Senin, 21 Desember 2015

Sekadar Mimpi

Mimpi. Setiap orang pasti punya mimpinya masing-masing. Paling tidak, mereka “pernah” merasa punya mimpi.

Pernah?
Kenapa seseorang pernah bermimpi? Apa itu artinya, saat ini mereka tidak mempunyai mimpi? Hm, bisa jadi.
Mimpi itu khayalan.
Mimpi itu imajinasi.
Mimpi itu sesuatu yang masih jadi “idaman” buat kita.
Lantas, jika mimpi itu masih sebatas fana, mungkin aja dong, kita tidak meraih mimpi tersebut?

Mimpi yang tidak dapat terwujud itu rasa sakitnya gak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Okelah, mungin saja orang akan berkata,”Di balik semua itu pasti ada hikmahnya kok...”. Lah iya, bisa aja Tuhan menganggap mimpi kita itu bukan yang terbaik. Ia yang lebih mengetahui segala sesuatu, tentu saja akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Tapi, kali ini saja. Boleh kan, kita berbicara tentang sisi kelam dari kejadian itu? ...

Keparat.
Aku sudah berusaha keras untuk mewujudkan mimpi tersebut. Aku sudah sejak lama memupuk keinginan untuk mendapatkan hal tersebut. Aku sudah cukup yakin kepada Tuhan, bahwa Ia akan mengabulkan permintaan tersebut.
TAPI APA? I got nothing.
Mimpi itu hilang. Musnah. Hancur. Berderai. Gak kecapai. Bikin muak. Bikin sedih. Kecewa. Kesal. Marah.

Marah? Tentu saja iya.
Aku merasa marah karena telah menggantungkan harapan setinggi langit, bahwa aku akan meraih mimpi tersebut. Aku berpikir, jika aku bekerja keras maka aku akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang aku minta. Tapi, kenapa aku gagal? Kenapa, saat ini aku masih merasa sedih karena tidak bisa menggapai mimpi tersebut. Kenapa, saat ini aku tidak mempunyai mimpi baru saja, agar aku bisa melupakan mimpiku yang tidak tercapai itu.

Omong kosong.

Mengikhlaskan diri dengan impian yang tumbuh sejak kecil ternyata tidak semudah itu. Lantas, ikhlas seperti apakah yang harus aku punya?



-Fitri Fazrika Sari-

Senin, 07 Desember 2015

Jarak Satu Tembok

Aku sedang tenggelam bersama kumpulan buku-buku usang ketika aroma vanila tercium samar dalam sepersekian detik. Aku mengangkat wajah, berusaha mencari siapa pemilik aroma tersebut. Ah, ternyata dia. Dia dengan rambut panjangnya yang sedikit basah dan buku tebal milik Dale Carnegie di tangan kirinya. Tatapannya lurus, namun aku melihat sedikit senyum dari sudut pipinya.

Mungkin saja dia bosan atau lelah berdiri selama hampir setengah jam. Aku melirik ujung kakinya yang perlahan meninggalkan tempat. Sambil terus menunduk, aku mengikuti arah ke mana ia akan membawa kakinya pergi. Tek. Kaki itu berhenti tepat di sampingku. Tidak, tidak, bukan tepat di sampingku. Lebih tepatnya, tepat di sisi lain dari rak buku yang sedang aku jadikan tempat bersender. Rak buku yang tidak terlalu penuh membuatku dapat melihat kakinya dengan jelas, namun tak cukup membuatku melihat wajahnya dengan jelas pula.

Takut. Anggap saja aku pengecut. Bahkan aku hanya perlu sedikit mendongakkan kepalaku untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dengan jarak sedekat ini, tentu saja aku akan bisa melihat apa warna matanya, bagaimana bentuk bibirnya, dan judul buku apa yang kini dibacanya. Sayang, rasa takutku terlalu besar. Untuk melihat ujung sepatunya saja, aku sangat berhati-hati menurunkan sedikit buku yang sedang ku pegang. Apalagi untuk melihat wajahnya?

Kami terpisah oleh ribuan inspirasi, ratusan buku, dan puluhan pengarang yang hanya berderet di satu rak panjang. Sepatu kami berjarak kurang dari satu meter antara satu dan lainnya. Sangat dekat, memang. Namun, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk memulai percakapan denganmu. Dalam jarak satu tembok, aku sadar sepenuhnya bahwa aku mulai mencintaimu.

Sabtu, 21 November 2015

Tulisan untuk Tuhan

Belum pernah sekalipun aku mendoakan seseorang sebegitu dalamnya seperti saat ini. Bukannya meminta pertolongan untuk diriku sendiri, tapi aku malah menyebut nama kamu di antara isak tangisku dengan Tuhan.

Tuhan, hamba mohon, bantulah ia. Kuatkanlah hati dan niatnya. Dekatkanlah ia dengan mereka yang dapat membantunya untuk bangkit. Hilangkanlah segala rasa bersalah dari dirinya.
Tuhan, hamba sangat yakin, ia bisa melakukan yang lebih dari saat ini. Tuntunlah ia Tuhan, tuntunlah ia menggapai angannya. Hamba yakin, ia adalah orang yang beberapa tahun lagi akan berdiri tegap di depan sana, menceritakan betapa kuatnya ia melewati masalah tersebut dan betapa bangganya ia menaklukkan masalah itu. Ia adalah satu dari jutaan orang yang akan berpengaruh bagi masyarakatnya. Ia adalah calon inspirasi bagi miliaran orang lainnya. Hamba mohon kepadamu Tuhan, percayalah pada hamba.
Tuhan, kalaupun saat itu datang, hamba juga tidak sepenuhnya yakin. Apakah hamba akan melihatnya dari samping, atau dari kejauhan. Sejujurnya hamba tidak yakin, apakah dia adalah orang yang ditakdirkan untuk bersama hamba. Namun, hamba yakin. Dia adalah orang yang sangat tepat untuk mendapatkan yang terbaik, meski itu bukan hamba. Hamba hanya memohon kepadaMu untuk membantunya menggapai cita. Hamba tidak akan berani memohon untuk membuatnya cinta.
Tuhan, tidak pernah sekalipun hamba membisikkan nama lain selain keluarga di dalam doaku padaMu. Namun, hanya dia, ya Tuhan. Hanya dia yang satu-satunya hamba ingat ketika menadahkan tangan di akhir pertemuanku denganMu.

Tuhan, ini adalah kesekian kalinya air mata ini berlinang. Hamba serahkan semuanya padaMu, bantulah ia.



-Fitri Fazrika Sari-

Minggu, 25 Oktober 2015

Selaksa

Selaksa. Suatu ungkapan yang berarti sepuluh ribu atau suatu banyak yang tidak terhingga. Sekarang aku mengerti, selaksa adalah kamu.

Selaksa senyum ketika aku bertemu denganmu.
Bagaimana bisa, seorang biasa seperti kamu mampu membuatku lebih kuat di malam itu? Satu kalimat dari kamu ternyata lebih mampu memberiku kehangatan dibanding lapisan-lapisan baju yang tengah kupakai. Bercengkrama dengan jarak beberapa meter ternyata menghasilkan rasa panas di wajahku. Luar biasa. Kehadiranmu selama tujuh menit membuatku merasa lebih baik.

Dasar penjilat.
Hari ini kamu mulai menjadi sesuatu yang selalu aku bayangkan. Rasanya lucu, ketika suatu lagu mengingatkanku pada kejadian yang kita alami kemarin. Selaksa cerita. Sepertinya dua minggu pertemuan kita telah menghasilkan puluhan ribu memori di benakku. Sekali lagi, kuucapkan luar biasa. Betapa kamu merubah aku yang sebenarnya sudah muak dengan kata cinta.

Cinta?
Mengapa aku bisa mengatakan “cinta” dengan mudahnya? Padahal, sudah susah payah kutahan kata itu agar tidak terucap ke sembarang orang. Atau mungkin, kamu memang bukan orang sembarangan? Apa kini kamu telah berhasil mengorek tempat itu? Hebat, sungguh luar biasa. Kamu itu siapa, kok berani-beraninya mau masuk ke tempat istimewa yang telah lama aku kunci.

Selaksa makna.
Bukankah rasa nyaman itu selalu memiliki banyak kemungkinan? Bisa saja aku hanya menemukan teman lama yang dulu pernah hilang. Mungkin kamu adalah tipe teman yang aku cari selama ini, makanya aku selalu ngerasa nyaman di dekat kamu.
Tapi, jika itu memang seorang teman, kenapa aku harus tersipu ketika kamu memujiku? Bukankah harusnya aku menanggapinya dengan biasa saja? Juga, harusnya aku tidak perlu kesal ketika mereka berebut mencari perhatian kamu. Toh aku tidak punya alasan untuk itu. Tapi, kenapa aku merasa tersaingi ya. Ah, kamu memang luar biasa.


Aku sedang berdebat tentang selaksa rasa. Maukah kamu melihat akhirnya?

Sabtu, 12 September 2015

Sepercik Motivasi


Manusiawi kalau capek. Bahkan robot aja butuh waktu untuk diistirahatkan pemakaiannya.
Manusiawi kalau bosan. Eiffel yang segitu romantisnya aja udah dianggap biasa sama penduduk aslinya.
Manusiawi kalau iri. Setiap orang pasti punya panutan lain yang jauh lebih sukses dari dirinya sendiri.


Hidup itu pilihan. Dan, di setiap pilihan itu akan ada risiko yang harus kita jalani. Tidak jarang pula, pilihan itu mengharuskan kita untuk berkorban. Berkorban dari hal sepele hingga hal yang cukup rumit.


Aku ingin sukses. Aku ingin lulus kuliah dengan nilai yang membanggakan. Aku ingin memiliki banyak sertifikat penghargaan. Aku ingin pergi keluar negeri dengan gratis. Aku ingin menjadi istri dan ibu yang bisa menjadi panutan di masa depan nanti. Aku ingin menjadi seorang yang bermanfaat untuk rakyat.
Apa yang harus aku lakukan?
Ingat, hal yang luar biasa butuh perjuangan yang jauh luar biasa.


Mungkin tadi pagi aku capek karena menyelesaikan deadline yang tidak orang lain miliki.
Mungkin tadi siang aku bosan mendengarkan mata kuliah dari dosen yang tidak mengerti cara mengajar yang menyenangkan.
Mungkin malam ini aku iri dengan mereka yang menghabiskan waktunya menikmati makan malam bersama pacar tersayang.
Tapi, haruskah aku merasa seperti itu?

Seharusnya tidak.
Aku menyelesaikan deadline yang ada agar aku bisa menambah lebih banyak lagi variasi pekerjaan yang aku punya. Kenapa harus banyak? Ya, karena aku ingin menjadi orang hebat, aku harus belajar dari banyak orang-orang hebat lainnya. Aku harus dapat menggali ilmu mereka sedalam-dalamnya. Aku harus menguatkan kemampuanku di berbagai bidang. Aku harus mempunyai sesuatu yang “lebih” dari orang-orang di sekitarku.
Aku harus semangat pergi kuliah agar mendapatkan nilai yang bagus. Bukan, nilai bukan segalanya. Memang, seharusnya proses itu lebih dihargai daripada hasil. Namun, orang tua mana yang tidak bangga jika anaknya berhasil masuk jejeran cumlaude saat wisuda nanti?
Saat ini aku memang memilih untuk makan di kamar saja. Bukannya ansos, hanya saja rasanya lebih efektif jika bisa berfikir sambil makan. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Masih banyak hal lain yang ingin aku kerjakan daripada sekadar berbagi kemesraan dengan orang lain.


Aku tidak pernah tau kenapa bisa berfikir sevisioner ini. Entah kenapa, aku kembali merenungkan apa arti hidup yang sebenarnya. Entah kenapa, rasanya aku butuh mengembangkan diriku jauh lebih tinggi lagi. Tiba-tiba aku merasa malu jika tidak berbuat sesuatu untuk kebaikan diriku sendiri dan orang lain.
Apakah kalian juga merasakan hal yang sama?

Selasa, 25 Agustus 2015

17



Orang bilang, 17 tahun adalah “batu loncat” kedewasaan seseorang. Seseorang yang menginjak usia 17 tahun dianggap mampu dan bebas buat nentuin pilihan hidupnya sendiri. Katanya sih, 17 itu umur yang istimewa. KATANYA LOH YA...

Eh ternyata benar. Titik balik kehidupanku dimulai dari sini.


Mei 2014.
Siap gak siap, aku diharuskan ngerantau ke Jogja untuk ikut les intensif persiapan SBMPTN kala itu. Belum jalan empat bulan di umurku yang ke-17, aku udah hidup sendiri. Meski gak nyampe dua bulan, rasanya aku tuh “ngesot” gitu ngejalanin hari-hari sebagai anak kos. Sediiih banget. Apa-apa harus dikerjain sendiri. Kemana-mana harus pergi sendiri.
Puncaknya waktu tes SBMPTN dan UM waktu itu. Yang lain pada diantar sama orang tuanya, banyak juga yang ditungguin sampai selesai ujian. Lah aku? Datang ke sana sendiri, makan sendiri, pulang juga sendiri. Aku ingat banget, sepulangnya dari tempat ujian, aku nangis senangis-nangisnya di jalan. Lebay gak? Lebay ya. Ya gitu deh...

Agustus 2014.
Aku balik lagi ke Jogja, tapi bukan untuk kuliah. Ya, aku gagal pada ujian tulis kemarin. Meski berat, aku yakin hal yang besar butuh pengorbanan yang gak kalah besarnya juga.
Waktu itu aku les lagi buat ikut ujian SBMPTN di tahun depan. Aku ketemu sama banyak teman yang senasib—mereka yang rela menunda waktu kuliah buat masuk di universitas atau jurusan yang mereka idamkan. Seketika aku tuh ngerasa kecil, kecil banget. Ternyata saingan untuk dapetin jatah kursi di universitas favorit tuh emang ketat. Lagi-lagi, aku berperang sama batin sendiri di enam bulan pertama umurku yang ke-17.

Desember 2014.
Puncak kejayaan buat dompetku sendiri.
Ya, aku memberanikan diri buat ikut salah satu event besar tahunan di Jogja. Aku joinan stand bareng online shop Jogja lainnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku ngerasain yang namanya kerja. Jagain stand meski pake shift ternyata berat juga. Tanggung jawab ngejaga seluruh barang yang ada selama beberapa jam tuh gak mudah. Belum lagi harus selalu ramah sama pembeli walau sebenarnya badan udah remuk.
Hampir setahun di umurku yang ke-17, aku udah punya omset jutaan rupiah yang terus naik pada bulan-bulan berikutnya.


Aku rasa, tiga momen di atas adalah hal besar yang sangat membekas buat aku.
Kalau aja tahun lalu aku udah kuliah di tempat lain, gak akan ada aku yang bisa disiplin waktu seperti sekarang. Gak akan ada aku yang berjuang mati-matian buat bangkit ngalahin ego diri sendiri. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya kesempatan untuk bisa kuliah.
Kalau aja tahun lalu aku gak dipaksa ngerantau keluar, gak akan ada aku yang lebih mandiri seperti sekarang. Gak akan ada aku yang selalu ngabarin orang tua setiap harinya. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya segala fasilitas yang selama ini aku dapat.
Kalau aja tahun lalu aku gak mulai usaha sendiri, gak akan ada aku yang berpikiran terbuka seperti sekarang. Gak akan ada aku yang berani ngambil setiap kesempatan yang ada. Gak akan ada aku yang segitu menghargainya apapun pekerjaan orang tersebut.

Ternyata benar, 17 adalah masa dimana aku mencari jati diri. Aku menemukan banyak sisi lain dari pribadiku sendiri, baik yang baik maupun buruk. 17 membuatku mengerti, siapa aku sebenarnya.

Senin, 10 Agustus 2015

Mawar Putih

Jujur, aku belum pernah melihat bunga mawar. Jangankan yang asli—palsunya saja aku tak tau yang mana.
Makanya, maaf membuatmu kecewa karena aku tak sesenang yang kamu harapkan. Aku hanya menerimanya dengan ucapan terima kasih. Tanpa basa-basi, aku suruh kamu pulang lagi.
Waktu itu aku tak tau kenapa kamu terlihat begitu kecewa. Aku pikir, itu hanya perasaanku saja.


Dua hari kemudian, kamu tanya kabar bunga tersebut. Aku bingung, apanya yang harus dijawab?
Dengan kesal kamu bilang, “Itu kan mawar asli!”


Aku menarik pelan laci kecil di dalam lemari bajuku. Mawar itu layu, sepertinya akan mengering besok pagi.
Ah, sepertinya aku benar-benar membuatnya kecewa.



Hari pertama di bulan Juni, kamu datang ke rumahku sambil senyum-senyum sendiri. Kenapa nih?
Oh, lagi-lagi kamu kasi aku mawar putih. Kali ini ada beberapa tangkai. Kamu bilang, delapan tangkai bunga mawar ini sebagai simbol angka delapan yang gak ada ujungnya. Kamu mau, hubungan kita tak akan pernah putus juga.
Aku bisa merasakan hawa panas menjulur di wajah kecilku. Aku tersenyum kecil sambil berkata, “Tenang aja, kali ini mawarnya aku simpan di vas bunga ya. Terima kasih, aku sayang sama kamu.”

Kali ini aku tidak melihat ekspresi kecewa di wajahnya. Hehe.


Sabtu, 08 Agustus 2015

Apa Aku Berhak Marah?

Pernah suatu ketika, aku marah. Karena apa? Aku baru tau dari teman sekolahnya, kalau beberapa akhir ini dia kembali kontakan sama mantannya. Video call dari malam sampai pagi ketika aku udah tidur lelap. Aku berhak marah gak sih?


Dari sisa-sisa chat yang ada (uhuk uhuk…), mereka saling support gitu. Buat aku, itu terlalu berlebihan. Kenapa sih minta temenin mantan yang udah punya pacar buat ngobrol karena gak ada kerjaan di malam hari? Emangnya dia itu orang pertama yang kamu pikirin di malam hari? Terus kenapa lanjut jadi setiap hari? Pake emot romantis lagi. Kesal kan jadinya. Oke, oke aku ngaku. CEMBURU TAU! L
Hal lain yang buat aku tambah kesal, kenapa harus tau dari temannya sih?! (oke, mulai terbawa emosi nih kayaknya…)


Tapi, sebegitu kecewa dan kesalnya aku sama dia, tetap aja, aku ngerasa gak berhak untuk marah. Aku bilang sama dia kayak gini:
Yah, gimanapun juga, aku gak berhak buat marah. Toh aku emang tau, aku cuma orang baru di kehidupan kamu. Masih banyak orang lain yang lebih tau kamu.
Tapi gimana ya, kalau bukan karena teman-teman kamu yang ngacau, sampai sekarang pun aku gak tau apa-apa kan. Rasanya beda kalau tau sesuatu dari orang lain duluan daripada kamunya langsung. Entahlah apa aku yang egois atau gimana, tapi mikirin semuanya nih buat hati aku hancur.
Iya tau, kamu bakal balik lagi ke tempat di mana kamu dibesarkan, di mana banyak teman-teman yang jauh lebih mengenal kamu, juga cewek lain yang lebih ngertiin kamu.
Oke, rasanya sepotong pesan itu cukup untuk menyimpulkan pendapatku. Setelah itu, dia balas, pernah aku ninggalin kamu untuk kontakan sama yang lain disaat kita lagi kontakan?


Sekarang, aku tanya ke kalian, adil gak sih?


Kamis, 06 Agustus 2015

Sekarang Cinta itu Udah Pergi

“Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“Hmm…apa?”
“Kamu udah punya pacar?”
“Belum sih. Kamu?”
“Hehe, sama.”
“Kenapa belum punya pacar lagi?”
“Maunya aku jawab jujur apa bohong?”
“Ih apaan sih. Yang jujur lah” kataku sambil tertawa renyah. Aku mengedarkan pandangan ke wajahnya. Sejenak mulut itu terkunci—seakan sedang menyusun kalimat untuk diungkapkan.
“Soalnya aku masih sayang sama kamu, Fit.”
Aku diam. Mataku beradu dengan matanya selama beberapa detik. Dengan cepat ia menunduk, begitupun aku.
“Ooh gitu…” hanya itu yang terucap dari mulutku.
“Kalau kamu, kenapa belum pacaran lagi?”
“Hmm, belum ketemu yang cocok aja.”
“Ooh, gitu…”

Aku masih ingat dengan jelas percakapan kita malam itu. Kita bertemu lagi sekitar kurang dari setengah tahun kemudian, di warung bakmi, sekitar jam 10 atau 11 malam, tepatnya aku lupa. Aku tidak menyangka, aku bisa jadi alasan seseorang untuk menyayangi sebegitu lamanya. Aku juga tidak menyangka, rasa sayang bisa datang secepat itu—juga hilang secepat itu.


Dimulai dari hari itu.
Aku menerima ajakanmu untuk berpacaran, hanya selang dua minggu setelah hubunganku kandas dengan seseorang. Awalnya aku tidak menyangka kita akan melangkah sejauh ini, sedekat ini, juga sedalam ini. Awalnya aku tidak menyangka, tetap menerimamu sebagai pacar meski di bulan kedua kamu ketahuan menyembunyikan sesuatu yang aku tidak suka. Awalnya aku tidak menyangka, aku bisa jatuh cinta seserius ini sama kamu.

Kita jalan tanpa ada paksaan juga larangan. Kamu bisa menikmati dunia dengan teman-teman baikmu—begitupun aku. Kamu membuat aku berpikir lebih dewasa.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ngabarin tiap jamnya. Kamu buat aku yakin, apapun yang sedang kamu lakukan di sana, kamu akan selalu ingat sama aku.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ketemu tiap harinya. Rasanya lucu, ngerasain LDR padahal ada di kota yang sama. Rasanya lucu, ketika cuma ada skype yang bisa nemuin muka kamu sama aku. Baik hp kamu atau aku, isi galerinya sama: hasil capture-an skype kita atau foto-foto aneh yang kita kirim kalau lagi chatting.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu bukan alasan untuk melampiaskan nafsu. Mau pulang selarut apapun, aku yakin kamu gak perlu ngelakuin “modus basi” buat ngelindungin aku. Aku kagum ketika kamu selalu ingat ibu kamu—seseorang yang buat kamu begitu menjunjung tinggi keberadaan aku.


Ah iya, kamu juga yang buat aku percaya kalau cinta mudah datang dan pergi.

Semuanya berakhir di hari itu.
Aku melihat sisi lain dari kamu yang sayangnya sulit aku terima. Sisi yang aku ketahui dua bulan setelah kita berpacaran. Sisi yang baru aku lihat langsung enam bulan kemudian. Anggap saja aku egois, gak bisa nerima kamu apa adanya.

But, somehow, I need something more than just love. I called it tenet. Didn’t you realize it from the first day we met?

Dia yang Selalu Kembali

Ada nggak sih, satu orang yang bisa dengan mudahnya datang dan pergi seenaknya di kehidupan kita? Orang yang tau, kalau kita masih sayang sama dia. Orang yang tau, kalau kita akan selalu menyambut kedatangannya dengan senyum bahagia.


Dia tau, ketika gak ada lagi siapapun yang ada buat dia, kamu akan jadi “rumah” tempat di mana ia akan pulang. Bangsatnya, dia gak tau diri. Entah apa alasan dia untuk pulang kembali ke rumah setelah dia pergi tanpa pamit. Entah itu karena masih sayang, atau hanya ingin menjalin pertemanan, atau yang paling parah, dia cuma iseng.


Seharusnya, dia gak pernah sayang sama kamu. Tuh, buktinya, dia gak mau biarin kamu bahagia.
Setelah semua usaha  keras yang kamu lakuin buat ngelupain dia, dia datang lagi. Dia raih tangan kamu, dia peluk lagi tubuhmu yang haus akan kehangatannya, kemudian dia elus rambut kamu—seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Kamu menjalani lagi kehidupan dengannya. Ia yang telah kembali pada rumahnya yang lama. Ia yang berulang kali membuat jantungmu berdebar tak karuan.
Kemudian, ketika kamu sudah merasa nyaman, ia pergi. Ia tidak di sampingmu lagi ketika kau bangun di pagi hari. Kamu pikir ia pergi karena ada hal penting yang mendadak.

Sebulan.
Dua bulan.
Tiga bulan.
Kamu masih menunggunya di teras rumah—berharap ia datang untuk memelukmu lagi.

Bulan kelima, kamu mulai putus asa. Kamu buang lagi semua kenangan tentangnya. Dengan susah payah, kamu belajar bangkit lagi.


Tahun baru.
Kamu sedang melihat kembang api yang saling bersahutan ketika seseorang menepuk pundakmu. Ya, siapa lagi kalau bukan dia—orang yang masih diam-diam kamu sembunyikan di salah satu kamarmu yang sempit.

Ia memelukmu, meminta maaf atas kejadian beberapa bulan yang lalu. Ia berkata tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.


Aku tahu, kamu akan menerimanya kembali—karena kamu adalah rumah, tempat di mana ia akan selalu diterima untuk pulang. Tak takutkah kamu, bahwa ia akan pergi lagi?



Senin, 20 Juli 2015

Jogja Istimewa

Jogja istimewa.
Tagline yang banyak kita jumpai di sepanjang jalan utama kota Jogja.

Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir akan jadi satu dari ribuan bahkan jutaan orang yang mengadu nasib di Jogja. Ya, Jogja memang terkenal sebagai Kota Pelajar. Aku adalah satu dari sekian banyak pelajar yang ingin meneruskan studinya di Jogja, terutama di UGM. Salah satu universitas paling bergengsi di kota gudeg ini.


Perjuanganku bermula dari penolakan UGM di SBMPTN dan UM UGM 2014 yang lalu. Rasa kesal, malu, kecewa, ngerasa sia-sia, semuanya campur-aduk. Aku ingat banget, setahun lalu, tepat sebulan sebelum ujian, aku selalu menghabiskan sarapan sambil membaca buku biologi. Cuma nunggu pesanan datang, aku habiskan waktu sambil baca ringkasan materi. Ah, pokoknya, aku rasa, tahun lalu aku udah belajar sebisaku. Tapi mau dikata apa, aku gagal.


Lalu? Setelah empat malam yang panjang dan menyiksa batin, aku membulatkan tekad. Aku akan mencoba lagi SBMPTN tahun depan dan aku tidak akan masuk ke universitas manapun selama setahun itu. Apa itu pilihan yang tepat?

Ah ternyata tidak.
Gunjingan orang ada di mana-mana. Keluarga, tetangga, guru, teman sekolah, bahkan nyamuk yang lewat pun aku rasa semua bertanya-tanya tentang pilihanku.
IH JADI SEKARANG NGANGGUR NIH?
GAK SAYANG TUH SETAUN NGANGGUR?
EMANGNYA GAK NYOBA SWASTA?
DUH, GAK USAH MIMPI DEH MAU KE UGM.
SAYANG UMUR!
Yah, banyaklah omongan yang bikin sakit perasaan. Ya kali ya, siswa yang selalu ranking di sekolah malah gak lanjut kuliah. Ya kali ya, anak dokter kok cuma tamat SMA. YAAAAAAAA.

Belum lagi penyesuaian diri jadi anak rantau. Fasilitas dibatasi. Semuanya jadi serba ribet.


Hal-hal di atas selalu mengusik batinku. Rasanya dunia tuh gak adil. Kenapa ada orang yang cuma main-main di sekolah bisa dengan mudahnya dapat kuliah. Kenapa mereka yang cuma iseng ikut ujian yang lulus tes. Kenapa jalanku susah banget sih?


Aku ikut bimbel di Ganesha Operation, mengulang kembali semua materi yang udah aku pelajari tiga sampai enam tahun yang lalu. Bedanya, kali ini aku selalu dihadapkan sama soal setara level SBMPTN. Hm, awalnya, gimana ya. Rasanya bodoh aja gitu. Ini materi udah dikasi berulang-ulang kali masa masih gak bisa ngerjain?!


Gak kerasa, udah tahun 2015. Aku mulai kendur semangat belajarnya. Aku sibuk pergi jalan ini itu. Sibuk jualan. Sibuk ikutan stand. Sibuk lah pokoknya.

NAH.
TIBA-TIBA.
Dua bulan sebelum SBMPTN, aku tersentak. LAH AKU NGAPAIN AJA SETAHUN INI? Buku sakti belum keisi setengahnya. Ikut TO masih jauh dari kata aman. Baca materi biologi masih jauh dari kata expert.
Aku ingat banget. Hari itu, waktu aku tiba-tiba kepikir semuanya, aku langsung pergi ke GO. Minta waktu sama kacab buat konsultasi. Sore itu aku benar-benar penuh semangat, aku tulis semua hal yang harus aku lakukan dan tinggalkan. Malamnya aku pergi lagi ke GO. Konsultasi sama beberapa guru, materi apa yang harus aku kuasai dalam jangka dua bulan.
Semuanya kerasa enteng dan cepat aku mengerti. Hasil TO pertama, wah, melebihi ekspetasiku. Aku makin semangat. Pagi-pagi, aku pergi ke perpusda buat kerjain soal. Siangnya aku ikut tambahan di GO. Malamnya aku belajar sendiri di kos. Begitu terus setiap harinya.
Kadang, aku ikut kelas pagi. Lalu belajar sendiri di kos dari jam dua siang sampai jam lima sore. Itu harus, sesuai nasihat dari kacab di GO.

Ah iya, dua bulan sebelum SBMPTN, aku hapus semua sosmed yang ada di hp. Aku juga gak nyuci sendiri lagi, semuanya dikasi ke laundry. Pokoknya aku memanfaatkan setiap detik yang ada buat sesuatu yang berguna buat tesku nanti.


Hal apasih yang membuatku tiba-tiba "taubat"?
Aku udah pernah ditolak sama universitas impian. Aku mengerti sakitnya dicemooh orang. Aku sadar ada jutaan pelajar lainnya yang mengejar kursi yang sama. Intinya, aku takut gagal lagi. Sangat, sangat takut.
Aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Aku mencoba ikhlas. Aku mencoba untuk tidak sakit hati akan perkataan orang lain.
Apakah bisa?
BISA!
Setelah berdamai dengan diri sendiri, semuanya terasa lebih mudah. Aku bisa ketawa walaupun orang bilang aku pengangguran. Gak ada lagi beban. Aku menerima semuanya dengan ikhlas.
Ah mungkin tahun lalu aku masih terlalu banyak main. Mungkin tahun lalu aku tidak berdoa dengan sepenuh hati. Mungkin Allah mau liat, seberapa besar aku pengen berjuang buat diriku sendiri.


Finally, the day before the war.
Sungguh, malam itu aku gak bisa tidur nyenyak. Keringat dingin, mual, pusing, ah pokoknya semua campur-aduk. Berkali-kali aku ngesot (ya, ngesot beneran) ke ujung kamar. Masak air panas, minum teh, lalu balik lagi ke tempat tidur. Kadang ketiduran gak nyampe sejam. Ya Allah, pokoknya malam itu aku benar-benar hopeless apa besok bisa ngerjain tesnya atau enggak.
Aku kebangun lagi sekitar jam tiga subuh. Masih dengan kepala berat, aku pergi buat solat tahajud. Lalu aku tertidur, bangun lagi jam setengah lima karena SMS dari Mama.


Ujian pertama, saintek.
Ujian kedua, tkd.
Entahlah, semuanya ngalir gitu aja. Aku masih gak bisa tidur nyenyak selama sebulan. Iya, nunggu pengumuman.


Hari pengumuman.
Kebetulan lagi bulan puasa ya, aku berniat mau buka web habis bukaan. Ternyata, molor sampai habis Isya. Pengennya sih molor lagi sampai sahur nanti. Tapi mamaku maksa buat buka pengumuman.
Akhirnya.
Aku duduk depan laptop, ngetik nomor pendaftaran dan tanggal lahir.
Aku diam.
Gak berani nekan enter.
Aku, takut. Sangat takut. Aku takut ngebaca kata maaf lagi dari UGM. Aku sangat takut, kalau-kalau apa yang aku korbankan setahun ini ternyata hasilnya sama aja kayak tahun lalu.
Mamaku mulai kesal. Akhirnya dia yang ambil alih duduk di depan laptop. Aku kabur, tengkurap di kursi sambil nutup muka pake tangan. Sungguh, aku benar-benar gak mau ngeliat ekspresi mama saat itu.
"Ma, gimana? Hijau apa merah?"
"Kak, ini pencetnya gimana?"
"Ih, tinggal pencet enter aja ituuu"
"Gimana sih, ini gimana lagi ke bawahinnya"
Jeng jeng... Hahahaha kesel, akhirnya aku balik nyamperin mama.
"Ini loh tinggal dienter... Eh mana tulisannya. EH? EH! MA KAKAK LULUS! EH LULUS DI MANA NIH? OOH! PA! KAKAK LULUS SBM!"

Gila. Eh salah, alhamdulillah wa syukurillah ...
Senang banget ngeliat senyum orang tuaku malam itu. Senang banget rasanya meluk orang tuaku malam itu. Ah pokoknya aku senang!


Iya, untuk keempat kalinya aku ditolak lagi sama UGM. Tapi aku yakin, itulah jalan yang Allah ridhai buat aku. Targetku emang lulus SBMPTN tahun ini. Alhamdulillah, semuanya terbayar.
Aku sangat yakin, semuanya terjadi bukan saja karena usaha yang keras, tapi juga doa. Aku tidak serajin itu solat sunah, apalagi tahajud. Tapi, malam itu, aku benar-benar berdoa sama Allah, minta dimudahkan segalanya. Dan itu terwujud! Belum pernah dalam sejarah, aku gak ada waktu buat bengong waktu lagi ngerjain saintek. Sungguh, pertolongan Allah itu nyata :)


Jadi, buat kalian yang tahun ini masih belum diterima sama universitas impiannya, jangan patah semangat! Boleh juga nyoba setahun lagi kayak aku, boleh juga ngambil univ atau jurusan lain, ya boleh deh mau ngapain aja. Toh, tujuan tiap orang kan berbeda.
Tujuanku tahun lalu? Tentunya buat bungkam semua orang yang ngeremehin aku! HEHEHE.
Tapi, aku salah. Ternyata, hadiah yang aku dapat adalah rasa percaya sama diri sendiri yang meningkat. Aku bisa membuktikan ke diri aku sendiri kalau ternyata aku bisa! Aku bisa melawan egoku sendiri. Aku bisa disiplin. Aku bisa menentukan prioritas untuk kebaikan diriku sendiri.

Hari itu, aku banyak banget dapat pertanyaan: gimana SBM kamu?
Tau apa yang aku rasain? Aku gak mau tuh ngasi tau ke mereka. Cukup jawab alhamdulillah aja. Rasanya, aku udah gak mau lagi ngelakuin seseuatu hanya untuk "dipandang" orang lain. Aku cukup membuktikan ke diri aku sendiri, bahwa aku bisa jika aku mau.


Seperti postingan di instagramku empat belas minggu yang lalu.
Mimpi tidak sebercanda itu.
Usaha tidak semudah itu.
Pertolongan dari Yang Maha Kuasa lah, yang memberi jalan untuk setiap usaha dalam menggapai mimpi.




-Fitri Fazrika Sari-


Jumat, 12 Juni 2015

Terlalu Biasa atau Terbiasa?

Aku merindu, pada seseorang di kota lain yang sedang berjuang menyelesaikan studinya. Aku lihat, ia berusaha keras mendapatkan nilai yang baik di kampusnya. Ah, sungguh berbeda dengan ia yang aku kenal tiga tahun yang lalu. Ia yang aku kenal adalah ia yang lebih mementingkan kegiatan lain, apapun itu selain pelajaran sekolah. Ia yang saat ini aku lihat adalah ia yang telah beranjak dewasa. Jodoh dan karir sudah merasuki pikirannya. Sekarang ia juga lebih giat mencari uang tambahan—hal yang membuatku kagum.


Aku mengenalnya tiga tahun lalu. Saat itu, aku menganggapnya tidak lain sebagai teman sekolah biasa. Aku tidak menyangka, perkenalan itu berhasil membuatku begitu mengingatnya hingga saat ini. Aku tidak menyangka, ia adalah orang yang mengisi hampir sebagian masa akhir sekolahku. Aku tidak percaya akan suatu "kebetulan". Aku percaya, ia memang ditakdirkan untuk bertemu denganku, untuk membantuku menghadapi masa-masa di mana aku menjadi seseorang yang lemah, bodoh, juga tidak berguna. Sayang, begitu banyak hal baik yang ia lakukan sehingga aku lupa. Aku lupa untuk berterima kasih. Aku lupa untuk memberinya warna-warni kehidupan seperti yang selalu ia lakukan untukku. Aku hanya memberinya warna abu-abu—samar, tidak jelas, antara ada dan tiada.


Ia mengajarkanku untuk berbahagia, tapi ia lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Ia mengajarkanku untuk melepas seseorang yang tidak pantas aku tangisi, tapi ia tidak melepasku—orang yang seharusnya dari dulu ia tinggalkan.
Aku sibuk mencarinya ketika sedih, tapi aku tidak pernah bertanya—apakah ia bahagia?
Aku menyalahkannya ketika ia menghajar orang yang aku kasihi—tanpa bertanya, apa yang ia perbuat kepadamu? Kenapa kamu marah?
Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
Aku bahkan tidak pernah memikirkan perasaanmu sedikitpun.
Begitu bodohnya sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kamu begitu menyayangiku kala itu.


Mudah saja untukmu mencampakkkan diriku kala itu. Aku yang tidak pernah menghargai segala tentangmu. Aku yang tidak pernah menaruh perasaanku sedikitpun untukmu—hal yang dapat membuatmu bahagia kala itu.
Maaf, aku bukan seseorang yang pantas untuk diperjuangkan.
Maaf, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Maaf, aku terlambat menyadari bahwa aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan waktumu lebih dari sekadar saat-saat sedih. Aku membutuhkan pelukanmu lebih dari sekadar saat ku menangis. Aku, aku tidak tahu mengapa aku membutuhkanmu. Apa karena kamu adalah orang pertama yang selalu ada di saat aku terpuruk? Apa karena kamu adalah orang yang begitu mengerti segala hal yang membuatku senang dan sedih? Apa karena aku tidak bisa menemukan orang lain yang bisa memahami semua keluh kesahku selain kamu?


Jadi, mengapa sekarang aku merindu?
Apakah karena aku membutuhkanmu?
Mengapa aku membutuhkanmu—sementara aku tidak pernah memikirkanmu?
Apa aku jahat? Apa aku hanya memanfaatkanmu saja? Apa kamu hanyalah tempatku membuang semua keluhku?


Setahun tidak berjumpa, sekarang aku tahu alasannya.
Aku terbiasa denganmu.
Aku terbiasa mencari namamu di kontakku untuk sekadar bercerita hal-hal kecil yang membuatku tertawa atau kesal.
Aku terbiasa oleh belaian tanganmu ketika aku menangis.
Aku terbiasa mendengar candamu hampir setiap hari.
Aku terlalu terbiasa sehingga aku lupa—bahwa aku nyaman.
Aku terlalu nyaman sehingga aku lupa—apakah ini yang dinamakan cinta.
Aku terlalu cinta sehingga ...
Sehingga aku tidak pernah memikirkan hal lain selain kamu selalu berada di dekatku.
Aku tidak pernah berpikir akan kehilangan. Aku tidak pernah merasa cemburu. Aku tidak pernah ingin menjadi pacarmu.
Kenapa?
Karena kita sudah terbiasa bersama untuk waktu yang cukup lama—tanpa membuat komitmen apa pun—tanpa harus menjadi sepasang kekasih—seperti yang orang lain lakukan.



-Fitri Fazrika Sari-