Jumat, 12 Juni 2015

Terlalu Biasa atau Terbiasa?

Aku merindu, pada seseorang di kota lain yang sedang berjuang menyelesaikan studinya. Aku lihat, ia berusaha keras mendapatkan nilai yang baik di kampusnya. Ah, sungguh berbeda dengan ia yang aku kenal tiga tahun yang lalu. Ia yang aku kenal adalah ia yang lebih mementingkan kegiatan lain, apapun itu selain pelajaran sekolah. Ia yang saat ini aku lihat adalah ia yang telah beranjak dewasa. Jodoh dan karir sudah merasuki pikirannya. Sekarang ia juga lebih giat mencari uang tambahan—hal yang membuatku kagum.


Aku mengenalnya tiga tahun lalu. Saat itu, aku menganggapnya tidak lain sebagai teman sekolah biasa. Aku tidak menyangka, perkenalan itu berhasil membuatku begitu mengingatnya hingga saat ini. Aku tidak menyangka, ia adalah orang yang mengisi hampir sebagian masa akhir sekolahku. Aku tidak percaya akan suatu "kebetulan". Aku percaya, ia memang ditakdirkan untuk bertemu denganku, untuk membantuku menghadapi masa-masa di mana aku menjadi seseorang yang lemah, bodoh, juga tidak berguna. Sayang, begitu banyak hal baik yang ia lakukan sehingga aku lupa. Aku lupa untuk berterima kasih. Aku lupa untuk memberinya warna-warni kehidupan seperti yang selalu ia lakukan untukku. Aku hanya memberinya warna abu-abu—samar, tidak jelas, antara ada dan tiada.


Ia mengajarkanku untuk berbahagia, tapi ia lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Ia mengajarkanku untuk melepas seseorang yang tidak pantas aku tangisi, tapi ia tidak melepasku—orang yang seharusnya dari dulu ia tinggalkan.
Aku sibuk mencarinya ketika sedih, tapi aku tidak pernah bertanya—apakah ia bahagia?
Aku menyalahkannya ketika ia menghajar orang yang aku kasihi—tanpa bertanya, apa yang ia perbuat kepadamu? Kenapa kamu marah?
Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
Aku bahkan tidak pernah memikirkan perasaanmu sedikitpun.
Begitu bodohnya sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kamu begitu menyayangiku kala itu.


Mudah saja untukmu mencampakkkan diriku kala itu. Aku yang tidak pernah menghargai segala tentangmu. Aku yang tidak pernah menaruh perasaanku sedikitpun untukmu—hal yang dapat membuatmu bahagia kala itu.
Maaf, aku bukan seseorang yang pantas untuk diperjuangkan.
Maaf, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Maaf, aku terlambat menyadari bahwa aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan waktumu lebih dari sekadar saat-saat sedih. Aku membutuhkan pelukanmu lebih dari sekadar saat ku menangis. Aku, aku tidak tahu mengapa aku membutuhkanmu. Apa karena kamu adalah orang pertama yang selalu ada di saat aku terpuruk? Apa karena kamu adalah orang yang begitu mengerti segala hal yang membuatku senang dan sedih? Apa karena aku tidak bisa menemukan orang lain yang bisa memahami semua keluh kesahku selain kamu?


Jadi, mengapa sekarang aku merindu?
Apakah karena aku membutuhkanmu?
Mengapa aku membutuhkanmu—sementara aku tidak pernah memikirkanmu?
Apa aku jahat? Apa aku hanya memanfaatkanmu saja? Apa kamu hanyalah tempatku membuang semua keluhku?


Setahun tidak berjumpa, sekarang aku tahu alasannya.
Aku terbiasa denganmu.
Aku terbiasa mencari namamu di kontakku untuk sekadar bercerita hal-hal kecil yang membuatku tertawa atau kesal.
Aku terbiasa oleh belaian tanganmu ketika aku menangis.
Aku terbiasa mendengar candamu hampir setiap hari.
Aku terlalu terbiasa sehingga aku lupa—bahwa aku nyaman.
Aku terlalu nyaman sehingga aku lupa—apakah ini yang dinamakan cinta.
Aku terlalu cinta sehingga ...
Sehingga aku tidak pernah memikirkan hal lain selain kamu selalu berada di dekatku.
Aku tidak pernah berpikir akan kehilangan. Aku tidak pernah merasa cemburu. Aku tidak pernah ingin menjadi pacarmu.
Kenapa?
Karena kita sudah terbiasa bersama untuk waktu yang cukup lama—tanpa membuat komitmen apa pun—tanpa harus menjadi sepasang kekasih—seperti yang orang lain lakukan.



-Fitri Fazrika Sari-

2 komentar: