlahan matematika yang tak seberapa. Ia menuliskan hasil hitungan tersebut di selembar kertas, ya, bukan buku. Hanya selembar kertas. Pensilnya, hm, aku rasa terlalu pendek untuk dipakai menulis. Jika itu adalah pensilku sendiri, aku yakin, aku sudah membuangnya.

Ia tidak duduk sendiri. Ada seorang ibu paruh baya yang menemaninya mengerjakan tugas. Tidak, bukan sekadar menemani, ibu itu membantunya menghitung. Dengan telaten, ibu tersebut membenarkan hitungan anaknya. Jika penjumlahan lebih dari sepuluh, ibu itu dengan sigap mengangkat jari-jarinya, agar sang anak lebih mudah menghitung. Aku rasa, anak itu agak lamban dalam berpikir. Aku yang melihatnya dari kejauhan saja sudah mulai memanas. Tapi, ibu itu, dengan senyumnya yang menenangkan, selalu mengulang kembali soal-soal yang tidak bisa ia jawab. Ketika sang anak bisa mengerjakannya, tangannya akan mengusap lembut kepala atau punggung anak tersebut. Ini tidak terjadi sekali saja. Setiap pertanyaan yang bisa dijawab oleh anak itu, sang ibu akan tersenyum kecil seraya mengusap manja anaknya.


Hm, bagaimana? Apa ada sesuatu yang mendesir di hati kalian ketika membaca cerita di atas? Kejadian itu murni terjadi pada malam kemarin ketika aku sedang membeli makan. Tidak kurang dan tidak lebih, seperti itulah yang aku lihat. Sungguh, lama-kelamaan pandanganku kabur, terharu melihat apa yang terjadi tepat di depanku. Bukan sekali dua kali anak itu mengerjakan PR ketika aku sedang membeli makan di sana. Hanya saja, baru kali ini aku memperhatikan mereka dengan seksama.


Bagaimana dengan ibu kalian? Ingatkah ketika kalian dibantu oleh orang tua untuk mengerjakan PR? Hal yang sangat simpel, tapi sangat berarti untuk kita yang sedang beranjak dewasa. Untuk kita yang sedang dalam masa-masa di mana orang tua adalah salah satu musuh terbesar kita. Untuk kita yang mulai ditinggalkan oleh mereka yang sudah pergi menghadap Sang Illahi. Untuk kita yang sedang merantau. Untuk kita yang kini terpisah rumah. Untuk  kita yang sekarang tak lagi gencar menghubungi mereka …

Kasih ibu sepanjang masa.
Hal itu terdengar klise di telingaku sampai pada akhirnya aku beranjak dewasa. Sampai akhirnya aku mengerti betapa susahnya mencari uang. Sampai akhirnya aku belajar bagaimana proses reproduksi itu. Betapa beratnya tugas yang diemban oleh sang ibu, membawa-bawa kita yang semakin berat di setiap langkahnya. Ketika kita lahir? Ibu dan Ayah masih saja menggendong kita. Tak hanya itu. Kita disuapi, dimandikan, juga diajari banyak hal. Ketika kita sudah bisa berjalan sendiri? Mereka tetap memberi kita makan, membelikan baju, dan memenuhi segala kebutuhan juga keinginan kita. Ayah juga masih menggendong kita yang terlelap di depan TV, sehingga paginya saat bangun tidur, kita sudah berada di atas kasur yang empuk, lengkap dengan selimut dan bantal kesayangan.
Sekarang, kita bisa apa? Kita sudah bisa berjalan, cari makan sendiri, juga pergi ke kasur sendiri ketika sudah waktunya untuk tidur. Beberapa dari kita sudah bisa mencari uang sendiri, bahkan sebagian kecil juga sudah menikah muda. Lalu, apa peran orang tua?
Ketika kita masih dalam masa transisi menjadi anak rantau, kepada siapa kita mengadu? Kepada siapa kita meminta fasilitas yang lebih baik? Kepada siapa kita mengeluh tugas kampus yang seabrek? Orang tua.
Ketika kita dilanda krisis keuangan, siapa yang pertama kali terlintas di pikiran? Orang tua.
Ketika kita punya masalah dengan suami atau istri, ke rumah siapa kita akan berpulang? Orang tua.
Ketika sibuk bekerja, dengan siapa anak kita dititipkan? Orang tua.
Siapa yang paling bersedih ketika kita mengalami hal-hal di atas? Orang tua!


Sebagai anak rantau, aku sangat sedih melihat beberapa dari kita yang menyalahgunakan kepercayaan orang tua. Aku sedih, mereka yang menghabiskan uang bulanan sebelum waktunya. Aku sedih, mereka yang tidak bersungguh-sungguh kuliah. Aku sedih, hidup sebagai anak rantau dijadikan alasan dapat bertindak sesuka hati—tanpa perlu dimarahi orang tua.

Ingat-ingat kembali ketika kamu belum menjadi apa-apa. Buka pandangan kalian, lihat sekeliling kalian. Betapa banyaknya anak-anak yang tidak seberuntung kalian. Buka mata hati kalian, betapa banyaknya anak yang tidak memiliki memori masa kecil yang menyenangkan. Mana hati nurani kalian? Orang tua, selalu menunggu kabar dari kalian. Apakah kalian sehat? Bagaimana makanmu di sana? Bagaimana kuliahmu? Apakah tidurmu nyenyak? Jika tidak ada ibu, siapa yang membangunkanmu di pagi hari? Jika tidak ada ayah, siapa yang akan memperbaiki TV-mu yang rusak?


Aku harap, tulisan ini menyadarkan kita.
Aku harap, tulisan ini membuatmu secepatnya ingin bertukar kabar dengan orang tuamu.
Aku harap, tulisan ini membuatku tidak lupa, betapa berharganya orang tuaku saat ini. Betapa aku harus bisa membuat mereka bangga ketika mereka masih ada. Betapa aku harus menjadi anak yang solehah ketika mereka sudah tidak ada lagi, agar terus mengalirlah pahala bagi mereka.

Aamiin ya rabbal alamin


-Fitri Fazrika Sari-

Senin, 25 Mei 2015

Setahun yang Lalu

Kepalaku masih terasa berat ketika Okta dan Ika mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, mereka tidak akan pernah tahan menunggu lebih dari 10 menit sebelum akhirnya berteriak memanggil namaku di depan pagar. Ah, seperti anak kecil saja.
Dengan lemah aku membuka pintu pagar. Okta dan Ika langsung berhamburan masuk ke rumah. Aku tau, mereka akan mengambil posisi terenak di tempat tidurku, tanpa perlu aku persilahkan. Aku tersenyum kecil sambil menutup pagar. Mereka benar-benar sahabat sejati!

Cih, belum turun panas badanku, sekarang aku dihadapkan pada situasi yang membuat otakku lumayan bekerja keras. Baru enam jam aku tidak masuk sekolah, keadaan sudah panas? Ah untunglah besok masih ada hari Minggu. Bisa pecah kepalaku nanti.
Okta, dengan bahasa tubuhnya yang lebay, masih terus bercerita tentang hot issue di sekolah. Wah, ternyata aku lumayan dikenal juga ya di sekolah? Tuh, banyak yang kepo hihi. Probably it would be one of the most dangerous disaster if I was at school today. Tapi Tuhan berkata lain. Ia punya rencana agar aku bisa lebih dulu memastikan dengan mata kepalaku sendiri. Yeah, it sounds good.


Malam minggu.
Aku merasa lebih baik dari tadi siang. Mungkin karena dijenguk oleh dua sahabatku yang baik? Entahlah. Malam itu aku memutuskan untuk membeli makan di luar. Sendiri? Ya iyalah, kan jomblo, hehe.
Aku sedang menunggu pesanan ketika seseorang yang aku kenal cukup baik sedang antre membeli pesanan. Lah? Itu kan …
“Ngapain di sini?”
“Ya cari makan lah”
Obrolan singkat itu membuat kami bisa duduk lebih lama. Pembicaraan terasa lebih lama ketika aku berkata,
“Si Clara kenapa sih?”
Jeng jeng, berasa ada backsound ala-ala cowok yang lagi kegep selingkuh sama pacarnya. Ah, berlebihan ya? Eh tapi jangan salah, kisah anak SMA itu drama abiez. Nggak ngerasa? Yah :p
Malam minggu itu aku habiskan dengan perasaan yang menyayat hati. Bukan, bukan karena aku makannya sama mantan. Tapi karena aku membaca tulisan yang tidak sepantasnya anak perempuan—bahkan manusia—katakan. Aku tidak tau, kemarahan bisa menjadi sangat fatal. Aku baru tau, kemarahan bisa disponsori oleh para binatang dan alat kemaluan manusia. Dua kata untuk tulisan yang aku baca waktu itu, tidak etis.


Hari Minggu.
Aku sedang bersantai membaca-baca celotehan lucu dari teman sekelasku. Sedang asyiknya ketawa, ada satu hal yang mengganggu. Iya, celotehan binatang dari salah satu orang yang aku follow. Wah, ternyata banyak. Wah, sepertinya ada gas yang meledak di Minggu pagi yang cerah ini. Ah sudahlah. Aku tidak ingin mengikuti permainan seperti itu. Wanita tidak sepantasnya bertingkah seperti binatang. Tidak hanya wanita sih, kita sebagai manusia ya seharusnya bisa bersikap jauh lebih baik daripada binatang.
Aku menutup twitter pagi itu dengan wajah cemberut.


Senin pagi, di kelas tercinta.
“Kei! Kemarin kamu dicariin tuh sama Clara”
Yes I know, emang kenapa sih” sahutku ketus. Well, we all know that Monday is suck, kenapa harus ditambah dengan dia sih.
“Hmm gak takut?”
Kalimat itu sejenak membuatku terdiam. Takut? Sejak lusa kemarin, tidak sedikitpun kata takut terlintas di benakku. Apa yang harus ditakutkan dari seorang wanita yang tidak dapat menjaga sikapnya? Ah, mungkin aku harus takut kalau-kalau kuku panjangnya menggores wajahku yang lembut. Hmm.
“Sama-sama makan nasi juga” jawabku tanpa memandang wajah sang penanya. Aku mengeluarkan buku catatan dan menenggelamkan pikiranku sepenuhnya pada tulisan yang aku baca.


Senin siang, masih di kelasku tercinta.
“Eh cepat kau ke sini!” sebuah tangan mungil menarik tanganku yang hendak memasukkan buku ke dalam tas. Masih bingung, aku mengikuti dengan polos ke mana ia membawaku pergi. Apa di ujung kantin? Di tepi jalan? Ah, ternyata hanya beberapa langkah dari depan kelasku.

Aku ingat betul wajah putihnya yang memerah. Bibirnya bergetar karena terlalu banyak hal yang ingin ia teriakkan. Sepertinya ia tidak rajin berolahraga, tuh nafasnya berhembus tidak karuan. Ah apa karena ia marah? Apa kemarahan bisa membuat orang lupa diri? Aku berkaca, apa aku juga pernah seperti ia? Kalaupun iya, semoga tidak akan pernah lagi. Sungguh, kemarahan adalah salah satu hal terburuk yang pernah aku hadapi.

Pikiranku tidak terfokus melihat Clara yang sedang naik pitam. Aku melihat sekeliling, ah itu dia! Salah satu sahabat terbaikku! Loh? Kenapa ia duduk bersama orang-orang yang dulu selalu ia jelekkan? Kenapa ia—orang yang ramah—menatapku dengan penuh kebencian? Sejak kapan aku melihat pandangan itu? Pandangan seseorang yang jijik melihat keberadaanku saat ini. Apakah ia orang yang dulu aku kenal dengan baik? Ke mana perginya?

Kepalaku berhenti berputar ketika aku melihat ia—lelaki yang sampai detik itu masih memujaku—berada di deretan orang yang memberi “kompor” kepada mereka yang sedang berseteru. Apa yang terjadi? Kenapa ia di sana? Kenapa ia seolah tidak mengenalku? Baru beberapa malam yang lalu ia berniat menjengukku di rumah. Sekarang?

Aku mengalihkan pandanganku ke sisi sebelah kiri. Dia menatapku dengan tatapan datar. Lengannya dipeluk erat oleh wanita yang baru beberapa minggu ini menghiasi statusnya di BBM. Aku kira, ia akan memberi dua jempol sambil tersenyum lebar—seperti yang biasa ia lakukan ketika aku butuh semangat. Jarinya kini sudah digenggam erat oleh yang lain. Aku rasa, aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.

Tepat di sampingku berdiri seorang lelaki yang baru beberapa hari ini tidak menjadi pacarku lagi. Aku heran, kenapa masalah yang cukuplah kami berdua selesaikan, harus diselesaikan bersama orang lain. Bukan, ini bukan lagi orang lain. Satu angkatan turut andil membicarakan masalah kami. Weird, isn’t it?

Aku masih ingin melihat sekeliling ketika aku tersadar bahwa Clara belum mendapatkan sepatah kata-pun dariku. Belum sempat lima kalimat aku lontarkan, ia kembali menyerocos. Ah sudahlah, mungkin nanti ia capek sendiri.

Kembali aku meneliti satu per satu wajah yang berkumpul mengelilingi kami. Hm, ternyata Clara cukup bermodal juga. Teman-teman seperjuangannya berteriak menyemangati ia. Aku? Aku merasa cukup tangguh untuk mendengar celotehan Clara sendirian. Sendirian? Ya, aku bukan orang yang takut kehilangan teman. Aku tau, akan ada minimal satu siswa yang memihakku. Bukan karena ia temanku, tapi karena ia tau, bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap. Aku mengambil nafas panjang, oh Clara, belum habis juga suaramu?


Layaknya suporter suatu pertandingan, mereka bubar ketika pertandingan dihentikan oleh seorang guru di sekolah kami. Clara, masih dengan wajahnya yang merah padam, mendapat siraman nasihat dari Bu Tina. Kami bersalaman layaknya kedua tim seusai pertandingan. Iring-iringan menuju ke parkiran sekolah, sudah seharusnya waktu untuk pulang.

Aku hendak melangkahkan kaki ke dalam kelas ketika keenam siswi mencegatku masuk. Bukan, pertandingan tidak berlanjut, mereka adalah teman-teman yang aku anggap sebagai sahabat. Sisi baiknya? Mereka juga menganggapku seorang sahabat. Tadi, aku memang tidak melihat mereka. Ternyata? Mereka di belakang, sibuk bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ya, aku memang tidak berbagi hal ini kepada mereka. Toh, aku tidak menganggap ini suatu masalah. Hanya beberapa pihak yang sengaja berusaha menyudutkanku. Mereka bertanya, apa aku tidak apa-apa, kenapa aku tidak cerita, dan sebagainya. Mereka meminta agar kami berkumpul di rumahku, agar aku menceritakan apa yang terjadi. Satu hal yang membuat emosiku memuncak, kami berpelukan. Pelukan memberiku suatu kehangatan tersendiri.

Ketika di parkiran, aku melihat ia—sahabatku tersayang—sedang berbincang dengan sekumpulan teman barunya. Ia tidak menoleh ke arahku, aku juga tidak mengharapkan ia menoleh. Cukuplah sekali aku melihatnya memandangku dengan tatapan jijik.
Kami sedang berusaha mengeluarkan motor di parkiran yang padat ketika aku memperhatikan ia—sahabat lama yang sedang membonceng kekasih hatinya. Ingin rasanya aku menegurnya, bercerita hal-hal kecil yang sering ia tertawakan, tapi, ada mata lain yang menunjukkan ekspresi tidak suka. Ya, kekasihnya. Aku tidak ingin merusak hatinya yang sedang berbunga. Ah sudahlah.
Aku sudah naik ke atas motor ketika mataku bertemu dengan matanya—ia yang mengaku masih menyimpan perasaan kepadaku. Entahlah, kenapa aku tidak bisa menemukan ketulusan dari pandangannya?


Tepat setahun setelah kejadian di hari itu. Keenam perempuan itu masih menjadi kontak favorit di handphone-ku. Grup yang kami buat semasa sekolah masih diramaikan oleh foto-foto kegiatan kami masing-masing—lengkap dengan gosip terhangat seputar lingkungan kami yang baru. Kami masih mengunjungi satu sama lain ketika pulang ke kota di mana kami bertemu. Beberapa orang yang sekarang masih tinggal di kota yang sama masih menyempatkan diri untuk sekadar menginap di hari libur. Tidak setiap hari kami berkomunikasi. Ada beberapa hari di setiap satu bulan, kami saling bertukar cerita. Semuanya masih sama, baik itu tiga tahun yang lalu maupun detik ini.

Bagaimana dengan orang-orang yang tahun lalu menganggapku seperti angin? Masih sama, kami memang tidak ada keperluan untuk saling berhubungan. Jadi, tidak masalah.

Tapi, ada satu orang yang kembali menghubungiku, tepat setahun setelah hari itu. Ia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah ia lupa, pandangan apa yang ia tunjukkan di hari itu. Apa yang ia perbuat ketika aku sangat butuh bantuan moral darinya? Apa yang ia katakan untuk meyakinkan orang bahwa tidak seharusnya mereka ikut campur dengan urusan pribadiku? Jika aku dapat menentukan suatu sikap, apa yang akan aku lakukan sekarang?
Aku membalas pesannya,

Tahun lalu kamu ke mana?


-Fitri Fazrika Sari-

Rasa yang Tertunda




Saat kulihat wajahmu, menyejukkan hatiku
Saat kutatap matamu, membuat aku tak berdaya
Dalam hatiku berkata, aku ingin miliki hatimu
Rasa cintaku padamu, membuatku tak mampu bicara
Memang tak mudah, untuk diungkapkan
Perasaan
Kepada yang dicinta, berat hatiku tuk katakannya
Tuhan ku berdoa, dia akan jadi milikku
Rasa yang tertunda
Mungkinkah kau jadi milikku

(liriknya dibuat oleh beberapa anak XI IPA 2 SMAN 2 Pontianak, musik oleh Rio J.S)


Hayo, kebayang wajah seseorang waktu lagu ini dinyanyikan gak? :p

Jatuh cinta itu berjuta rasanya. Klise sih, tapi setuju kan? Dari sekian orang yang ada di kehidupan kita, ada satu yang entah kenapa, semua hal tentang dia tuh buat kita suka. Entah dari topik pembicaraan yang seru, bahasa tubuh yang bikin nyaman, hingga hal-hal kecil lainnya yang buat kita kagum.

Rasa ingin memiliki? Wah jelas ada. Sekarang bukan jamannya lagi seorang cowok yang mesti pendekatan duluan, cewek juga. Ya, walaupun aku pribadi belum pernah "nembak" cowok duluan sih. Tapi yang namanya cinta mah gak usah pake gengsi. Kalau kecolongan, baru deh ngambek sendiri :p

Sometimes, it just too hard to say i love you to someone we loved the most. Candaan biasa sampai pukul-pukulan mah biasa aja kalau sama teman. Nah kalau sama gebetan? Mau senyum aja rasanya kaku =)
Emang ya, kalau kita ada "sesuatu" sama seseorang jadinya malah malu-malu. Mau senyum rasanya salah, ngomong rasanya "berkuah", gerakin tangan rasanya kayak robot. Yee lebay ya, yah, namanya juga perumpamaan.

Rasa yang tertunda?
Hm, sebenarnya perasaan itu gak bisa ditunda-tunda. Tiba-tiba hadir karena hal yang gak diduga. Tapi kenapa bisa tertunda? Ya karena perasaan itu gak pernah disampaikan, atau, belum berani untuk disampaikan. Sebab? Ya bisa aja orang yang lagi kamu taksir itu lagi punya hubungan spesial dengan orang lain, sahabatmu yang juga suka sama dia, kamunya yang gak yakin, dan beragam alasan lainnya.
Terus kalo lagi ditunda?
Selain karena dia yang udah punya pacar--lagi adem sama pacarnya--si dia emang tipe setia--dan hal setipe lainnya--mending jangan deh. LOH KENAPA? Ya karena kamu bisa jadi "pencetus" kandasnya hubungan mereka. Gimana kalo si dia malah jadi cari-cari info tentang kamu? Gimana kalau pacarnya ngamuk? Gimana kalau kamunya jadi terus-terusan deketin dia? Stop hurting yourself. Stop being a bitch. Hubungan itu cuma untuk dua orang, gak kurang dan gak lebih. Tanya ke diri kamu sendiri, mau gak ada orang lain yang berusaha deketin pacar kamu ketika kalian lagi baik-baik aja?
Lah alasan lainnya gimana?
SAY IT! Kita gak akan pernah tau kan reaksi dia gimana? Mungkin aja dia juga tertarik sama kamu. Mungkin juga dia sama sekali gak menganggap kamu. Setidaknya kita udah jujur sama diri kita sendiri. Setidaknya kita gak harus mendam perasaan itu sampai sekian tahun lamanya. Dengan tau respon dari si dia, kita jadi bisa ambil langkah. Apakah harus move on atau bertahan.


Hehe, sekian pandanganku yang terinspirasi dari judul lagu yang kami nyanyikan di atas. Semoga dapat membantu bagi jiwa-jiwa kalian yang sedang galau! :)


-Fitri Fazrika Sari-

Jumat, 15 Mei 2015

Hidup Sebagai Seorang Remaja




Kalimat di atas udah sangat mewakilkan problematika kehidupan sebagai seorang remaja ya? Kita dituntut untuk menjadi "dewasa", tapi ketika kita mulai "bersuara", suara kita dianggap belum pantas untuk didengar. That's not fair. Aku rasa, umur gak menentukan sikap seseorang. Banyak kok aku temui anak-anak yang umurnya masih belasan tahun dengan pola pikir yang kritis dan logis. Hm, jadi aku mau sedikit flashback tentang beberapa hal yang aku alamin ketika menjadi seorang remaja.

So, I'll start with some problems that I had since I was at early 6th grade on elementary school.


PUBERTY
Aku ingat banget, dulu, waktu duduk di kelas 5 dan 6 SD, teman-temanku mulai dapat menstruasi pertama mereka. Nah, di sekolahku dulu, kita pake rok warna putih setiap hari Rabu-Kamis, which is totally awful for those who got their first menstruation AT SCHOOL. Iya, pas lagi di sekolah! Haha, aku masih ingat beberapa orangtua yang jemput anaknya di sekolah karena mereka dapat mens mendadak. It's totally cute and weird.
Problem lainnya menjelang pubertas adalah mulai tumbuhnya payudara. Asal kalian tau aja ya, peristiwa itu tuh lumayan menyiksa loh hahaha. Kalo lagi main basket, ada aja yang nangis karena itunya kepentok bola. Kalo lagi main dorong-dorongan, ada aja yang nangis karena itunya kesenggol. Kalo lagi duduk di meja, ada aja yang nangis karena itunya nabrak meja. Duh, aku ingat banget, kelas 6 SD banyak banget yang nangis karena "itu".
As we know, cewek itu duluan pubernya daripada cowok. Jadi, pas SD, ada beberapa temanku yang gak pede karena mereka lebih tinggi dari anak cowok. Pokoknya, jaman SD itu ngeliat cowok gak ada yang sip lah. Suaranya cempreng, badannya cungkring, apalagi sikapnya, duh nyebelin banget deh.
Kelas 6 SD juga pertama kalinya kita belajar materi tentang reproduksi (gak tau deh kalau kurikulum yang sekarang itu gimana). Rasanya, geli-geli gimanaa gitu. Anak cowok dan anak cewek pada dipisah, masing-masing dikasi materi tentang reproduksi. Pas gabung lagi di satu kelas yang sama, kita cuma saling haha-hihi gak jelas sama teman. Yah, materi reproduksi benar-benar hal yang tabu buat aku saat itu.

LOVE LIFE
Cinta? Wah, cinta itu udah jadi perjalanan pasti dalam hidup seseorang. Tapi, gimana dengan "cinta" ala remaja labil seperti kami ya?
So, aku mulai suka-sukaan sejak SD. Ada cowok yang aku suka, kita kenal dari TK. Kemudian masuk di kelas yang sama di kelas 3 (sebenarnya aku lupa, apa aku pernah sekelas sama dia atau nggak. Hehe maaf ...). Nah, katanya, katanya sih ya, dia "suka" sama aku sejak TK! Nah loh. Kita mulai surat-suratan di kelas 4 atau 5 SD gitu, aku lupa tepatnya kapan. Jadi aku beli kertas surat warna pink gitu di warung sebelah rumah, lalu aku tulis deh. Besoknya, aku titip lewat temanku. Beberapa hari kemudian dia nitip balasannya ke temanku. Berlanjut gitu terus, aku lupa isinya tentang apa aja, juga berhenti surat-suratan sejak kapan. Yang aku ingat, aku berusaha nulis sebagus mungkin di surat itu. Hehehe klasik banget yah.
Suka-sukaan aku berlanjut di bangku SMP. Nah, ini pertama kalinya aku mengenal status "pacaran". Teman-temanku juga udah mulai mengenal kata selingkuh, setia, brengsek, perusak hubungan orang, pengagum rahasia, dan lain-lain. Ah iya, ketika SMP, teman yang saling naksir udah mulai jalan bareng. Kebanyakan gak cuma berduaan sih, tapi lumayan bikin berdebar deh. Waktu SMP, kita juga mulai mengenal yang namanya SMS-an, chatting lewat facebook, dan telponan sampai larut malam. Ah! Dan jangan pernah lupakan status hubungan di facebook. Kalau baru jadian ditulis tanggalnya, kalau putus juga ada pemberitahuannya. Memalukan =))
Masuk ke bangku SMA, "pacaran" ternyata gak sesederhana itu. Banyak hal lain yang dipertimbangkan. Misalnya, apa dia cukup keren buat aku pamerin di depan teman-teman, apa sahabatku suka sama dia atau nggak, apa dia mantannya temanku atau nggak, apa dia masih sayang sama mantannya, dan terlalu banyak pertanyaan lain sebelum kita memutuskan untuk pacaran. Makin kesini, aku menyadari bahwa menjalin suatu hubungan itu rumit. Nah, I've got my darkest nightmare of love ketika SMA. Rasanya patah hati, dikhianatin, diduain, semuanya tuh jauh kerasa lebih berat dan menyakitkan.

FASHION
Siapa bilang kalau milih baju itu gampang? Salah! Milih baju, khususnya buat aku sebagai cewek, itu susah banget. Di umur nanggung kayak gini, ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan realita.
Aku mulai susah nyari baju itu, sekitar kelas 5 SD sampai awal SMP. Model yang aku suka, ukurannya udah gak cukup lagi atau ngegantung. Ukurannya cukup, eh aku ngerasa sama sekali gak cocok sama modelnya. Aku masih suka baju pink motif bunga dan harus ada kupu-kupunya. Sementara, baju yang cukup dengan badanku itu, kaos simpel bertuliskan kata-kata dalam bahasa inggris yang waktu itu sangat norak menurutku.
Masuk ke bangku akhir di masa SMA, aku masih suka baju-baju yang colorful yet ala-ala princess gitu. Ya, maksudnya, simple dress dengan potongan yang lucu masih jadi selera aku saat ini. Tapi, Mama nyuruh aku mulai beli baju yang semi formal, katanya nabung buat baju saat kuliah. Bajunya harus berkancing lah, kemeja lah, celana kain lah, ah, sampai saat ini aku masih serba salah kalau milih baju. 

ATTITUDE
Coba sekali-sekali bantu beresin rumah, kan udah gede!
Pilih sendiri dong, kan udah gede!
Kok belum pulang? Ini udah malam, kamu tuh masih kecil udah kelayapan!
Jangan bawa motor, kamu tuh masih kecil!
Dan sederet kalimat klasik turun-menurun yang sering kita dengar sebagai seorang anak di rumah. Ya, sebenarnya gak ada yang salah dengan kalimat-kalimat di atas. Aku gak tau, apa ini perasaan aku sendiri atau kalian juga pernah ngerasain, bertanya-tanya sama diri sendiri. Jadi aku ini udah "besar" atau belum sih?
Kita diminta untuk berani menyampaikan pendapat. Sekalinya ngomong, lah dibilang sok tau padahal masih kecil.
Kita diminta untuk menunjukkan sosok yang bisa dicontoh dengan baik oleh orang lain. Sekalinya berhenti pas lagi lampu merah, lah diklakson sama mobil belakang, dibilang sok patuh sama aturan.
Kita diminta untuk jangan lebay kalau lagi ada masalah. Galau-galau di sosmed lah, ngobat lah, ini lah, itu lah, tapi untuk sekadar minta waktu orangtua atau guru BK aja susah.


Empat hal di atas menggambarkan segelintir poin utama masalah yang aku--juga mereka--rasakan tentang menjadi seorang remaja. Actually, I haven't finished my life as a teenager. Yea, I'm still 18. Mungkin ada beberapa hal yang akan berubah ketika aku baca kembali tulisan ini di umur 25an keatas. Mungkin, sudut pandang yang saat ini aku lihat ada yang belum cukup pantas untuk dikemukakan. Yang aku tau, aku bersyukur dan cukup puas dengan hidup sebagai seorang remaja labil yang besar di area 90an. You know, nowadays, our moral is decreasing gradually as the globalization effect. Tapi aku yakin, masih banyak remaja Indonesia yang peduli terhadap generasi di bawahnya, yang punya pikiran kritis untuk membangun negara, juga akan menjadi penerus bangsa yang hebat.
Salam anak 90an! :D


-Fitri Fazrika Sari-
 

Selasa, 12 Mei 2015

Kisah Kita

Aku udah nyampe. Kamu di mana?
Pesan singkat yang baru saja aku terima membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Dengan pelan aku poleskan lagi lipstik yang sudah berulang kali kuhapus. Aku berputar-putar di depan cermin, meneliti dengan cermat apa ada hal yang tidak beres dengan pakaianku hari ini. Aku menarik nafas panjang, yah, inilah saatnya.

Aku melihat wajahnya dari kejauhan. Ah, dia memang tampan.
"Kei? Ah, maaf, kamu sampai duluan ya? Udah lama?"
"Ah ngga kok, baru aja masuk hehe". Aku berusaha memberikan senyum terbaikku. Tapi, kenapa dia tidak tersipu? Apa lipstik yang aku pakai terlalu menor? Atau parfumku yang kurang enak? Beribu pertanyaan muncul dalam sekejap di kepalaku.
"Kei? Pintunya udah dibuka tuh"
"Ah? Iya, iya". Rasa panas mengalir di sekujur mukaku. Memalukan.

Untuk pertama kalinya aku duduk bersebelahan dengannya, dia yang sejak dua bulan ini mencuri hatiku. Sorot matanya yang teduh, badannya yang tinggi, juga kacamata yang membuatnya nampak lebih dewasa memang menyita perhatianku. Lebih dari itu, ia adalah seorang pemimpin kelas yang disegani. Di luar sekolah, ia adalah pemain bola yang cukup tangguh. Aku suka melihat ekspresinya ketika berhasil menembakkan gola ke gawang lawan. Aku suka luapan bahagianya ketika ia berhasil membawa kemenangan bagi timnya. Juga, saat kakinya cedera atau timnya kalah, rasanya aku ingin berlari ke tengah lapangan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Setengah jam berlalu, aku mulai fokus pada film yang sedang ditonton. Seru juga menonton film petualangan seperti ini. Sesekali aku teriak, merengut, juga menutup mataku ketika tokoh utama bertemu dengan lawannya. Aku lupa, kalau aku tidak menonton sendirian.
"Kei?" bisik Andra.
"Hm?" kataku tanpa menoleh ke arahnya. Ya, aku sedang sibuk menutup mata dengan tanganku. Tokoh utama sedang berjuang melawan musuh.
"Coba liat sini". Aku melihat ke arahnya dengan masih menutup mata.
Ia meraih tanganku.
"Senyum deh". Aku tersenyum malu sambil menatapnya.
"Nah, kan cantik". Katanya pelan sambil tersenyum.
Belum sempat aku menjawab apa-apa, ia sudah kembali memutar badannya ke arah layar. Aku juga kembali menatap layar, tapi pikiranku sudah terbang ke langit. Aku menggigit bibirku sambil tersenyum. Ah senangnya!


Hiruk pikuk stadion tidak menyurutkan mataku untuk mencarinya. Ya, hari ini adalah pertandingan final sepak bola antara sekolahku dan SMA Nusa. Aku tau, ia masih menjadi kapten di pertandingan kali ini. Dengan semangat aku ikut meneriakkan yel-yel sekolah kami. Meski dalam hati, aku ingin sekali meneriakkan namanya seperti teman-teman yang lain.

Peluit tanda dimulainya pertandingan telah berbunyi panjang. Ah, itu dia! Memakai pita di lengan, menandakan seorang kapten bagi sebuah timnya. Mataku tidak berhenti terfokus ke arahnya. Selang beberapa menit, matanya bertemu dengan mataku. Segera aku melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. Kemudian? Dia membalas senyumanku! Aku tidak peduli ada ratusan siswa lainnya yang meneriakkan kata semangat untuk tim kami. Aku yakin, ia tersenyum tepat saat matanya tertuju ke arahku. Kembali aku menggigit bibir sambil tersipu malu. Aku benar-benar menyukainya!

Pertandingan usai. Andra berhasil membawa timnya menuju kemenangan. Aku ikut melompat kegirangan bersama ratusan suporter dari sekolahku. Andra, you did it!


Andra mengajakku ke sudut stadion yang tidak terlalu ramai.
"Andra, selamat ya! Aku udah bilang kan dari awal, kita pasti menang!" kataku antusias sambil tersenyum lebar.
"Hehe thank you Kei, ini semua karna kerjasama tim yang baik kok." Andra tersenyum.
Aku baru saja membuka mulutku, tiba-tiba Andra bersiap untuk pergi.
"Loh? Mau pergi?" kataku sambil mengeluarkan wajah cemberut. Biasanya, Andra akan luluh jika aku memasang ekspresi seperti ini.
"Ada yang mau ngomong sama kamu Kei."
"Loh? Siapa?"
Andra menunjuk ke belakang kepalaku. Aku berbalik badan, ada Rio yang sedang tersenyum.
"Hmm, okedeh. Nanti malam kita jadi kan makan kebab?" kataku riang.
"Liat nanti deh".
Aku heran, kenapa Andra jadi jutek gitu sih? Ah, mungkin dia lelah.

"Hi Rio! Congrats buat kemenangan kalian ya!" kataku sambil menjabat tangannya.
Tunggu, kok tanganku ga dilepas sih? Aku menunggu. Satu menit, dua menit, tidak ada tanda-tanda Rio akan melepaskan genggaman tangannya. Aku mulai risih.
"Yo?" kataku pelan.
"Kei, maaf kalau tiba-tiba. Tapi, aku ...". Rio menarik nafas panjang. Kalimatnya digantung. Situasi ini membuat aku semakin risih. Segera aku menarik tanganku dari genggamannya.
Rio menarik lagi tanganku, kemudian ia berlutut.
"Kei, udah sebulanan ini aku selalu memperhatikan kamu. Suara kamu, mata kamu, kepintaran kamu, semuanya buat aku jatuh cinta sama kamu. Would you like to be my queen, my dearest Keisha?".
Aku tersentak.
"Aku tau ini terlalu cepat. Tapi, kenapa gak dicoba aja dulu? Aku yakin, aku bisa jadi yang terbaik buat kamu Kei".
Aku membuang muka. Rasanya terlalu aneh. Dinyatakan cinta oleh seseorang yang sama sekali tidak "terlihat" di mataku. Aku, aku bingung mesti menjawab apa.
Sepertinya Rio mengerti maksudku. Ia melepas genggaman tangannya dan kembali berdiri. Dengan lembut ia mengusap kepalaku.
"Gak papa Kei, aku tau kamu pasti terkejut. I just want to let you know that I love you. Hmm, sampai ketemu besok ya. Boleh aku jemput?" Rio berkata dengan sangat lembut. Wajahnya penuh pengharapan. Karena tidak tau harus menjawab apa, aku hanya mengangguk. Rio tersenyum lebar kemudian membalikkan badannya, pergi meninggalkan aku yang masih terdiam.


Aku duduk berhadapan dengan Andra di tempat biasa kami makan kebab. Tidak seperti biasanya, malam itu ia lebih banyak diam.
"Andra, ngomong dong. Ya kali aku terus yang cerita. Kamu capek? Apa sebaiknya kita pulang aja?"
"Loh, jadi mau pulang? Aku baru 15 menit yang lalu nyampe Kei. Yaudah kalo kamu maunya gitu.", jawab Andra ketus.
"Ih itu kan baru saran. Kamu aneh deh malam ini." sahutku kesal. Andra kembali diam. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku semakin merasa bersalah.
"Kei, tadi siang gimana?" suaranya sangat pelan, hampir saja aku berkata "hah". Untung gak jadi, kalo iya, bisa makin ngambek deh si Andra.
"Hmm, apanya yang gimana?" tanyaku heran.
"Rio", katanya datar sambil menatap tepat di mataku. Tiba-tiba dadaku serasa dihunus oleh pedang yang sangat tajam. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam pikiranku.
"Yaa, gak kenapa-kenapa sih", jawabku berusaha santai. "Emang kenapa?"
Andra terdiam, wajahnya menunduk sibuk merapikan kemejanya yang tidak perlu dirapikan. Aku menunggu, jawaban apa yang kira-kira akan diucapkannya. Ah, situiasi seperti ini benar-benar membuatku muak.
"Kei, mulai malam ini dan seterusnya, aku gak bisa dekat lagi sama kamu. Aku, aku akan berhenti mengirimimu pesan secara intens." katanya pelan.
Aku tersentak. "Kenapa? Aku rasa, selama ini tidak ada masalah apapun".
"Kita harus menjauh Kei"
"Ya kenapa kita harus menjauh? Bukannya selama ini kita berteman dengan baik? Kenapa tiba-tiba ...", belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Andra memotong dengan suaranya yang keras.
"Karna Rio suka sama kamu!". Suara gelegar Andra tidak hanya membuatku terdiam, tapi juga membuat hening para pengunjung lainnya. Tak lama, mereka kembali bersuara. Mungkin ingin memberi kami waktu untuk menyelesaikan masalah ini berdua. Masalah? Apakah ini sebuah masalah? Ada hubungan apa aku dengan Andra, hingga semua ini disebut "masalah". Kami hanya teman yang beberapa bulan ini menjadi dekat. Kami hanyalah teman yang rutin bertukar kabar setiap hari, telponan di malam hari, juga jalan di hari libur, baik sekadar makan atau mengerjakan tugas. Tunggu, apakah kami sudah sedekat itu? Lalu, hubungan apa ini namanya? Aku terhenyak.

Aku tidak tau berapa lama kami saling berdiam diri. Yang aku tau, pengunjung mulai meninggalkan tempat ini satu persatu. Angin malam mulai terasa, tanda hari sudah semakin larut. Batinku benar-benar tersiksa.
"Keisha, maaf." kata pertama yang terucap yang dari mulut Andra setelah sekian lama menunggu.
"Aku, aku gak tau kenapa Rio yang menyukai aku menjadi alasan kita tidak boleh menjadi dekat lagi.", kataku hati-hati.
"Karena aku sayang sama kamu.". Kalimat itu, kalimat yang selalu aku tunggu sejak dua bulan yang lalu. Kalimat yang selalu aku tau jawabannya dengan pasti. Ya, aku juga sayang kamu Andra.
Belum sempat aku menjawab, Andra bersiap melanjutkan kalimatnya. Aku mulai menggigit bibirku sambil tersenyum malu.
"Karena aku sayang sama kamu, aku gak mau kita dekat lagi Kei. Semenjak aku tau Rio suka sama kamu, aku mulai berpikir untuk menjauhi kamu. Ketika Rio sudah mengatakan kalau dia suka sama kamu, aku benar-benar akan menjauhi kamu, Kei."

Lima menit semenjak Andra mengucapkan kalimatnya, aku masih diam. Aku berusaha menahan tajamnya hunusan pedang yang menusuk jantungku. Aku berusaha mengendalikan derasnya ombak yang akan jatuh dari pelupuk mataku. Aku berusaha menahan jutaan halilintar yang akan keluar dari mulutku. Aku masih berusaha mengendalikan diri, agar Andra tidak membuatku hancur.

Sepuluh menit kemudian, hunusan pedang, ombak, dan halilintar yang bergemuruh tidak lagi aku rasakan. Aku tidak lagi merasa sakit, tidak lagi ingin menangis, juga tidak lagi ingin berteriak. Seluruh asaku kini telah mati. Rasanya, sekarang aku lebih dari sekadar kata hancur.

Lima belas menit kemudian, aku mulai bersuara.
"Aku, sangat sayang sama kamu. Udah dua bulan aku tersadar kalo aku benar-benar suka sama kamu. Entah udah berapa bulan aku mulai tertarik sama kamu. Jika kita saling mencintai, kenapa tidak bersatu?", suaraku bergegar. Ternyata bicara tidak semudah itu. Rasa yang tadi telah mati kembali hidup. Tepat di detik kesepuluh setelah kata terakhir yang aku ucap, aku menangis. Tangisan yang aku tidak tau artinya apa. Aku hanya tau bahwa perasaanku kini telah berserakan.
"Karena aku tidak akan tega menghancurkan perasaan sahabatku, Kei. Salahku yang dari awal tidak terbuka dengannya, kalo aku suka sama kamu. Sampai pada akhirnya, bulan lalu dia cerita kalau dia naksir sama kamu. Aku, aku bingung Kei"
Aku mendengarkan dengan cermat tiap kata yang terucap dari mulutnya. Ah, Andra memang lelaki yang baik. Aku tidak menyangka, ia akan mengorbankan perasaan demi sahabatnya sendiri, yang berujung juga menyakiti perasaanku sendiri.
"It's okay Ndra. Aku senang ternyata kamu membalas perasaan aku". Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Andra meraih kepalaku dan menyenderkan di bahunya. Tak butuh waktu lama, tangisanku kembali terdengar. Andra hanya diam, tangan kanannya mengusap kepalaku dengan lembut. Tangan kirinya menggenggam kedua tanganku dengan erat. Malam itu kami membisu bersama langit. Tak banyak bintang yang berpijar di atas langit Sungai Kapuas tempat kami berlabuh. Semuanya terasa hening dan gelap, sama seperti perasaan dua insan yang tak bisa bersatu meski ingin menyatu.

Senin, 11 Mei 2015

Adakah Cinta yang Sejati?

if happy ever after did exist
i will still be holding you like this
all those fairy tales are full of shit
one more stupid love song i'll be sick

Jumat, 08 Mei 2015

Kemarau di Tahun Kedua

Kemarau? Tidak. Hujan telah turun kemarin sore.
Kemarau? Tidak. Bunga baru saja bermekaran tadi pagi.
Kemarau? Iya. Ini bukan tentang musim, melainkan hati yang telah kau tinggalkan tepat dua tahun yang lalu.
Kemarau? Iya. Ini tentang hati lain yang kau tempati sejak dua bulan yang lalu.

You said that you were born to tell me that you love me -- to make me stay with you, forever and ever.

Now, I tired of being all alone, and this solitary moment makes me want to come back home.
Home?
Ketika aku tak lagi menjadi bagian dari rumahmu, aku bisa apa?
Ketika aku bukan lagi jalan utamamu, aku bisa apa?

Wajahmu tak lagi muncul saat aku sampai di sekolah.
Suaramu tak lagi terdengar saat aku sedang menulis.
Langkahmu tak lagi mengiringi saat aku berjalan.
Lenganmu tak lagi melindungi saat aku tak berdaya.
Satu hal lain yang pergi adalah hati.
Hati itu tidak pernah datang kembali.

Ya, kemarau ini masih terasa.
Kemarau ini akan terus ada sebelum musim hujan lainnya datang.
Telah dua tahun terlewati,
ternyata kau masih hujan yang sama -- yang kutunggu untuk mengakhiri kemarau ini.


-Fitri Fazrika Sari-