Aku
merindu, pada seseorang di kota lain yang sedang berjuang menyelesaikan
studinya. Aku lihat, ia berusaha keras mendapatkan nilai yang baik di
kampusnya. Ah, sungguh berbeda dengan ia yang aku kenal tiga tahun yang lalu.
Ia yang aku kenal adalah ia yang lebih mementingkan kegiatan lain, apapun itu
selain pelajaran sekolah. Ia yang saat ini aku lihat adalah ia yang telah
beranjak dewasa. Jodoh dan karir sudah merasuki pikirannya. Sekarang ia juga
lebih giat mencari uang tambahan—hal yang membuatku kagum.
Aku
mengenalnya tiga tahun lalu. Saat itu, aku menganggapnya tidak lain sebagai
teman sekolah biasa. Aku tidak menyangka, perkenalan itu berhasil membuatku
begitu mengingatnya hingga saat ini. Aku tidak menyangka, ia adalah orang yang
mengisi hampir sebagian masa akhir sekolahku. Aku tidak percaya akan suatu
"kebetulan". Aku percaya, ia memang ditakdirkan untuk bertemu
denganku, untuk membantuku menghadapi masa-masa di mana aku menjadi seseorang
yang lemah, bodoh, juga tidak berguna. Sayang, begitu banyak hal baik yang ia
lakukan sehingga aku lupa. Aku lupa untuk berterima kasih. Aku lupa untuk
memberinya warna-warni kehidupan seperti yang selalu ia lakukan untukku. Aku
hanya memberinya warna abu-abu—samar, tidak jelas, antara ada dan tiada.
Ia
mengajarkanku untuk berbahagia, tapi ia lupa untuk membahagiakan dirinya
sendiri.
Ia
mengajarkanku untuk melepas seseorang yang tidak pantas aku tangisi, tapi ia
tidak melepasku—orang yang seharusnya dari dulu ia tinggalkan.
Aku
sibuk mencarinya ketika sedih, tapi aku tidak pernah bertanya—apakah ia
bahagia?
Aku
menyalahkannya ketika ia menghajar orang yang aku kasihi—tanpa bertanya, apa
yang ia perbuat kepadamu? Kenapa kamu marah?
Aku
tidak pernah memikirkan hal itu.
Aku
bahkan tidak pernah memikirkan perasaanmu sedikitpun.
Begitu
bodohnya sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kamu begitu menyayangiku kala
itu.
Mudah
saja untukmu mencampakkkan diriku kala itu. Aku yang tidak pernah menghargai
segala tentangmu. Aku yang tidak pernah menaruh perasaanku sedikitpun
untukmu—hal yang dapat membuatmu bahagia kala itu.
Maaf,
aku bukan seseorang yang pantas untuk diperjuangkan.
Maaf,
aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Maaf,
aku terlambat menyadari bahwa aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan waktumu lebih
dari sekadar saat-saat sedih. Aku membutuhkan pelukanmu lebih dari sekadar saat
ku menangis. Aku, aku tidak tahu mengapa aku membutuhkanmu. Apa karena kamu
adalah orang pertama yang selalu ada di saat aku terpuruk? Apa karena kamu
adalah orang yang begitu mengerti segala hal yang membuatku senang dan sedih?
Apa karena aku tidak bisa menemukan orang lain yang bisa memahami semua keluh
kesahku selain kamu?
Jadi,
mengapa sekarang aku merindu?
Apakah
karena aku membutuhkanmu?
Mengapa
aku membutuhkanmu—sementara aku tidak pernah memikirkanmu?
Apa
aku jahat? Apa aku hanya memanfaatkanmu saja? Apa kamu hanyalah tempatku
membuang semua keluhku?
Setahun
tidak berjumpa, sekarang aku tahu alasannya.
Aku
terbiasa denganmu.
Aku
terbiasa mencari namamu di kontakku untuk sekadar bercerita hal-hal kecil yang
membuatku tertawa atau kesal.
Aku
terbiasa oleh belaian tanganmu ketika aku menangis.
Aku
terbiasa mendengar candamu hampir setiap hari.
Aku
terlalu terbiasa sehingga aku lupa—bahwa aku nyaman.
Aku
terlalu nyaman sehingga aku lupa—apakah ini yang dinamakan cinta.
Aku
terlalu cinta sehingga ...
Sehingga
aku tidak pernah memikirkan hal lain selain kamu selalu berada di dekatku.
Aku
tidak pernah berpikir akan kehilangan. Aku tidak pernah merasa cemburu. Aku
tidak pernah ingin menjadi pacarmu.
Kenapa?
Karena
kita sudah terbiasa bersama untuk waktu yang cukup lama—tanpa membuat komitmen
apa pun—tanpa harus menjadi sepasang kekasih—seperti yang orang lain lakukan.
-Fitri Fazrika Sari-
Ouch :v
BalasHapusHAHAHA siapa nih? =))
BalasHapus