Aku sedang tenggelam bersama
kumpulan buku-buku usang ketika aroma vanila tercium samar dalam sepersekian
detik. Aku mengangkat wajah, berusaha mencari siapa pemilik aroma tersebut. Ah,
ternyata dia. Dia dengan rambut panjangnya yang sedikit basah dan buku tebal
milik Dale Carnegie di tangan kirinya. Tatapannya lurus, namun aku melihat
sedikit senyum dari sudut pipinya.
Mungkin
saja dia bosan atau lelah berdiri selama hampir setengah jam. Aku melirik ujung
kakinya yang perlahan meninggalkan tempat. Sambil terus menunduk, aku mengikuti
arah ke mana ia akan membawa kakinya pergi. Tek.
Kaki itu berhenti tepat di sampingku. Tidak, tidak, bukan tepat di sampingku. Lebih
tepatnya, tepat di sisi lain dari rak buku yang sedang aku jadikan tempat
bersender. Rak buku yang tidak terlalu penuh membuatku dapat melihat kakinya
dengan jelas, namun tak cukup membuatku melihat wajahnya dengan jelas pula.
Takut.
Anggap saja aku pengecut. Bahkan aku hanya perlu sedikit mendongakkan kepalaku
untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dengan jarak sedekat ini, tentu saja
aku akan bisa melihat apa warna matanya, bagaimana bentuk bibirnya, dan judul
buku apa yang kini dibacanya. Sayang, rasa takutku terlalu besar. Untuk melihat
ujung sepatunya saja, aku sangat berhati-hati menurunkan sedikit buku yang
sedang ku pegang. Apalagi untuk melihat wajahnya?
Kami
terpisah oleh ribuan inspirasi, ratusan buku, dan puluhan pengarang yang hanya
berderet di satu rak panjang. Sepatu kami berjarak kurang dari satu meter
antara satu dan lainnya. Sangat dekat, memang. Namun, aku bahkan tidak tahu
bagaimana cara untuk memulai percakapan denganmu. Dalam jarak satu tembok, aku
sadar sepenuhnya bahwa aku mulai mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar