Kalimat di atas udah sangat mewakilkan problematika kehidupan sebagai seorang remaja ya? Kita dituntut untuk menjadi "dewasa", tapi ketika kita mulai "bersuara", suara kita dianggap belum pantas untuk didengar. That's not fair. Aku rasa, umur gak menentukan sikap seseorang. Banyak kok aku temui anak-anak yang umurnya masih belasan tahun dengan pola pikir yang kritis dan logis. Hm, jadi aku mau sedikit flashback tentang beberapa hal yang aku alamin ketika menjadi seorang remaja.
So, I'll start with some problems that I had since I was at early 6th grade on elementary school.
PUBERTY
Aku ingat banget, dulu, waktu duduk di kelas 5 dan 6 SD, teman-temanku mulai dapat menstruasi pertama mereka. Nah, di sekolahku dulu, kita pake rok warna putih setiap hari Rabu-Kamis, which is totally awful for those who got their first menstruation AT SCHOOL. Iya, pas lagi di sekolah! Haha, aku masih ingat beberapa orangtua yang jemput anaknya di sekolah karena mereka dapat mens mendadak. It's totally cute and weird.
Problem lainnya menjelang pubertas adalah mulai tumbuhnya payudara. Asal kalian tau aja ya, peristiwa itu tuh lumayan menyiksa loh hahaha. Kalo lagi main basket, ada aja yang nangis karena itunya kepentok bola. Kalo lagi main dorong-dorongan, ada aja yang nangis karena itunya kesenggol. Kalo lagi duduk di meja, ada aja yang nangis karena itunya nabrak meja. Duh, aku ingat banget, kelas 6 SD banyak banget yang nangis karena "itu".
As we know, cewek itu duluan pubernya daripada cowok. Jadi, pas SD, ada beberapa temanku yang gak pede karena mereka lebih tinggi dari anak cowok. Pokoknya, jaman SD itu ngeliat cowok gak ada yang sip lah. Suaranya cempreng, badannya cungkring, apalagi sikapnya, duh nyebelin banget deh.
Kelas 6 SD juga pertama kalinya kita belajar materi tentang reproduksi (gak tau deh kalau kurikulum yang sekarang itu gimana). Rasanya, geli-geli gimanaa gitu. Anak cowok dan anak cewek pada dipisah, masing-masing dikasi materi tentang reproduksi. Pas gabung lagi di satu kelas yang sama, kita cuma saling haha-hihi gak jelas sama teman. Yah, materi reproduksi benar-benar hal yang tabu buat aku saat itu.
LOVE LIFE
Cinta? Wah, cinta itu udah jadi perjalanan pasti dalam hidup seseorang. Tapi, gimana dengan "cinta" ala remaja labil seperti kami ya?
So, aku mulai suka-sukaan sejak SD. Ada cowok yang aku suka, kita kenal dari TK. Kemudian masuk di kelas yang sama di kelas 3 (sebenarnya aku lupa, apa aku pernah sekelas sama dia atau nggak. Hehe maaf ...). Nah, katanya, katanya sih ya, dia "suka" sama aku sejak TK! Nah loh. Kita mulai surat-suratan di kelas 4 atau 5 SD gitu, aku lupa tepatnya kapan. Jadi aku beli kertas surat warna pink gitu di warung sebelah rumah, lalu aku tulis deh. Besoknya, aku titip lewat temanku. Beberapa hari kemudian dia nitip balasannya ke temanku. Berlanjut gitu terus, aku lupa isinya tentang apa aja, juga berhenti surat-suratan sejak kapan. Yang aku ingat, aku berusaha nulis sebagus mungkin di surat itu. Hehehe klasik banget yah.
Suka-sukaan aku berlanjut di bangku SMP. Nah, ini pertama kalinya aku mengenal status "pacaran". Teman-temanku juga udah mulai mengenal kata selingkuh, setia, brengsek, perusak hubungan orang, pengagum rahasia, dan lain-lain. Ah iya, ketika SMP, teman yang saling naksir udah mulai jalan bareng. Kebanyakan gak cuma berduaan sih, tapi lumayan bikin berdebar deh. Waktu SMP, kita juga mulai mengenal yang namanya SMS-an, chatting lewat facebook, dan telponan sampai larut malam. Ah! Dan jangan pernah lupakan status hubungan di facebook. Kalau baru jadian ditulis tanggalnya, kalau putus juga ada pemberitahuannya. Memalukan =))
Masuk ke bangku SMA, "pacaran" ternyata gak sesederhana itu. Banyak hal lain yang dipertimbangkan. Misalnya, apa dia cukup keren buat aku pamerin di depan teman-teman, apa sahabatku suka sama dia atau nggak, apa dia mantannya temanku atau nggak, apa dia masih sayang sama mantannya, dan terlalu banyak pertanyaan lain sebelum kita memutuskan untuk pacaran. Makin kesini, aku menyadari bahwa menjalin suatu hubungan itu rumit. Nah, I've got my darkest nightmare of love ketika SMA. Rasanya patah hati, dikhianatin, diduain, semuanya tuh jauh kerasa lebih berat dan menyakitkan.
FASHION
Siapa bilang kalau milih baju itu gampang? Salah! Milih baju, khususnya buat aku sebagai cewek, itu susah banget. Di umur nanggung kayak gini, ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan realita.
Aku mulai susah nyari baju itu, sekitar kelas 5 SD sampai awal SMP. Model yang aku suka, ukurannya udah gak cukup lagi atau ngegantung. Ukurannya cukup, eh aku ngerasa sama sekali gak cocok sama modelnya. Aku masih suka baju pink motif bunga dan harus ada kupu-kupunya. Sementara, baju yang cukup dengan badanku itu, kaos simpel bertuliskan kata-kata dalam bahasa inggris yang waktu itu sangat norak menurutku.
Masuk ke bangku akhir di masa SMA, aku masih suka baju-baju yang colorful yet ala-ala princess gitu. Ya, maksudnya, simple dress dengan potongan yang lucu masih jadi selera aku saat ini. Tapi, Mama nyuruh aku mulai beli baju yang semi formal, katanya nabung buat baju saat kuliah. Bajunya harus berkancing lah, kemeja lah, celana kain lah, ah, sampai saat ini aku masih serba salah kalau milih baju.
ATTITUDE
Coba sekali-sekali bantu beresin rumah, kan udah gede!
Pilih sendiri dong, kan udah gede!
Kok belum pulang? Ini udah malam, kamu tuh masih kecil udah kelayapan!
Jangan bawa motor, kamu tuh masih kecil!
Dan sederet kalimat klasik turun-menurun yang sering kita dengar sebagai seorang anak di rumah. Ya, sebenarnya gak ada yang salah dengan kalimat-kalimat di atas. Aku gak tau, apa ini perasaan aku sendiri atau kalian juga pernah ngerasain, bertanya-tanya sama diri sendiri. Jadi aku ini udah "besar" atau belum sih?
Kita diminta untuk berani menyampaikan pendapat. Sekalinya ngomong, lah dibilang sok tau padahal masih kecil.
Kita diminta untuk menunjukkan sosok yang bisa dicontoh dengan baik oleh orang lain. Sekalinya berhenti pas lagi lampu merah, lah diklakson sama mobil belakang, dibilang sok patuh sama aturan.
Kita diminta untuk jangan lebay kalau lagi ada masalah. Galau-galau di sosmed lah, ngobat lah, ini lah, itu lah, tapi untuk sekadar minta waktu orangtua atau guru BK aja susah.
Empat hal di atas menggambarkan segelintir poin utama masalah yang aku--juga mereka--rasakan tentang menjadi seorang remaja. Actually, I haven't finished my life as a teenager. Yea, I'm still 18. Mungkin ada beberapa hal yang akan berubah ketika aku baca kembali tulisan ini di umur 25an keatas. Mungkin, sudut pandang yang saat ini aku lihat ada yang belum cukup pantas untuk dikemukakan. Yang aku tau, aku bersyukur dan cukup puas dengan hidup sebagai seorang remaja labil yang besar di area 90an. You know, nowadays, our moral is decreasing gradually as the globalization effect. Tapi aku yakin, masih banyak remaja Indonesia yang peduli terhadap generasi di bawahnya, yang punya pikiran kritis untuk membangun negara, juga akan menjadi penerus bangsa yang hebat.
Salam anak 90an! :D
-Fitri Fazrika Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar