Minggu, 24 Februari 2013

Anugerah Terindah


        Aku tersenyum menatap cermin besar di hadapanku. Aku memakai mini dress berwarna biru muda, heels setinggi 10cm, juga tak lupa memoleskan sedikit lipstick berwarna merah muda. Sempurna, pikirku malam itu. Dengan cepat aku turun ke bawah sambil memegang kunci mobil. Tak kuhiraukan panggilan Ayah yang sedang berada di ruang tamu. Tidak berguna, pikirku.
       
        Aku pulang sekitar jam 4 pagi. Aku masih ingat tangisan Ibu yang melihat kondisiku semalam, juga Ayah yang terus mengomeliku sebelum akhirnya aku mendobrak pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Aku benci dengan sikap mereka yang terlalu berlebihan mengawasiku. Aku semakin terbuai dalam alam pikiranku sendiri, hingga akhirnya tidak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol tadi malam.

        Sebenarnya, aku malas pergi sekolah hari ini. Namun, ancaman Ayah yang akan menyita mobil jika aku bolos berhasil membuatku mengalah. Aku pergi diantar Ayah, karena ia tidak ingin aku mencoba kabur dari sekolah.
        Aku datang tepat lima menit sebelum bel pelajaran pertama dimulai. Sebagian anak menatapku dengan tatapan aneh, entah apa itu maksudnya. Tapi aku tidak peduli, aku tidak ingin mencari apapun disini. Aku hanya tidak ingin Ayah menyita mobilku. Ketika aku sedang termenung, seseorang menepuk pundakku. “Citra, kamu ketinggalan banyak tugas. Mau pinjam catatan saya?”, tanya Laila teman sebangkuku. Aku saja hampir lupa namanya jika ia tidak menyapaku duluan. “Biarkan saja, aku tidak peduli dengan nilai, tugas, atau apapun itu!” sahutku ketus kemudian kembali asyik dengan iPad terbaruku. “Kamu itu pintar, sayang jika nilai kamu rendah. Saya boleh kerumahmu?”. Sejenak aku mengalihkan pandangan kepada Laila yang duduk di sebelahku. Ia masih tersenyum kepadaku, senyum yang sangat indah. Sejenak aku terdiam. “Kenapa? Saya hanya ingin membantu, tidak lebih. Boleh ya?” sekali lagi Laila tersenyum kepadaku. Bibirku kelu, entah mengapa aku terpesona olehnya. Akhirnya aku menganggukkan kepala kemudian kembali asyik dengan iPad. Kulihat senyum Laila yang mengembang disaat aku menatapnya sekilas.

        Ibu sangat senang melihat kedatangan Laila ke rumah. Selama ini memang tidak satupun teman-teman sekolahku yang pernah ke rumah. Pernah sekali, itupun karena aku sudah dalam kondisi luka-luka akibat berkelahi dengan kakak kelasku waktu itu. Sungguh buruk.
        Laila meminjamkan catatannya, katanya boleh kupinjam sampai akhir minggu ini. Diam-diam aku kagum, tulisan Laila sangat rapi, rumus penting digarisnya dengan pulpen warna-warni. Sementara aku? Kotak pensil dan segala perlengkapannya saja baru dibelikan Ibu tadi siang, karena tau Laila akan ke rumah. Dengan sabar Laila mengajariku sejak lepas magrib, hingga tak terasa sudah jam 9 malam. Aku gelisah, sepertinya Laila merasakan hal tersebut. “Kenapa? Citra capek ya? Maaf saya terlalu bersemangat.” Laila berkata dengan wajah bersalah. “Bukan, tapi aku mau pergi. Nanti telat”. “Sudah jam segini mau kemana?” Laila menatapku heran. “Lanjutkan saja Laila, ia hanya ingin pergi dengan teman-teman nakalnya itu. Masih syukur ia ingat untuk pulang.” Ibu tiba-tiba muncul sambil membawakan teh hangat dan kue untuk kami. Aku sangat kesal dengan perkataan Ibu. Dengan cepat aku berlari ke kamar dan berganti baju. Aku mengambil kunci mobil dan segera keluar. Tak ku hiraukan teriakan Ayah yang memanggilku untuk masuk. Aku tidak peduli, kupacu mobilku dengan cepat hingga tiba-tiba semua terasa gelap.

        Aku terbangun dengan selang infus menancap di tangan kiriku, kurasakan tangan kananku tidak bisa bergerak. Bau obat sangat menyengat hidungku. Spontan aku berteriak keras. Ayah dan Ibu berlari mendekatiku, kulihat mata Ibu sembab. “Citra kenapa sayang? Sakit?” Ayah berkata sambil mengusap rambutku dengan lembut. “Aku kenapa? Tanganku sakit sekali Ayah!” kataku sambil menangis. “Kamu kecelakaan nak, tangan kananmu patah.” Ibu berbisik ke telingaku dengan lembut. Aku terdiam, satu yang kurasakan hanyalah perih di sekujur tubuhku.
        Sudah 4 hari aku berada di rumah sakit. Rasa bosan dan penat mulai aku rasakan. Aku juga kesal terhadap teman-teman baikku di diskotik. Tidak ada satupun yang datang menjenguk. Ketika aku bercerita bahwa tanganku patah, tidak ada lagi yang membalas pesanku. Airmata meluncur deras dari mataku. Rasa sakit yang selama ini aku rasakan, tidak ada artinya dibandingkan rasa sakit ketika aku menyadari bahwa aku tidak mempunyai teman yang sebenarnya. Teman disaat suka maupun duka. Ketika aku menangis, Laila datang. Ia terkejut melihatku menangis. Aku menceritakan semua hal yang aku rasakan. Aku senang, Laila mendengar setiap ceritaku dengan seksama. Semenjak itu, aku berteman baik dengannya.

        Setelah lebih dari seminggu di rumah sakit, aku kembali bersekolah dengan tangan masih diperban. Laila menasehatiku agar pagi ini aku pergi dengan wajah tersenyum. Aku menuruti nasehatnya, alhasil pagi itu tatapan aneh yang biasanya aku terima, berubah menjadi senyum. Aku sangat senang. Aku bercerita hal tersebut pada Laila saat istirahat. “Alhamdulillah, senang kan rasanya punya banyak teman?” kata Laila sambil menyeruput es jeruk di depannya. “Iya, aku sangat senang. Terima kasih ya sudah menjadi teman yang baik untukku”. Aku tersenyum sambil menatap Laila.

        Sejak saat itu, aku mulai bersemangat ke sekolah. Bukan karena aku takut Ayah akan menyita mobilku lagi, tapi karena aku ingin menuntut ilmu. Laila pernah meminjamkan bukunya yang berjudul “Wanita Impian Rasulullah”. Buku itu berisi tentang bagaimana cara seorang wanita muslimah bersikap. Aku sangat tertarik dengan semua cerita Laila tentang Rasulullah. Aku begitu kagum dan ingin belajar lebih dalam lagi mengenai hal yang dicintai oleh Rasulullah, agar aku juga dicintai olehnya.

        Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku segera mengambil wudhu, bersiap untuk shalat. Yang aku tahu, Rasulullah tidak hanya selalu shalat tepat waktu, namun juga mengerjakan shalat sunah lainnya. Selesai shalat, aku turun untuk menemui Ayah dan Ibu di ruang makan. Mereka heran melihat aku sudah berpakaian rapi. “Kenapa melihat seperti itu? Ada yang aneh dengan Citra?” tanyaku. “Loh? Kamu lupa ya sayang, ini hari ulang tahun kamu kan? Biasanya kalau kamu ulang tahun, kamu akan meminta uang lebih dari Ayah untuk mentraktir teman-temanmu” Ayah berkata dengan heran. Sejenak aku terdiam, kenapa aku lupa tentang hari ulang tahunku? “Citra tidak meminta apapun Yah”. “Yasudah, nanti kalau ada permintaan bilang saja ya. Selamat ulang tahun sayang, Ibu sayang padamu.” Ibu mencium keningku dengan mesra, begitupun dengan Ayah. Pagi itu aku merasa senang, kehangatan keluarga yang sudah lama hilang akhirnya aku rasakan kembali. Alhamdulillah, kataku dalam hati.
        “Selamat ulang tahun Citra!” teriak Laila ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Teman-teman sekelas pun ramai memberikan selamat dan menjabat tanganku. Hampir saja aku menangis. Belum pernah ada begitu banyak orang yang peduli denganku. Rasanya, aku sudah membuat banyak perubahan dalam hidupku. Senyumku mengembang, sepertinya ulang tahunku kali ini mempunyai arti yang sangat besar. Setelah semua temanku pulang, Citra memberikan sebuah kotak kecil kepadaku. “Jangan dilihat dari segi harganya ya, tapi Laila berharap kado ini bermanfaat untuk Citra” Laila berkata dengan senyum manisnya. “Boleh dibuka sekarang?” kataku bersemangat. Laila mengangguk. Ketika sudah terbuka, aku terdiam. Isinya bukan parfum mahal atau barang bermerk seperti biasa yang aku dapatkan. Bukan juga sepatu atau tas, melainkan kerudung dengan berbagai macam warna. “Citra, salah satu kewajiban kita sebagai wanita muslimah itu menutup aurat. Laila rasa, Citra juga semestinya menjalankan kewajiban tersebut”. “Tapi, aku tidak bisa. Aku belum siap!” kataku lalu pergi meninggalkan Laila yang tak berkutik mendengar ucapanku.
       
        Aku merenung setelah selesai membaca buku yang baru saja aku beli sepulang sekolah tadi. Hadiah dari Laila masih tersimpan rapi di atas meja belajarku. Perlahan aku mengambil kerudung tersebut, kemudian aku memakainya dan bercermin. Aneh, pikirku. Dengan cepat aku melepas kerudung tersebut. Aku duduk, termenung. Aku baru saja membaca buku mengenai jilbab sesuai syariat. Hatiku bergetar saat membacanya. Begitu banyak sabda Rasulullah yang menjelaskan tentang cara memakai jilbab yang sesuai dengan syariat. Aku begitu mencintai Rasulullah, aku ingin selalu mengikuti amal baiknya, aku ingin menerapkannya dalam kehidupanku sehari-hari. Tapi apa aku bisa? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam otakku. Hingga akhirnya aku tersadar ketika Ibu mengetuk pintu kamar. Aku menceritakan semua hal kepadanya. Kemudian, Ibu hanya tersenyum dan menyuruhku berganti baju. Ia ingin mengajakku ke suatu tempat katanya.
        Aku terkejut ketika ternyata Ibu membawaku ke salah satu butik. “Ini butik khusus muslimah, Ibu dengar baju disini bagus. Kamu ambil saja semua yang kamu mau” Ibu berkata sambil tersenyum kepadaku. Aku sedikit heran karena tidak biasanya Ibu menawariku berbelanja. Alangkah terkejutnya ketika aku menyadari bahwa baju yang dijual disini hanyalah baju yang menutup aurat. Tidak ada hiasan yang mencolok, bahan yang menerawang, juga yang tidak sempit di badan. Semuanya berbahan lurus, lembut, dan berwarna pucat. Aku menjelajahi seluruh bagian di butik ini, lama-lama aku menyukainya. Tak lupa aku membelikan Laila, pasti dia senang, pikirku.

        Aku teringat tentang sabda Rasulullah yang menyebutkan bahwa jika kita saling menyayangi sesama umat manusia, Allah juga akan menyayangi kita. Kemudian aku bergegas pergi ke rumah Laila sambil membawa kantong belanjaan. Dengan ragu aku mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam. Laila keluar dan menyambutku dengan ramah kemudian mempersilahkan aku untuk duduk. “Aku pikir kamu marah” kataku memulai percakapan. “Citra, Rasulullah bersabda agar kita selalu bersikap lemah lembut, juga menjadi orang yang pemaaf” Laila tersenyum. Aku berdecak kagum mendengar jawaban Laila. Ya, dia memang sempurna. Kemudian aku mengeluarkan baju yang baru saja ku beli. Laila tersenyum, ia mengajakku ke kamarnya.
        Aku tersenyum melihat pantulan diriku di cermin. Aku memakai rok panjang dengan blouse sederhana berwarna merah muda. Aku juga memakai jilbab berwarna senada. Laila mengatakan aku cantik sekali. Aku tersipu malu. Setelah berpamitan, aku pulang ke rumah.
        Ibu dan Ayah sudah menungguku di depan rumah. Aku memang pulang larut malam dan lupa mengabari mereka. Mereka terkejut melihat aku turun dari mobil menggunakan jilbab. “Bagaimana? Sekarang Citra mau berubah jadi lebih baik. Ayah dan Ibu setuju?”. Ibu tidak menjawab, ia langsung memelukku dengan haru. “Tentu saja sayang, kami senang kamu sudah berubah. Tetaplah menjadi anak yang berbakti dan taat kepada ajaran agama. Ayah bangga dengan Citra” Ayah tersenyum sambil memelukku dengan erat. Tanpa sadar ternyata airmata sudah jatuh ke pipiku. Ya, bukan lagi airmata penyesalan atau kemarahan, melainkan airmata bahagia yang sekarang aku rasakan.



*cerita ini berhasil membawaku meraih Juara 2 Lomba Menulis Cerpen yang diadakan dalam rangka HUT FLP se-Kalbar pada bulan Februari ini. Sedikit kata, tulisan itu adalah bukti jika kita pernah hidup di dunia ini. Tulislah sesuatu yang memberi manfaat bagi orang lain. Keep trying and never give up! :)

-Fitri Fazrika Sari-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar