Aku tersenyum menatap cermin besar di hadapanku. Aku memakai mini
dress berwarna biru muda, heels setinggi 10cm, juga tak lupa memoleskan sedikit
lipstick berwarna merah muda. Sempurna, pikirku malam itu. Dengan cepat aku
turun ke bawah sambil memegang kunci mobil. Tak kuhiraukan panggilan Ayah yang
sedang berada di ruang tamu. Tidak berguna, pikirku.
Aku pulang sekitar jam 4 pagi. Aku masih
ingat tangisan Ibu yang melihat kondisiku semalam, juga Ayah yang terus
mengomeliku sebelum akhirnya aku mendobrak pintu kamar dan menguncinya dari
dalam. Aku benci dengan sikap mereka yang terlalu berlebihan mengawasiku. Aku
semakin terbuai dalam alam pikiranku sendiri, hingga akhirnya tidak sadarkan
diri akibat pengaruh alkohol tadi malam.
Sebenarnya, aku malas pergi sekolah hari
ini. Namun, ancaman Ayah yang akan menyita mobil jika aku bolos berhasil
membuatku mengalah. Aku pergi diantar Ayah, karena ia tidak ingin aku mencoba
kabur dari sekolah.
Aku datang tepat lima menit sebelum bel
pelajaran pertama dimulai. Sebagian anak menatapku dengan tatapan aneh, entah
apa itu maksudnya. Tapi aku tidak peduli, aku tidak ingin mencari apapun
disini. Aku hanya tidak ingin Ayah menyita mobilku. Ketika aku sedang
termenung, seseorang menepuk pundakku. “Citra, kamu ketinggalan banyak tugas.
Mau pinjam catatan saya?”, tanya Laila teman sebangkuku. Aku saja hampir lupa
namanya jika ia tidak menyapaku duluan. “Biarkan saja, aku tidak peduli dengan
nilai, tugas, atau apapun itu!” sahutku ketus kemudian kembali asyik dengan
iPad terbaruku. “Kamu itu pintar, sayang jika nilai kamu rendah. Saya boleh
kerumahmu?”. Sejenak aku mengalihkan pandangan kepada Laila yang duduk di
sebelahku. Ia masih tersenyum kepadaku, senyum yang sangat indah. Sejenak aku
terdiam. “Kenapa? Saya hanya ingin membantu, tidak lebih. Boleh ya?” sekali
lagi Laila tersenyum kepadaku. Bibirku kelu, entah mengapa aku terpesona
olehnya. Akhirnya aku menganggukkan kepala kemudian kembali asyik dengan iPad.
Kulihat senyum Laila yang mengembang disaat aku menatapnya sekilas.
Ibu sangat senang melihat kedatangan
Laila ke rumah. Selama ini memang tidak satupun teman-teman sekolahku yang
pernah ke rumah. Pernah sekali, itupun karena aku sudah dalam kondisi luka-luka
akibat berkelahi dengan kakak kelasku waktu itu. Sungguh buruk.
Laila meminjamkan catatannya, katanya
boleh kupinjam sampai akhir minggu ini. Diam-diam aku kagum, tulisan Laila
sangat rapi, rumus penting digarisnya dengan pulpen warna-warni. Sementara aku?
Kotak pensil dan segala perlengkapannya saja baru dibelikan Ibu tadi siang,
karena tau Laila akan ke rumah. Dengan sabar Laila mengajariku sejak lepas
magrib, hingga tak terasa sudah jam 9 malam. Aku gelisah, sepertinya Laila
merasakan hal tersebut. “Kenapa? Citra capek ya? Maaf saya terlalu
bersemangat.” Laila berkata dengan wajah bersalah. “Bukan, tapi aku mau pergi.
Nanti telat”. “Sudah jam segini mau kemana?” Laila menatapku heran. “Lanjutkan
saja Laila, ia hanya ingin pergi dengan teman-teman nakalnya itu. Masih syukur
ia ingat untuk pulang.” Ibu tiba-tiba muncul sambil membawakan teh hangat dan
kue untuk kami. Aku sangat kesal dengan perkataan Ibu. Dengan cepat aku berlari
ke kamar dan berganti baju. Aku mengambil kunci mobil dan segera keluar. Tak ku
hiraukan teriakan Ayah yang memanggilku untuk masuk. Aku tidak peduli, kupacu
mobilku dengan cepat hingga tiba-tiba semua terasa gelap.
Aku terbangun dengan selang infus
menancap di tangan kiriku, kurasakan tangan kananku tidak bisa bergerak. Bau
obat sangat menyengat hidungku. Spontan aku berteriak keras. Ayah dan Ibu berlari
mendekatiku, kulihat mata Ibu sembab. “Citra kenapa sayang? Sakit?” Ayah
berkata sambil mengusap rambutku dengan lembut. “Aku kenapa? Tanganku sakit
sekali Ayah!” kataku sambil menangis. “Kamu kecelakaan nak, tangan kananmu
patah.” Ibu berbisik ke telingaku dengan lembut. Aku terdiam, satu yang
kurasakan hanyalah perih di sekujur tubuhku.
Sudah 4 hari aku berada di rumah sakit.
Rasa bosan dan penat mulai aku rasakan. Aku juga kesal terhadap teman-teman
baikku di diskotik. Tidak ada satupun yang datang menjenguk. Ketika aku
bercerita bahwa tanganku patah, tidak ada lagi yang membalas pesanku. Airmata
meluncur deras dari mataku. Rasa sakit yang selama ini aku rasakan, tidak ada
artinya dibandingkan rasa sakit ketika aku menyadari bahwa aku tidak mempunyai
teman yang sebenarnya. Teman disaat suka maupun duka. Ketika aku menangis,
Laila datang. Ia terkejut melihatku menangis. Aku menceritakan semua hal yang
aku rasakan. Aku senang, Laila mendengar setiap ceritaku dengan seksama.
Semenjak itu, aku berteman baik dengannya.
Setelah lebih dari seminggu di rumah
sakit, aku kembali bersekolah dengan tangan masih diperban. Laila menasehatiku
agar pagi ini aku pergi dengan wajah tersenyum. Aku menuruti nasehatnya,
alhasil pagi itu tatapan aneh yang biasanya aku terima, berubah menjadi senyum.
Aku sangat senang. Aku bercerita hal tersebut pada Laila saat istirahat. “Alhamdulillah,
senang kan rasanya punya banyak teman?” kata Laila sambil menyeruput es jeruk
di depannya. “Iya, aku sangat senang. Terima kasih ya sudah menjadi teman yang
baik untukku”. Aku tersenyum sambil menatap Laila.
Sejak saat itu, aku mulai bersemangat ke
sekolah. Bukan karena aku takut Ayah akan menyita mobilku lagi, tapi karena aku
ingin menuntut ilmu. Laila pernah meminjamkan bukunya yang berjudul “Wanita
Impian Rasulullah”. Buku itu berisi tentang bagaimana cara seorang wanita
muslimah bersikap. Aku sangat tertarik dengan semua cerita Laila tentang
Rasulullah. Aku begitu kagum dan ingin belajar lebih dalam lagi mengenai hal
yang dicintai oleh Rasulullah, agar aku juga dicintai olehnya.
Pagi itu aku bangun lebih awal dari
biasanya. Aku segera mengambil wudhu, bersiap untuk shalat. Yang aku tahu,
Rasulullah tidak hanya selalu shalat tepat waktu, namun juga mengerjakan shalat
sunah lainnya. Selesai shalat, aku turun untuk menemui Ayah dan Ibu di ruang
makan. Mereka heran melihat aku sudah berpakaian rapi. “Kenapa melihat seperti
itu? Ada yang aneh dengan Citra?” tanyaku. “Loh? Kamu lupa ya sayang, ini hari
ulang tahun kamu kan? Biasanya kalau kamu ulang tahun, kamu akan meminta uang
lebih dari Ayah untuk mentraktir teman-temanmu” Ayah berkata dengan heran.
Sejenak aku terdiam, kenapa aku lupa tentang hari ulang tahunku? “Citra tidak
meminta apapun Yah”. “Yasudah, nanti kalau ada permintaan bilang saja ya.
Selamat ulang tahun sayang, Ibu sayang padamu.” Ibu mencium keningku dengan
mesra, begitupun dengan Ayah. Pagi itu aku merasa senang, kehangatan keluarga
yang sudah lama hilang akhirnya aku rasakan kembali. Alhamdulillah, kataku
dalam hati.
“Selamat ulang tahun Citra!” teriak
Laila ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Teman-teman sekelas pun ramai
memberikan selamat dan menjabat tanganku. Hampir saja aku menangis. Belum
pernah ada begitu banyak orang yang peduli denganku. Rasanya, aku sudah membuat
banyak perubahan dalam hidupku. Senyumku mengembang, sepertinya ulang tahunku
kali ini mempunyai arti yang sangat besar. Setelah semua temanku pulang, Citra
memberikan sebuah kotak kecil kepadaku. “Jangan dilihat dari segi harganya ya,
tapi Laila berharap kado ini bermanfaat untuk Citra” Laila berkata dengan
senyum manisnya. “Boleh dibuka sekarang?” kataku bersemangat. Laila mengangguk.
Ketika sudah terbuka, aku terdiam. Isinya bukan parfum mahal atau barang
bermerk seperti biasa yang aku dapatkan. Bukan juga sepatu atau tas, melainkan
kerudung dengan berbagai macam warna. “Citra, salah satu kewajiban kita sebagai
wanita muslimah itu menutup aurat. Laila rasa, Citra juga semestinya
menjalankan kewajiban tersebut”. “Tapi, aku tidak bisa. Aku belum siap!” kataku
lalu pergi meninggalkan Laila yang tak berkutik mendengar ucapanku.
Aku merenung setelah selesai membaca
buku yang baru saja aku beli sepulang sekolah tadi. Hadiah dari Laila masih
tersimpan rapi di atas meja belajarku. Perlahan aku mengambil kerudung
tersebut, kemudian aku memakainya dan bercermin. Aneh, pikirku. Dengan cepat
aku melepas kerudung tersebut. Aku duduk, termenung. Aku baru saja membaca buku
mengenai jilbab sesuai syariat. Hatiku bergetar saat membacanya. Begitu banyak
sabda Rasulullah yang menjelaskan tentang cara memakai jilbab yang sesuai
dengan syariat. Aku begitu mencintai Rasulullah, aku ingin selalu mengikuti
amal baiknya, aku ingin menerapkannya dalam kehidupanku sehari-hari. Tapi apa
aku bisa? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam otakku. Hingga
akhirnya aku tersadar ketika Ibu mengetuk pintu kamar. Aku menceritakan semua
hal kepadanya. Kemudian, Ibu hanya tersenyum dan menyuruhku berganti baju. Ia
ingin mengajakku ke suatu tempat katanya.
Aku terkejut ketika ternyata Ibu
membawaku ke salah satu butik. “Ini butik khusus muslimah, Ibu dengar baju
disini bagus. Kamu ambil saja semua yang kamu mau” Ibu berkata sambil tersenyum
kepadaku. Aku sedikit heran karena tidak biasanya Ibu menawariku berbelanja.
Alangkah terkejutnya ketika aku menyadari bahwa baju yang dijual disini
hanyalah baju yang menutup aurat. Tidak ada hiasan yang mencolok, bahan yang
menerawang, juga yang tidak sempit di badan. Semuanya berbahan lurus, lembut,
dan berwarna pucat. Aku menjelajahi seluruh bagian di butik ini, lama-lama aku
menyukainya. Tak lupa aku membelikan Laila, pasti dia senang, pikirku.
Aku teringat tentang sabda Rasulullah
yang menyebutkan bahwa jika kita saling menyayangi sesama umat manusia, Allah
juga akan menyayangi kita. Kemudian aku bergegas pergi ke rumah Laila sambil
membawa kantong belanjaan. Dengan ragu aku mengetuk pintu rumahnya sambil
mengucapkan salam. Laila keluar dan menyambutku dengan ramah kemudian
mempersilahkan aku untuk duduk. “Aku pikir kamu marah” kataku memulai
percakapan. “Citra, Rasulullah bersabda agar kita selalu bersikap lemah lembut,
juga menjadi orang yang pemaaf” Laila tersenyum. Aku berdecak kagum mendengar
jawaban Laila. Ya, dia memang sempurna. Kemudian aku mengeluarkan baju yang
baru saja ku beli. Laila tersenyum, ia mengajakku ke kamarnya.
Aku tersenyum melihat pantulan diriku di
cermin. Aku memakai rok panjang dengan blouse sederhana berwarna merah muda.
Aku juga memakai jilbab berwarna senada. Laila mengatakan aku cantik sekali.
Aku tersipu malu. Setelah berpamitan, aku pulang ke rumah.
Ibu dan Ayah sudah menungguku di depan
rumah. Aku memang pulang larut malam dan lupa mengabari mereka. Mereka terkejut
melihat aku turun dari mobil menggunakan jilbab. “Bagaimana? Sekarang Citra mau
berubah jadi lebih baik. Ayah dan Ibu setuju?”. Ibu tidak menjawab, ia langsung
memelukku dengan haru. “Tentu saja sayang, kami senang kamu sudah berubah.
Tetaplah menjadi anak yang berbakti dan taat kepada ajaran agama. Ayah bangga
dengan Citra” Ayah tersenyum sambil memelukku dengan erat. Tanpa sadar ternyata
airmata sudah jatuh ke pipiku. Ya, bukan lagi airmata penyesalan atau
kemarahan, melainkan airmata bahagia yang sekarang aku rasakan.
*cerita ini berhasil membawaku meraih Juara 2 Lomba Menulis Cerpen yang diadakan dalam rangka HUT FLP se-Kalbar pada bulan Februari ini. Sedikit kata, tulisan itu adalah bukti jika kita pernah hidup di dunia ini. Tulislah sesuatu yang memberi manfaat bagi orang lain. Keep trying and never give up! :)
-Fitri Fazrika Sari-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar