Rabu, 10 Juni 2015

Truth or Dare?

Seperti biasa, Minggu sore adalah jadwal kami berkumpul. Sore ini kami menghabiskan waktu di belakang rumahku. Marco membawa beberapa kaleng kue, oleh-oleh dari mamanya. Yummy!
"Jadi, mau ngapain nih hari ini? Please jangan ada yang kerjain tugas, gue lagi mumet!" Anya berteriak sambil menggulingkan badannya di rumput—kebiasaan yang selalu membuat kami gemas.
"Tenang aja, gue juga kok. Gimana kalo kita main aja?"
"Emang lo mau main apa Co, udah mau sore gini."
"Truth or dare! Gimana, asyik gak?" Deg. Dadaku berdegup sangat kencang. Duh, pertanda apa ya? Kenapa aku merasa ada pertanda buruk yang akan terjadi?
"Ta! Lo kenapa diem? Main yuk!" Suara Anya mengagetkanku.
"Ah! I...iya" Jawabku sambil tersenyum.

***

Sore ini Marco mengajak kami bermain. Aku melihatnya melamun. Hm, ada apa ya? Segera kutepis pandanganku ke arahnya. Gawat kalau ketahuan!
"Okay, karena gue yang ngusulin, jadi gue yang nanya duluan ya." Marco berkata dengan tatapan usilnya. Hih, aku tau, ia pasti akan mengerjaiku.
"Yak, Alif, truth or dare?!" Nah, benar kan.
"Hmm aku pilih tantangan deh, namanya juga cowok sejati ..." HUUU, teriakan dari anak perempuan tepat membahana di kupingku. Duh, aku sayang mereka!
"Tantangannya...lo nyebur sana berenang sama ikan!" SIAL, jeritku.
Tawa meledak ketika aku mulai “nyebur”
di kolam ikan Lita yang cukup besar itu. Kalau bukan karena gengsi, gak akan aku mau! Tapi, melihat gelak tawa teman-temanku, aku cukup merasa senang. Ah, apalagi melihat dia tertawa. Aku makin semangat memutari kolam, demi membuatnya tertawa.

“Duh, kamu jadi basah gini. Mau sekalian mandi? Aku pinjemin handuk ya.” Katanya pelan sambil membantuku naik. Wajah cemasnya membuatku ingin mengusap pipinya seraya berkata aku tidak apa-apa.
“Gak papa, udah biasa. Nanti juga kering sendiri.”
“Biarin aja Ta, dia udah biasa nyebur di sungai.” Marco, seperti biasa membuatku menahan gengsi.
“SHIT, liat pembalasanku.” Marco hanya tertawa. Dia memang yang paling usil di antara kami. Namun, berhubung hanya aku dan Marco yang “sejenis” di kelompok ini, aku merasa sangat dekat dengannya. Bro-mance di antara kami sangat kuat. Hih, kenapa aku jadi geli memikirkannya.
Kami melanjutkan permainan—dengan handuk melingkar di badanku. Eit, jangan salah. Aku tadi udah bilas kok. Tenang, aku bukan cowok sejorok itu.

***

Hampir setengah jam, permainan kami masih belum selesai juga. Marco memang punya bakat melawak yang terpendam. Kami tidak habis-habisnya tertawa oleh leluconnya yang tiada henti.
Aku melihatnya tertawa. Seketika ada sesuatu yang berdesir. Ya, aku memang menyukai Alif, hanya beberapa bulan semenjak terbentuk “kelompok” kami yang sekarang ini. Ia termasuk cukup populer di sekolah. Maklum saja, ia ketua osis juga pemain inti tim futsal sekolah. Selama ini aku hanya bisa memendam perasaan tanpa memberitahu ke siapapun. Kami memang membuat kesepakatan dari awal berteman, tidak akan membahas tentang perasaan kami masing-masing. Kesepakatan itu membuatku tertekan sekaligus senang. Kenapa? Karena aku bisa dengan mudahnya bertemu ia setiap hari, bertukar kabar tanpa henti—meski hanya di grup, juga mendapat kesempatan dirangkul olehnya. Ya, sebagai teman.
“Eh, gue punya ide!” Marco membuatku tersentak dari lamunan.
“Apa? Jangan aneh-aneh lagi deh. Gue capek ketawa huhu.” Anya berkata sambil memonyongkan bibirnya. Ah, Anya selalu berhasil membuat kami gemas!
“Kita kan udah mau setahun berteman, gimana kalo kita mulai buka perasaan masing-masing?”
“Maksudnya gimana deh?” tanyaku.
“Jadi, kita saling jujur, ada orang yang kita taksir atau nggga!” Seketika aku langsung menoleh ke arah Alif, menerka-nerka seperti apa ekspresinya. Ia terlihat salah tingkah. Ah, apa ada orang yang dia taksir?
“Hmm boleh! Gue mulai duluan ya!” kata Anya semangat. Sejenak ia menundukkan kepala sambil menutup mukanya. Kami mulai penasaran, apa Anya bisa naksir sama orang?
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Anya belum juga bersuara.
“Cepetan dong Nya!” teriak Marco tidak sabar. Ya, aku yakin, semua yang sedang duduk di sini juga penasaran.
“Orang yang aku suka … GAK ADA! Week”
Anya berteriak kegirangan sambil mencium pipi kami satu per satu. Ya, Anya berhasil membuat kami seperti orang bodoh untuk beberapa detik.
“Dasar lo! Jangan pernah percaya sama Anya!” Alif berteriak sambil tertawa.
“Hahahaha oke guys, Anya sukses mengutarakan perasaannya. Sekarang giliran yang ketawanya paling keras, Alif!” teriak Marco semangat.

***

Alif!
Kata-kata Marco sejenak membuat hatiku berdegup kencang. Duh, bingung. Apa sebaiknya aku utarakan perasaanku ya? Yah, minimal aku bukanlah seorang lelaki pengecut yang tidak berani mengungkapkan perasaannya. Aku menarik nafas,
“Oke, baiklah. Ada seseorang yang aku suka, orang itu ada di sini.”
Wajah teman-temanku berubah dalam sekejap. Aku memerhatikan ekspresi wajahnya. Hm, ekspresi yang tidak bisa ditebak.
“Wow, gue gak tau lo bisa naksir sama cewek…” kata Anya.
“Jangan-jangan orangnya lo lagi Nya!” sahut Marco usil.
“Hm, aku sih gak ada tujuan apa-apa, cuma mau bilang kalo aku sayang sama dia semenjak beberapa waktu ini. Kalo dia juga sayang, baru deh ditembak. Hahaha.”
“Dasar lo, gak mau rugi!” Marco memukul lenganku. Aku tertawa kecil. Duh, ternyata mau bilang sayang sama cewek itu susah!
“Cepetan dong, gue penasaran …” kata Anya.
“Oke, hmm jadi …”

***

“Oke, hmm jadi …”
Alif mulai mendekati tempatku duduk. Ya, kami semua memang duduk di atas rumput. Kembang api mulai meledak di dalam hatiku. Astaga, inikah yang namanya dreams come true?!
“Ta, jujur, aku sayang sama kamu…”
Seketika ombak bergemuruh menerjang hatiku yang tadi sedang dimabuk asmara. Aku mendengar Alif mengutarakan perasaannya, aku juga melihat Alif memandang Lita yang duduk di sampingku. Kata “Ta” yang ia ucap bukan untukku, Nata, melainkan untuk Lita.
Cewek itu terlihat malu-malu, mukanya memerah seperti kepiting rebus. Aku merasakan hunusan pedang tepat menusuk jantungku. Alif memandang penuh harap ke arah Lita, sahabatku yang cantik dan anggun.
“Lita, terus gimana perasaan lo?” aku melihat Anya bertanya dengan senyuman nakalnya. Ah, rasanya aku tidak mampu mendengar apa yang akan Lita ucapkan.
Hening sejenak.
“E…maaf tapi Lita lagi gak suka sama siapa-siapa, termasuk kamu Lif. Lita sayang kalian semua. Kalian teman terbaik yang pernah Lita punya.”
Aku mendengar ucapan Lita dengan mata terpejam. Hah, Lita gak suka sama Alif! Yay! Aku tersenyum sambil memeluk Lita. Tak kusangka, Anya juga ikut. Kami berpelukan cukup lama.
Marco tersenyum, “Udah deh, cewek emang suka lebay.” Kami memandangnya, kemudian memeluk Marco, lelaki yang selalu membuat tawa di antara kami.
“Jadi, gimana perasaan lo Lif?” Tanya Anya.
“Gak papa, aku lega karena Lita udah tau, hehe.” Alif tersenyum kecil. Aku tau, jauh di lubuk hatinya, ia patah hati.
“Oke lanjut ya! Nah, Nata, lo ada naksir seseorang gak?” pertanyaan Marco membuatku terdiam sejenak. Apa yang harus aku lakukan?!

***

“Aku…aku suka sama Alif.” Nata berkata sambil menutup wajahnya.
Aku terkejut. Nata suka sama aku?!

***

Aku melihat Nata masih menutup wajahnya, mungkin ia masih terlalu malu. Aku berbalik mengarahkan pandangan ke Alif, cowok yang barusan menyatakan perasaanya padaku. Mukanya memerah, aku tidak bisa menebak ekspresi apa yang terlukis di wajahnya.
Dalam hening, Alif menatapku. Dengan cepat aku membuang muka. Ketika aku melihatnya lagi, ia sedang menunduk.
“Maaf, kalau itu membuatmu gak nyaman. Sudah ya, aku mau pulang dulu.” Nata berkata pelan lalu meninggalkan kami tanpa basa-basi. Aku hendak mengejarnya ketika Anya menarik tanganku. “Biarin aja dulu Ta.”
“Hm, tiba-tiba perut gue laper. Gue balik dulu ya, mau cari makan.” Kata Marco.
“Co, aku ikut.” Alif dengan cepat mendorong tubuh besar Marco dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Marco berbalik memandangku sambil memberi isyarat maaf dengan kedua tangannya. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Lita, menurutmu, apa kita semua masih akan berteman seperti biasa?” Tanya Anya. Suaranya serak, tanda air matanya akan tumpah sebentar lagi.
“Lita juga gak tau Nya…” kataku sambil memeluk Anya. Kami berpelukan dalam diam. Isak tangis terdengar, baik dariku atau Anya.


-Fitri Fazrika Sari-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar