Kamis, 06 Agustus 2015

Sekarang Cinta itu Udah Pergi

“Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“Hmm…apa?”
“Kamu udah punya pacar?”
“Belum sih. Kamu?”
“Hehe, sama.”
“Kenapa belum punya pacar lagi?”
“Maunya aku jawab jujur apa bohong?”
“Ih apaan sih. Yang jujur lah” kataku sambil tertawa renyah. Aku mengedarkan pandangan ke wajahnya. Sejenak mulut itu terkunci—seakan sedang menyusun kalimat untuk diungkapkan.
“Soalnya aku masih sayang sama kamu, Fit.”
Aku diam. Mataku beradu dengan matanya selama beberapa detik. Dengan cepat ia menunduk, begitupun aku.
“Ooh gitu…” hanya itu yang terucap dari mulutku.
“Kalau kamu, kenapa belum pacaran lagi?”
“Hmm, belum ketemu yang cocok aja.”
“Ooh, gitu…”

Aku masih ingat dengan jelas percakapan kita malam itu. Kita bertemu lagi sekitar kurang dari setengah tahun kemudian, di warung bakmi, sekitar jam 10 atau 11 malam, tepatnya aku lupa. Aku tidak menyangka, aku bisa jadi alasan seseorang untuk menyayangi sebegitu lamanya. Aku juga tidak menyangka, rasa sayang bisa datang secepat itu—juga hilang secepat itu.


Dimulai dari hari itu.
Aku menerima ajakanmu untuk berpacaran, hanya selang dua minggu setelah hubunganku kandas dengan seseorang. Awalnya aku tidak menyangka kita akan melangkah sejauh ini, sedekat ini, juga sedalam ini. Awalnya aku tidak menyangka, tetap menerimamu sebagai pacar meski di bulan kedua kamu ketahuan menyembunyikan sesuatu yang aku tidak suka. Awalnya aku tidak menyangka, aku bisa jatuh cinta seserius ini sama kamu.

Kita jalan tanpa ada paksaan juga larangan. Kamu bisa menikmati dunia dengan teman-teman baikmu—begitupun aku. Kamu membuat aku berpikir lebih dewasa.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ngabarin tiap jamnya. Kamu buat aku yakin, apapun yang sedang kamu lakukan di sana, kamu akan selalu ingat sama aku.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ketemu tiap harinya. Rasanya lucu, ngerasain LDR padahal ada di kota yang sama. Rasanya lucu, ketika cuma ada skype yang bisa nemuin muka kamu sama aku. Baik hp kamu atau aku, isi galerinya sama: hasil capture-an skype kita atau foto-foto aneh yang kita kirim kalau lagi chatting.
Kamu buat aku percaya, kalau hubungan itu bukan alasan untuk melampiaskan nafsu. Mau pulang selarut apapun, aku yakin kamu gak perlu ngelakuin “modus basi” buat ngelindungin aku. Aku kagum ketika kamu selalu ingat ibu kamu—seseorang yang buat kamu begitu menjunjung tinggi keberadaan aku.


Ah iya, kamu juga yang buat aku percaya kalau cinta mudah datang dan pergi.

Semuanya berakhir di hari itu.
Aku melihat sisi lain dari kamu yang sayangnya sulit aku terima. Sisi yang aku ketahui dua bulan setelah kita berpacaran. Sisi yang baru aku lihat langsung enam bulan kemudian. Anggap saja aku egois, gak bisa nerima kamu apa adanya.

But, somehow, I need something more than just love. I called it tenet. Didn’t you realize it from the first day we met?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar