Senin, 07 Desember 2015

Jarak Satu Tembok

Aku sedang tenggelam bersama kumpulan buku-buku usang ketika aroma vanila tercium samar dalam sepersekian detik. Aku mengangkat wajah, berusaha mencari siapa pemilik aroma tersebut. Ah, ternyata dia. Dia dengan rambut panjangnya yang sedikit basah dan buku tebal milik Dale Carnegie di tangan kirinya. Tatapannya lurus, namun aku melihat sedikit senyum dari sudut pipinya.

Mungkin saja dia bosan atau lelah berdiri selama hampir setengah jam. Aku melirik ujung kakinya yang perlahan meninggalkan tempat. Sambil terus menunduk, aku mengikuti arah ke mana ia akan membawa kakinya pergi. Tek. Kaki itu berhenti tepat di sampingku. Tidak, tidak, bukan tepat di sampingku. Lebih tepatnya, tepat di sisi lain dari rak buku yang sedang aku jadikan tempat bersender. Rak buku yang tidak terlalu penuh membuatku dapat melihat kakinya dengan jelas, namun tak cukup membuatku melihat wajahnya dengan jelas pula.

Takut. Anggap saja aku pengecut. Bahkan aku hanya perlu sedikit mendongakkan kepalaku untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dengan jarak sedekat ini, tentu saja aku akan bisa melihat apa warna matanya, bagaimana bentuk bibirnya, dan judul buku apa yang kini dibacanya. Sayang, rasa takutku terlalu besar. Untuk melihat ujung sepatunya saja, aku sangat berhati-hati menurunkan sedikit buku yang sedang ku pegang. Apalagi untuk melihat wajahnya?

Kami terpisah oleh ribuan inspirasi, ratusan buku, dan puluhan pengarang yang hanya berderet di satu rak panjang. Sepatu kami berjarak kurang dari satu meter antara satu dan lainnya. Sangat dekat, memang. Namun, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk memulai percakapan denganmu. Dalam jarak satu tembok, aku sadar sepenuhnya bahwa aku mulai mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar