Minggu, 07 Juni 2015

Dia

Aku sedang memandang hamparan langit Bandung di kala malam ketika sesuatu menyeruak di kepalaku.
Entah kenapa, langit mengingatkanku pada warna rambutmu. Rambut yang selalu aku acak ketika kamu selesai bermain basket, olahraga favoritmu. Rambut itu terasa sedikit basah, campuran minyak dan guyuran air di kepalanya—kebiasaan yang tidak pernah absen ketika ia sedang berolahraga.

Aku tersenyum, masih mengulang memoriku tentang rambutnya.
Ketika rambutnya mulai berantakan, kami akan selalu bertengkar. Ia menyukai rambut gondrongnya, sementara aku sebaliknya. Berhari-hari kami akan selalu membicarakan hal tersebut, sampai akhirnya ia mau potong rambut—dengan syarat aku harus menemaninya. Kami akan pergi ke tukang cukur langganannya di ujung jalan yang sempit itu. Aku akan duduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Kemudian ia akan menyambut pandanganku dengan tatapan mengejek, begitu seterusnya sampai ia selesai dicukur. Aku akan menertawakan potongan rambutnya di sepanjang jalan pulang. Entah sudah berapa kali aku menemaninya potong rambut, tapi tetap saja, melihat wajahnya yang kesal karena tidak jadi gondrong selalu membuatku tertawa.

Ah, wajah. Wajah itu juga menyimpan banyak memori yang tak pernah luput dari ingatanku.
Aku suka alisnya yang tebal, membuat matanya yang sipit terlihat lebih hidup. Aku memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa warna matanya. Ah, coklat! Tidak terlalu coklat, tapi cukup membuat matanya sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Hidungnya mancung. Ia punya kumis tipis, hal yang membuatku geli ketika ia mencium pipiku. Dan bibirnya, ah. Aku kembali memejamkan mata, mengerutkan kedua alis, kemudian mengehembuskan nafas lewat mulut. Ia adalah bibir yang membuatku tenggelam jauh dalam fantasi. Bibirnya tipis, sedikit merona karena ia bukan perokok. Aku sangat menyukai setiap saat bibir itu mendarat di wajahku. Bibir itu mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih aku percayai: ia mencintaiku, selalu dan selamanya.

Aku masih memandang langit, membayangkan ia seutuhnya.
Kepalaku selalu berada tepat di dadanya ketika aku berdiri. Kepalaku selalu tepat bersender di bahunya ketika kami sedang duduk. Hal itu membuatku nyaman. Aku selalu merasa ia memelukku pada posisi yang pas. Posisi yang membuatku merasa aman dan terlindungi.

Aku masih ingat caranya tertawa, menampakkan sedikit deretan giginya dengan garis mata yang seakan hilang dalam sekejap.
Aku masih ingat caranya makan. Ia selalu cermat mengecek piringnya sebelum makan. Ya, ia termasuk cukup pemilih. Aku akan menunggunya menyisihkan daun bawang ke pinggir piringnya. Setelah selesai, ia akan mulai memakannya. Ia akan kembali meletakkan sendoknya ketika daun bawang masih terselip di antara bulir-bulir nasinya. Kadang aku menyelipkan beberapa daun bawang ketika aku menyuapinya. Ia tidak pernah protes—sampai ia melihat sendiri ada daun bawang yang aku campur di dalam nasinya. Ia akan mengomel seperti anak kecil, hal yang selalu membuatku gemas.

Sesuatu kembali menyeruak di pikiranku.
Ah, aku juga masih ingat ketika ia menarikku ke luar gedung olahraga—tempat di mana sekolah kami sedang bertanding futsal kala itu. Tidak ada senyum manis. Bahkan ia melepaskan tanganku ketika kami berada di pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang, ia tampak terburu-buru. Aku baru saja ingin menanyakan sesuatu ketika ia berkata,
"Aku mau kita putus."


-Fitri Fazrika Sari-

1 komentar:

  1. Mau cepet move on?
    Inget perbuatan buruk org itu
    Perbaiki diri biar tidak mengulangi kesalahan yg sama

    BalasHapus