Aku
sedang memandang hamparan langit Bandung di kala malam ketika sesuatu menyeruak
di kepalaku.
Entah
kenapa, langit mengingatkanku pada warna rambutmu. Rambut yang selalu aku acak
ketika kamu selesai bermain basket, olahraga favoritmu. Rambut itu terasa
sedikit basah, campuran minyak dan guyuran air di kepalanya—kebiasaan yang
tidak pernah absen ketika ia sedang berolahraga.
Aku
tersenyum, masih mengulang memoriku tentang rambutnya.
Ketika
rambutnya mulai berantakan, kami akan selalu bertengkar. Ia menyukai rambut
gondrongnya, sementara aku sebaliknya. Berhari-hari kami akan selalu
membicarakan hal tersebut, sampai akhirnya ia mau potong rambut—dengan syarat
aku harus menemaninya. Kami akan pergi ke tukang cukur langganannya di ujung
jalan yang sempit itu. Aku akan duduk sambil sesekali mencuri pandang ke
arahnya. Kemudian ia akan menyambut pandanganku dengan tatapan mengejek, begitu
seterusnya sampai ia selesai dicukur. Aku akan menertawakan potongan rambutnya
di sepanjang jalan pulang. Entah sudah berapa kali aku menemaninya potong
rambut, tapi tetap saja, melihat wajahnya yang kesal karena tidak jadi gondrong
selalu membuatku tertawa.
Ah,
wajah. Wajah itu juga menyimpan banyak memori yang tak pernah luput dari
ingatanku.
Aku
suka alisnya yang tebal, membuat matanya yang sipit terlihat lebih hidup. Aku
memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa warna matanya. Ah, coklat! Tidak
terlalu coklat, tapi cukup membuat matanya sedikit berbeda dari orang
kebanyakan. Hidungnya mancung. Ia punya kumis tipis, hal yang membuatku geli
ketika ia mencium pipiku. Dan bibirnya, ah. Aku kembali memejamkan mata,
mengerutkan kedua alis, kemudian mengehembuskan nafas lewat mulut. Ia adalah
bibir yang membuatku tenggelam jauh dalam fantasi. Bibirnya tipis, sedikit
merona karena ia bukan perokok. Aku sangat menyukai setiap saat bibir itu
mendarat di wajahku. Bibir itu mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih
aku percayai: ia mencintaiku, selalu dan selamanya.
Aku
masih memandang langit, membayangkan ia seutuhnya.
Kepalaku
selalu berada tepat di dadanya ketika aku berdiri. Kepalaku selalu tepat
bersender di bahunya ketika kami sedang duduk. Hal itu membuatku nyaman. Aku
selalu merasa ia memelukku pada posisi yang pas. Posisi yang membuatku merasa
aman dan terlindungi.
Aku
masih ingat caranya tertawa, menampakkan sedikit deretan giginya dengan garis
mata yang seakan hilang dalam sekejap.
Aku
masih ingat caranya makan. Ia selalu cermat mengecek piringnya sebelum makan.
Ya, ia termasuk cukup pemilih. Aku akan menunggunya menyisihkan daun bawang ke
pinggir piringnya. Setelah selesai, ia akan mulai memakannya. Ia akan kembali
meletakkan sendoknya ketika daun bawang masih terselip di antara bulir-bulir
nasinya. Kadang aku menyelipkan beberapa daun bawang ketika aku menyuapinya. Ia
tidak pernah protes—sampai ia melihat sendiri ada daun bawang yang aku campur
di dalam nasinya. Ia akan mengomel seperti anak kecil, hal yang selalu
membuatku gemas.
Sesuatu
kembali menyeruak di pikiranku.
Ah,
aku juga masih ingat ketika ia menarikku ke luar gedung olahraga—tempat di mana
sekolah kami sedang bertanding futsal kala itu. Tidak ada senyum manis. Bahkan
ia melepaskan tanganku ketika kami berada di pintu keluar. Aku mengikutinya
dari belakang, ia tampak terburu-buru. Aku baru saja ingin menanyakan sesuatu
ketika ia berkata,
"Aku
mau kita putus."
-Fitri Fazrika Sari-
Mau cepet move on?
BalasHapusInget perbuatan buruk org itu
Perbaiki diri biar tidak mengulangi kesalahan yg sama