“Aku
boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“Hmm…apa?”
“Kamu
udah punya pacar?”
“Belum
sih. Kamu?”
“Hehe,
sama.”
“Kenapa
belum punya pacar lagi?”
“Maunya
aku jawab jujur apa bohong?”
“Ih
apaan sih. Yang jujur lah” kataku sambil tertawa renyah. Aku mengedarkan
pandangan ke wajahnya. Sejenak mulut itu terkunci—seakan sedang menyusun
kalimat untuk diungkapkan.
“Soalnya
aku masih sayang sama kamu, Fit.”
Aku
diam. Mataku beradu dengan matanya selama beberapa detik. Dengan cepat ia
menunduk, begitupun aku.
“Ooh
gitu…” hanya itu yang terucap dari mulutku.
“Kalau
kamu, kenapa belum pacaran lagi?”
“Hmm,
belum ketemu yang cocok aja.”
“Ooh,
gitu…”
Aku
masih ingat dengan jelas percakapan kita malam itu. Kita bertemu lagi sekitar
kurang dari setengah tahun kemudian, di warung bakmi, sekitar jam 10 atau 11
malam, tepatnya aku lupa. Aku tidak menyangka, aku bisa jadi alasan seseorang
untuk menyayangi sebegitu lamanya. Aku juga tidak menyangka, rasa sayang bisa
datang secepat itu—juga hilang secepat itu.
Dimulai
dari hari itu.
Aku
menerima ajakanmu untuk berpacaran, hanya selang dua minggu setelah hubunganku
kandas dengan seseorang. Awalnya aku tidak menyangka kita akan melangkah sejauh
ini, sedekat ini, juga sedalam ini. Awalnya aku tidak menyangka, tetap
menerimamu sebagai pacar meski di bulan kedua kamu ketahuan menyembunyikan
sesuatu yang aku tidak suka. Awalnya aku tidak menyangka, aku bisa jatuh cinta seserius
ini sama kamu.
Kita
jalan tanpa ada paksaan juga larangan. Kamu bisa menikmati dunia dengan
teman-teman baikmu—begitupun aku. Kamu membuat aku berpikir lebih dewasa.
Kamu
buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ngabarin tiap jamnya. Kamu
buat aku yakin, apapun yang sedang kamu lakukan di sana, kamu akan selalu ingat
sama aku.
Kamu
buat aku percaya, kalau hubungan itu gak harus selalu ketemu tiap harinya. Rasanya
lucu, ngerasain LDR padahal ada di kota yang sama. Rasanya lucu, ketika cuma
ada skype yang bisa nemuin muka kamu sama aku. Baik hp kamu atau aku, isi
galerinya sama: hasil capture-an
skype kita atau foto-foto aneh yang kita kirim kalau lagi chatting.
Kamu
buat aku percaya, kalau hubungan itu bukan alasan untuk melampiaskan nafsu. Mau
pulang selarut apapun, aku yakin kamu gak perlu ngelakuin “modus basi” buat
ngelindungin aku. Aku kagum ketika kamu selalu ingat ibu kamu—seseorang yang
buat kamu begitu menjunjung tinggi keberadaan aku.
Ah
iya, kamu juga yang buat aku percaya kalau cinta mudah datang dan pergi.
Semuanya
berakhir di hari itu.
Aku
melihat sisi lain dari kamu yang sayangnya sulit aku terima. Sisi yang aku
ketahui dua bulan setelah kita berpacaran. Sisi yang baru aku lihat langsung
enam bulan kemudian. Anggap saja aku egois, gak bisa nerima kamu apa adanya.
But, somehow, I need something more
than just love. I called it tenet. Didn’t you realize it from the first day we
met?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar