Seperti biasa, Minggu sore adalah jadwal
kami berkumpul. Sore ini kami menghabiskan waktu di belakang rumahku. Marco
membawa beberapa kaleng kue, oleh-oleh dari mamanya. Yummy!
"Jadi, mau ngapain nih hari ini? Please jangan ada yang kerjain tugas, gue
lagi mumet!" Anya berteriak sambil menggulingkan badannya di rumput—kebiasaan
yang selalu membuat kami gemas.
"Tenang
aja, gue juga kok. Gimana kalo kita main aja?"
"Emang
lo mau main apa Co, udah mau sore gini."
"Truth
or dare! Gimana, asyik
gak?" Deg. Dadaku berdegup sangat kencang. Duh, pertanda apa ya? Kenapa
aku merasa ada pertanda buruk yang akan terjadi?
"Ta!
Lo kenapa diem? Main yuk!" Suara Anya mengagetkanku.
"Ah!
I...iya" Jawabku sambil tersenyum.
***
Sore ini
Marco mengajak kami bermain. Aku melihatnya melamun. Hm, ada apa ya? Segera
kutepis pandanganku ke arahnya. Gawat kalau ketahuan!
"Okay,
karena gue yang ngusulin, jadi gue yang nanya duluan ya." Marco berkata
dengan tatapan usilnya. Hih, aku tau, ia pasti akan mengerjaiku.
"Yak,
Alif, truth or dare?!"
Nah, benar kan.
"Hmm aku pilih tantangan deh, namanya
juga cowok sejati ..." HUUU, teriakan dari anak perempuan tepat membahana
di kupingku. Duh, aku sayang mereka!
"Tantangannya...lo
nyebur sana berenang sama ikan!" SIAL, jeritku.
Tawa
meledak ketika aku mulai “nyebur”
di kolam ikan Lita yang cukup besar itu. Kalau bukan karena gengsi, gak akan aku mau! Tapi, melihat gelak tawa teman-temanku, aku cukup merasa senang. Ah, apalagi melihat dia tertawa. Aku makin semangat memutari kolam, demi membuatnya tertawa.
di kolam ikan Lita yang cukup besar itu. Kalau bukan karena gengsi, gak akan aku mau! Tapi, melihat gelak tawa teman-temanku, aku cukup merasa senang. Ah, apalagi melihat dia tertawa. Aku makin semangat memutari kolam, demi membuatnya tertawa.
“Duh,
kamu jadi basah gini. Mau sekalian mandi? Aku pinjemin handuk ya.” Katanya pelan
sambil membantuku naik. Wajah cemasnya membuatku ingin mengusap pipinya seraya
berkata aku tidak apa-apa.
“Gak
papa, udah biasa. Nanti juga kering sendiri.”
“Biarin
aja Ta, dia udah biasa nyebur di sungai.” Marco, seperti biasa membuatku
menahan gengsi.
“SHIT,
liat pembalasanku.” Marco hanya tertawa. Dia memang yang paling usil di antara
kami. Namun, berhubung hanya aku dan Marco yang “sejenis” di kelompok ini, aku
merasa sangat dekat dengannya. Bro-mance
di antara kami sangat kuat. Hih, kenapa aku jadi geli memikirkannya.
Kami
melanjutkan permainan—dengan handuk melingkar di badanku. Eit, jangan salah. Aku tadi
udah bilas kok. Tenang, aku bukan cowok sejorok itu.
***
Hampir setengah jam, permainan kami masih
belum selesai juga. Marco memang punya bakat melawak yang terpendam. Kami tidak
habis-habisnya tertawa oleh leluconnya yang tiada henti.
Aku melihatnya tertawa. Seketika ada
sesuatu yang berdesir. Ya, aku memang menyukai Alif, hanya beberapa bulan
semenjak terbentuk “kelompok” kami yang sekarang ini. Ia termasuk cukup populer
di sekolah. Maklum saja, ia ketua osis juga pemain inti tim futsal sekolah. Selama
ini aku hanya bisa memendam perasaan tanpa memberitahu ke siapapun. Kami memang
membuat kesepakatan dari awal berteman, tidak akan membahas tentang perasaan
kami masing-masing. Kesepakatan itu membuatku tertekan sekaligus senang. Kenapa?
Karena aku bisa dengan mudahnya bertemu ia setiap hari, bertukar kabar tanpa
henti—meski hanya di grup, juga mendapat kesempatan dirangkul olehnya. Ya,
sebagai teman.
“Eh,
gue punya ide!” Marco membuatku tersentak dari lamunan.
“Apa?
Jangan aneh-aneh lagi deh. Gue capek ketawa huhu.” Anya berkata sambil
memonyongkan bibirnya. Ah, Anya selalu berhasil membuat kami gemas!
“Kita
kan udah mau setahun berteman, gimana kalo kita mulai buka perasaan
masing-masing?”
“Maksudnya
gimana deh?” tanyaku.
“Jadi,
kita saling jujur, ada orang yang kita taksir atau nggga!” Seketika aku
langsung menoleh ke arah Alif, menerka-nerka seperti apa ekspresinya. Ia
terlihat salah tingkah. Ah, apa ada orang yang dia taksir?
“Hmm
boleh! Gue mulai duluan ya!” kata Anya semangat. Sejenak ia menundukkan kepala
sambil menutup mukanya. Kami mulai penasaran, apa Anya bisa naksir sama orang?
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh
menit.
Anya belum
juga bersuara.
“Cepetan
dong Nya!” teriak Marco tidak sabar. Ya, aku yakin, semua yang sedang duduk di
sini juga penasaran.
“Orang
yang aku suka … GAK ADA! Week”
Anya
berteriak kegirangan sambil mencium pipi kami satu per satu. Ya, Anya berhasil
membuat kami seperti orang bodoh untuk beberapa detik.
“Dasar
lo! Jangan pernah percaya sama Anya!” Alif berteriak sambil tertawa.
“Hahahaha
oke guys, Anya sukses mengutarakan
perasaannya. Sekarang giliran yang ketawanya paling keras, Alif!” teriak Marco
semangat.
***
Alif!
Kata-kata Marco sejenak membuat hatiku
berdegup kencang. Duh, bingung. Apa sebaiknya aku utarakan perasaanku ya? Yah,
minimal aku bukanlah seorang lelaki pengecut yang tidak berani mengungkapkan
perasaannya. Aku menarik nafas,
“Oke, baiklah. Ada seseorang yang aku
suka, orang itu ada di sini.”
Wajah teman-temanku berubah dalam sekejap.
Aku memerhatikan ekspresi wajahnya. Hm, ekspresi yang tidak bisa ditebak.
“Wow, gue gak tau lo bisa naksir sama
cewek…” kata Anya.
“Jangan-jangan orangnya lo lagi Nya!”
sahut Marco usil.
“Hm, aku sih gak ada tujuan apa-apa, cuma mau
bilang kalo aku sayang sama dia semenjak beberapa waktu ini. Kalo dia juga
sayang, baru deh ditembak. Hahaha.”
“Dasar lo, gak mau rugi!” Marco memukul
lenganku. Aku tertawa kecil. Duh, ternyata mau bilang sayang sama cewek itu
susah!
“Cepetan dong, gue penasaran …” kata Anya.
“Oke, hmm jadi …”
***
“Oke, hmm jadi …”
Alif mulai mendekati tempatku duduk. Ya,
kami semua memang duduk di atas rumput. Kembang api mulai meledak di dalam
hatiku. Astaga, inikah yang namanya dreams
come true?!
“Ta, jujur, aku sayang sama kamu…”
Seketika ombak bergemuruh menerjang hatiku
yang tadi sedang dimabuk asmara. Aku mendengar Alif mengutarakan perasaannya,
aku juga melihat Alif memandang Lita yang duduk di sampingku. Kata “Ta” yang ia
ucap bukan untukku, Nata, melainkan untuk Lita.
Cewek itu terlihat malu-malu, mukanya
memerah seperti kepiting rebus. Aku merasakan hunusan pedang tepat menusuk
jantungku. Alif memandang penuh harap ke arah Lita, sahabatku yang cantik dan
anggun.
“Lita, terus gimana perasaan lo?” aku
melihat Anya bertanya dengan senyuman nakalnya. Ah, rasanya aku tidak mampu
mendengar apa yang akan Lita ucapkan.
Hening sejenak.
“E…maaf tapi Lita lagi gak suka sama
siapa-siapa, termasuk kamu Lif. Lita sayang kalian semua. Kalian teman terbaik
yang pernah Lita punya.”
Aku mendengar ucapan Lita dengan mata
terpejam. Hah, Lita gak suka sama Alif! Yay! Aku tersenyum sambil memeluk Lita.
Tak kusangka, Anya juga ikut. Kami berpelukan cukup lama.
Marco tersenyum, “Udah deh, cewek emang
suka lebay.” Kami memandangnya, kemudian memeluk Marco, lelaki yang selalu
membuat tawa di antara kami.
“Jadi, gimana perasaan lo Lif?” Tanya Anya.
“Gak papa, aku lega karena Lita udah tau,
hehe.” Alif tersenyum kecil. Aku tau, jauh di lubuk hatinya, ia patah hati.
“Oke lanjut ya! Nah, Nata, lo ada naksir
seseorang gak?” pertanyaan Marco membuatku terdiam sejenak. Apa yang harus aku
lakukan?!
***
“Aku…aku suka sama Alif.” Nata berkata
sambil menutup wajahnya.
Aku terkejut. Nata suka sama aku?!
***
Aku melihat Nata masih menutup wajahnya,
mungkin ia masih terlalu malu. Aku berbalik mengarahkan pandangan ke Alif,
cowok yang barusan menyatakan perasaanya padaku. Mukanya memerah, aku tidak
bisa menebak ekspresi apa yang terlukis di wajahnya.
Dalam hening, Alif menatapku. Dengan cepat
aku membuang muka. Ketika aku melihatnya lagi, ia sedang menunduk.
“Maaf, kalau itu membuatmu gak nyaman.
Sudah ya, aku mau pulang dulu.” Nata berkata pelan lalu meninggalkan kami tanpa
basa-basi. Aku hendak mengejarnya ketika Anya menarik tanganku. “Biarin aja
dulu Ta.”
“Hm, tiba-tiba perut gue laper. Gue balik dulu
ya, mau cari makan.” Kata Marco.
“Co, aku ikut.” Alif dengan cepat
mendorong tubuh besar Marco dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Marco
berbalik memandangku sambil memberi isyarat maaf dengan kedua tangannya. Aku mengangguk
sambil tersenyum kecil.
“Lita, menurutmu, apa kita semua masih
akan berteman seperti biasa?” Tanya Anya. Suaranya serak, tanda air matanya
akan tumpah sebentar lagi.
“Lita juga gak tau Nya…” kataku sambil
memeluk Anya. Kami berpelukan dalam diam. Isak tangis terdengar, baik dariku
atau Anya.
-Fitri Fazrika Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar